Chapter 13 - Pinky Promise

3.3K 244 5
                                    

"Mirip? Aku bertanya, kebingungan. "Mirip gimana?"

Kak Hose kali ini memucat. Aku mengerti, kurang lebih. Rasanya menceritakan seseorang yang sudah tiada namun sangat disayangi adalah perihal berat. Kalau aku mengingatkannya akan kakaknya, ada kemungkinan besar, kalau pembicaraan ini akan mengingatkannya juga pada mendiang Kak Anora. Yang tentu, sama dengan mengorek luka lama yang belum kering.

Kurasa dia tidak akan menyukainya. Namun walau begitu, aku acungkan jempol sebab Kak Hose melanjutkan.

"Cara lo ngomong. Cara lo gerak. Cara lo bicara." Dia menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Cara lo pingsan."

Aku menganga lebar. "Maksudnya pingsan?"

Kak Hose lagi-lagi mengacak rambutnya. Lagi-lagi memucat, tapi tersipu. Jadi wajahnya merah, ada bersit pucat, tapi merona, tapi...

Aku benar-benar payah dalam merancang deskripsi, bukan?

"Kakak gue gampang pingsan dari kecil. Darah rendah." Kak Hose berkata, dan aku menagkap cercah kesakitan di balik sorot matanya. "Dia tingginya hampir sama kaya lo. Badan kalian sama-sama anget kalau pingsan. Dan dari hari pertama kita ketemu, lo udah langsung jatoh ke badan gue."

Aku yang kali ini merona malu. "A-aku ga enak badan waktu itu."

"Seudahnya besoknya waktu kita ketemu di ruang musik, lo juga sama. Lo nyaris pingsan lagi." Kak Hose menggeleng kepalanya kepusingan. "Lo sama Kakak gue mirip banget. Keras kepala."

"Keras kepala gimana?"

"Pingsan mulu, tapi maksain mulu harus lakuin yang seharusnya engga dilakuin." Dia menggeram tertahan. "Contoh, masuk ke sekolah."

Aku merasa jahat untuk menahan tawa. Aku merasa salah ingin menertawai kesamaan kita. "Kalau ngingetin, bukannya seharusnya pengen ngejauhin aku, ya? Kan Kakak pasti..." Aku tidak ingin melanjutkan, namun aku sudah terlanjur, "engga mau ingat mendiang Kak Anora."

"Malah sebaliknya." Kak Hose menghela nafasnya panjang. "Mungkin tanpa sadar, gue pengen bayar hutang kesalahan gue yang engga berhasil selametin kakak gue. Jadi setiap ngeliat lo, gue..." dia tampak tidak ingin berkata. Kak Hose, tercekat. Kak Hose sungguh tercekat. Rasanya tidak main-main janggal, "pengennya lo aman."

Debaran aneh beserta bunga yang laksana meletup-letup di dalam perut kembali menyergapku. Kali ini aku tidak bisa membendungnya. Perutku geli, aku rasanya ingin tersenyum sangat-sangat lebar. Padahal aku seharusnya tidak. Kita sedang membicarakan Kakak Anora yang sudah tidak ada. Bukan seharusnya bagiku untuk tersenyum di kala sendu ini.

Aku tidak pantas.

Namun perasaan bodoh ini... entah bagaimana aku harus menjelaskannya. Seluruh tubuhku rasanya bergetar kegirangan. Dan ketika dia mengatakan dia ingin aku aman, aku akan mengakui satu hal.

"Aku ngerasa aman kalau sama Kak Hose."

Perkataanku membuatnya terkejut. Jelas saja, dia langsung menatapku dengan kernyit bingung, belalak yang membesar. Tidak terlalu besar, namun cukup untuk menyatakan keterkejutannya. Aku tersenyum lembut. Sembari mengalihkan pandanganku darinya. Sebab aku tidak ingin dipergok bersemu. Aku tidak ingin ada kesalahpahaman di antara kita.

"Kamu apa?"

"Aku ngerasa aman. Kalau kak Hose yang jagain aku."

Namun lain dariku yang tengah berseri, Kak Hose cemberut kesal. "Lo ga seharusnya begitu."

Aku kebingungan. "Kenapa?"

"Engga ada laki-laki yang seratus persen bisa bikin lo ngerasa aman. Apalagi kaya gue yang tadi gue bilang, baru juga ketemu beberapa lama. Lo harusnya awas sama gue, Ann. Bukannya ngobrol nyaman gini kaya gue engga bisa ngelukain lo."

Kakak Kelasku Akan MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang