Chapter 40 - Fall

2.9K 234 12
                                    

Gianna POV

Tanganku berat bukan main rasanya. Tidak, seluruh ragaku tidak bisa kugerakkan. Mengangkat tangan adalah hal terbaik yang bisa kulakukan kini. Aku bahkan tidak bisa merasakan bagian tubuhku dada ke bawah. Aku bagai sedang ditindih sebuah batu besar nan empuk. Namun berat. Dan aku tak kuasa bergerak. Sekalipun begitu, aku mempertahankan genggamanku di tangan Kak Hose sebisa mungkin. Sebab aku tidak ingin melepaskannya.

Sebab aku ingin terus bersamanya. Aku tidak ingin lagi menangis membayangkan tidak di sampingnya. Aku ingin terus menjadi miliknya, dengan status yang berubah dari palsu menjadi nyata.

Sebab jikalau ucapan Febian benar, dan Kak Hose mencintaiku juga, kurasa, aku mendapatkan kekasih keduaku sepanjang hidupku.

Aku menyadari ruangan ini yang dipenuhi berbagai macam alat medis. Sebuah ruang rawat inap yang menyilaukan, dengan luas yang mengagumkan. Aku tidak yakin ibu atau ayahku meminta kamar kelas pertama semacam ini. Aku bisa menyimpulkan dengan otakku yang masih berpusing kalau Kak Hose yang membayarkannya.

Aku janji akan mengembalikannya suatu saat nanti. Namun yang jelas untuk saat ini, aku tidak memedulikan hutang atau semacamnya.

Aku bersama Kak Hose di sini. Melampaui maut, dan masih menggenggam tangan. Aku hanya mementing kan itu.

Denting bel kematian tidak lagi menggerogoti benakku. Padahal aku sedekat ini dengannya. Aku tidak mulas lagi, telingaku tidak pekak lagi. Bukti nyata bahwa lonceng kematian telah reda sepenuhnya. Ternyata aku benar, pertikaian dengan Leon lah yang menjadi pengakhir sepantasnya dari kehidupan Kak Hose. Dan ketika kini pertikaian itu telah usai, denting bel tidak lagi terdengar darinya.

Aku berhasil menyelamatkannya. Dan kali ini tidak seperti Febian yang harus berpisah denganku, aku berhasil kembali ke Bumi tanpa mengorbankan nyawaku demi Kak Hose.

Apalagi yang lebih sempurna ketimbang itu?

"Gue harus panggil dokter." Kak Hose berkata, setelah kesunyian sekian lamanya. Dia tampak kepanikan, namun jemariku yang menekan tangannya – walau jelas tidak begitu kencang sebab aku tidak bertenaga – berhasil menghentikannya dari mengangkat tungkai. "Ann?"

"Jangan tinggalin." Aku membisik, mencoba mengeluarkan energiku sebisa mungkin untuk mengucapkan kata-kata yang bahkan sulit untuk kuucapkan dengan tenagaku yang terbatas. "Jangan pergi."

"Tapi kamu harus di cek sama dokter." Raut kekhawatiran masih terpatri begitu dalam di keningnya. Aku rasanya mau melakukan apa pun untuk menghapus parut itu. Untuk memastikan kepadanya jikalau aku baik-baik saja. Jikalau aku sudah kembali dan aman di dalam genggamannya sekarang. Aku ingin, namun bersuara pun, aku kepayahan.

"Nanti." Aku membisik lagi, kerongkonganku begitu perih. Paras Kak Hose mematri tatapan tidak setuju, namun aku tersenyum tipis dengan bibir pucatku. "Aku pengin sama Kakak."

"Pikirin dulu keadaan kamu baru ngomong gitu." Titahnya seperti biasa layaknya seorang kapten dalam regu pramuka. Namun barangkali aku hanya satu-satunya anggotanya yang tidak terpengaruh oleh titah itu.

Sebab aku bisa lebih keras kepala daripadanya.

"Pikirin perasaan aku dulu baru pergi." Entah mendapat darimana benakku menyembur balik ucapan Kak Hose dengan kesinisan. Kak Hose kian mengerutkan kening tidak suka. Aku melebarkan senyum tipisku kegelian.

Kutatap tanganku, jemari kami yang bertaut. Aku merasakan kehangatannya di balik ragaku yang bahkan kedinginan dan kebas. Kuingin meremasnya, merasakan kehangatan lebih dalam, namun sekali lagi, energi adalah satu hal yang jauh dari raihanku saat ini. Aku hanya bisa menggapai jemarinya sebisa mungkin, menaruh keputusan kepada Kak Hose apakah dia mau melepasnya atau tidak. Walau kalau dia melepas genggaman ini, pastinya aku sedih setengah mati.

Kakak Kelasku Akan MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang