Chapter 1 - Death Call

6.2K 319 5
                                    

"Selamat datang di sekolah baru kamu."

Mama membuatnya terkesan manis, namun di telingaku, tidak ada yang baik tentang berpindah sekolah di kelas 11. Aku menegak ludah pahit. Mencoba untuk tampak kalem walau sebenarnya aku berdebar tidak masuk akal.

"Makasih udah nganterin." Hanya itu yang bisa kukatakan padanya.

"Kamu ngomong apa sih, Sayang?" Mama tersenyum lebar. Walau aku tahu di balik senyum itu ada kepahitan yang tidak bisa dijelaskan. "Kan udah tugas mamih nganterin kamu ke mana-mana."

Ya, Dia tidak salah.

"Gimana bekal kamu? Udah dibawa? Buku pelajaran yang baru? Kunci loker? Kunci rumah kalau-kalau nanti Mama ga bisa jemput?"

Aku menghela nafasku panjang. Dia selalu memperlakukanku seperti anak kecil.

"Udah semua, Ma. Aku bukan anak SD lagi."

"Di mata mama kamu masih anak kecil kesayangan Mama, sayang."

Aku menggerutu ketika dia mencubit pipiku dan membuat bekas merah di sana. Walau terlihat cantik bagai menggunakan blush on, aku tetap membencinya. Apalagi ketika kini mobil kita berada di tengah-tengah lobby sekolah, dan alhasil membuat kemacetan.

Oh, bahkan satpam penjaga saja udah kebingungan mengapa aku tidak kunjung turun.

Aku meriah tasku cepat-cepat, mengencangkan tali sepatuku, dan menuruni mobilku.

"Dah." Aku berkata singkat.

"Sampai jumpa nanti sore, Gia." Mama menimbal dengan senyum yang menurutku dipaksakan. "Dan, Gia."

Aku menoleh kepadanya sekali lagi.

Dan senyum mama terlihat sangat pahit, aku bahkan enggan memandanginya.

"Kali ini, jangan buat macam-macam di sekolah baru kamu, ya?"

Aku menggigit bibirku kencang. Lantas aku mengangguk, menutup pintu mobil, dan berjalan melaluinya. Membiarkan mobil selanjutnya menurunkan anak mereka.

Mama tidak berbeda dengan yang lain.

Sekalipun ibu adalah yang terdekat, namun Mama samanya menyalahkan kematian Febian kepadaku. Semua orang sama saja. Karena itu dia langsung mengiyakan ketika aku meminta untuk dipindahkan sekolah. Bagiku, karena aku tidak ingin banyak-banyak mengenang tentang Febian lagi, bagi Mama, karena dia malu satu sekolah menganggap aku adalah pembunuh dari salah satu murid mereka.

Semua orang sama saja. Aku membisik dalam hati. Barangkali karena mereka benar.

Kalau aku adalah pembunuh. Dan aku mengakhiri hidup orang yang paling kucintai.

Setelah kejadian mematikan itu 6 bulan telah berlalu. Dan sampai sekarang, aku masih digentayangi kesenduan akan kepergian Febian.

Kalau ibunda Febian mengutukku, jelas dia berhasil.

***

"Buat apa sih ada guru perpus kalau kerjaannya cuman tidur aja seharian!? Kan gue mau pinjem buku jadi ga bisa!" Olin menggerutu sembari membawa mangkuk baksonya, dan menduduki salah satu meja di kafetaria. Berbanding terbalik denganku yang membawa bekal sendiri dari rumah, sehingga tidak butuh membeli jajanan lagi di antara kantin-kantin yang kali ini dipenuhi sesak semua murid.

"Ya biasa, amal coy. Kasih kerjaan ke orang tua yang udah usang."

"Ya tapi bukan artinya bolehin dia tidur di tengah siang bolong kaya begini dong!" Olin tetap memprotes. Aku dan Lea saling memandang, lantas kita tersenyum tipis.

Kakak Kelasku Akan MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang