Chapter 39 - Between Life and Death

2.7K 250 11
                                    

Gianna POV

Air mata dan ingus sudah berlabur di parasku yang penuh tangis ini. Febian dengan baik hati menenangkanku melalui tepukan di pundak. Kehangatannya membelai barang sedikit, namun kedinginan pekat tetaplah menjelma hatiku sampai bagian terdalam.

Aku mencintai Kak Hose, aku kali ini akan mengakuinya.

Aku sangat mencintainya. Aku menginginkannya. Aku ingin bersamanya, selamanya, kami berdua. Ini baru permulaan dari hubungan kami. Ini baru lembar awal dari kisah kami. Kami bahkan belum genap sepekan berjumpa. Dan aku sudah menyukainya sedalam ini.

Entah aku sudah gila.

Pasti aku sudah gila.

Namun hatiku yang menjerit demikian. Hatiku yang menjerit namanya. Jelas, bukan perkara benar mengucapkan ini di hadapan Febian. Pria yang bahkan sampai sekarang masih menyayangiku. Bahkan dia masih menyaksikan, menjaga kelanjutan hidupku di surga ini. Dia yang masih menyayangiku.

Sayangnya, hatiku terlanjur berlabuh pada pria yang lain.

Aku mengusap air mataku, menjauh dari raganya, menjauh dari kehangatan terakhir yang langsung tubuhku rindukan. "Maaf, baju kamu jadi basah," bisikku, begitu pelan.

Namun Febian tetap tersenyum. Betapa buruknya aku yang malah mengkhianati pria sebaiknya.

"Ga masalah. Baju kaya begini, di surga kapanpun bisa aku dapatkan. Kalau aku kembali."

Aku menatap matanya, sarat kebingungan. "Apa maksud kamu? Bukannya ini udah di surga? Kamu kembali ke mana?"

Senyum lagi-lagi merentang di paras Febian. Senyum khasnya yang penuh dengan kebaikan. Namun yang selalu kupandangi di hari ini adalah senyum penuh kepahitan. Dan itu karena dia masih menyayangi diriku, sedangkan aku tidak sebaliknya.

"Sebelum aku mulai, tolong kasih aku kesempatan buat minta maaf." Febian melepas tatap dariku. Dipandang olehnya hamparan luas nan lebar cantik di hadapan kami. Ditatapnya seluruh makhluk yang tinggal, mempercantik pemandangan di sana. "Aku akan mengakui, aku pecundang." Aku kian kebingungan saja. "Aku cemburu semenjak kamu bertemu kakak kelasmu itu. Aku cemburu akan kamu yang mulai melupakan aku dan menjadi miliknya. Aku cemburu kamu mendapatkan pria lain sedangkan aku masih di sini dan menyayangi kamu."

"Tapi sekarang kamu ga perlu cemburu lagi." Aku tersenyum getir. "Aku udah di sini. Barengan sama kamu. Abadi."

"Andai begitu..." Febian menghela nafasnya panjang. "Barangkali enak, ya?"

Keningku kian mengerut. "Aku beneran ga ngerti maksud kamu. Aku udah mati, kan?"

Febian tersenyum tipis, lantas dia terkekeh. Sudah aneh bagiku, namun rupanya bukan itu saja. Dia bahkan mengacak rambutku sampai helai demi helainya acak-acakan. Aku menggerutu. Ada apa sebenarnya dengannya?

"Sebutin jam, menit, dan detik, kapan aku bilang kalau ini adalah surga?"

Seketika aku tidak bisa berkata. "E-engga pernah..."

"Jadi, siapa yang narik konklusi sendiri selain kamu?"

Aku kian terbingung-bingung saja. "T-tunggu... tapi kan.... hah?" Aku kelabakan sendiri. "Tempat kaya gini apalagi selain surga? Mana mungkin aku bisa ketemu kamu lagi selain di surga? Mana mungkin Febian hidup lagi dan aku..." Aku menutup mulutku. "Jangan bilang aku cuman mimpi! Itu ga lucu sama sekali! Febian, bilang aku salah prasangka!"

Febian mengacak rambutku sekali lagi. Kebiasaan buruknya! "Aku tidak mengatakan juga kalau ini mimpi. Jiwamu bener-bener ada di sini, di sampingku, Gia. Tapi kamu lihat jurang besar yang ada diantara tempat berkaca ini dan taman besar itu?" Aku mengangguk. "Jurang ini adalah batas antara hidup dan maut. Hamparan taman asiri di depan sana adalah surga. Dan kamu belum melewatinya."

Kakak Kelasku Akan MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang