Chapter 25 - Sudden Notice

2.9K 216 0
                                    

Untuk kali pertama sepanjang kumengingat, Kak Hose membiarkanku ada di sampingnya, tanpa ketegangan di antara kita. Dia menawarkan setangkai es krim yang kuterima, lantas kita menghabiskannya berdua di atas sofa ruang tamunya, sembari berbincang manis, entah apa saja yang ingin kita ucapkan. Aku sudah melepaskan tongkat bisbol sedari tadi. Aku ingin dia tahu sebanyak apa aku memercayainya. Kalau dia tidak akan melukaiku. Dan walau awalnya enggan, Kak Hose akhirnya mengangguk pasrah dan membiarkanku lengah barang sedikit saja di sampingnya. Baru hari ini aku menyadari, ada di samping bahu tegarnya terasa sangat nyaman.

Televisi menyala di belakang, namun kami tidak menggubrisnya. Hanya suaranya saja yang menyandingi kami. Namun pembicaraan kami lebih mendalam ketimbang itu. Aku membiarkannya mengetahui tentang keluargaku. Tentang Ayahku yang tidak pernah dijumpainya, tentang ibuku yang selalu tersipu di hadapannya. Bahkan aku menceritakan kisahku di sekolah lamaku, yang tentu saja tidak semanis di sekolah anyarku. Semenjak kematian Febian, semua mata menatapku bagai aku ini iblis. Kala itu, jelas aku terpuruk berat.

"Tapi kan kecelakaan?" Kak Hose bertanya, menghabisi jilat terakhir di eskrimnya.

Aku menggenggam erat milikku yang bahkan masih tersisa setengah. "Mama Febian ngamuk di sekolah. Dia engga terima. Dia terus nyalahin aku dan..." aku menghela nafas panjang, "akhirnya semua sekolah percaya kematiannya salah aku."

"Dan lo engga membela diri?"

Aku menghela nafas bahkan lebih berat. "Aku bahkan ga punya waktu selain nangisin kematian dia waktu itu, Kak. Aku juga sama kacaunya."

Dan aku bersyukur, Kak Hose mengerti apa yang kumaksud.

Pembicaraan kami berganti menjadi topik yang lebih hangat. Kak Hose menceritakan tentang kawan-kawannya dan bagaimana pertemuan mereka semula berlangsung. Aku menyadari kalau dia enggan menceritakan banyak-banyak soal keluarganya. Aku hanya tahu ibunya meninggal tidak lama setelah Kak Anora, ayahnya bekerja di luar negeri sembari mengirim uang tidak masuk akal banyaknya kepada Kak Hose setiap bulan. Karena itu Kak Hose selalu memiliki uang jajan yang tidak ada habisnya. Karena itu Kak Hose terkenal kaya raya di sekolah.

Dan nyatanya keluarganya memang berkelimpahan. Aku tidak akan menampik, untuk sesaat aku merasa iri.

Ketika pembicaraan kami semakin larut dan semakin dalam, aku menyadari matahari sudah terbenam. Namun aku belum puas berbicara dengannya. Aku ingin ini terus berlanjut, sampai kami serak bahkan untuk berkata, kehabisan topik mungkin, atau nanti kami sudah kelewat larut, dia harus mengembalikanku ke rumah. Namun sayangnya, dunia mengatakan hal yang sebaliknya.

Ponsel Kak Hose tiba-tiba berdering di tengah pembicaraan kami.

Dia mengangkatnya, dan sekilas aku membaca dari layarnya kalau telepon itu berasal dari Kak Dio. Aku tidak bisa mendengar pembicaraan mereka. Walau begitu, jelas aku bisa melihat ekspresi Kak Hose yang berubah drastis sepanjang teleponnya. Menjadi keterkejutan yang berlabur dengan amarah. Keningnya bahkan mengernyit begitu dalam ketika ponselnya ia tutup. Aku terperanjat ketika Kak Hose bangkit cepat dari sofa.

"Kak?"

"Gue harus pergi."

Aku kebingungan. "Ke?"

"Kamar rumah sakit Oscar." Aku ikut terkejut ketika mendengarnya. Ada apa? Apa ada yang terjadi? Namun tidak bahkan aku memiliki waktu untuk menanyakan apa-apa.

Aku menyadari jelas kalau Kak Hose memiliki perkara mendadak dan tidak bahkan memiliki waktu untuk mengembalikanku ke rumah. Karena itu aku mengiyakan ketika dia meminta maaf, dan memintaku untuk ikut dengannya langsung menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan – walau aku tidak bisa melihat parasnya, sebab aku duduk di kursi belakang – aku jelas merasakan ketegangan dari sekujur raga Kak Hose. Dia mengebut bagai orang kesetanan. Dan aku tidak tahu apa yang tengah terjadi, namun satu hal ini aku tahu pasti.

Kakak Kelasku Akan MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang