Ketika lampu ruang operasi menyala, aku hanya bisa menunggu di kursi tunggu sembari menahan ketegangan. Seluruh rumah sakit masih berisik oleh kepanikan dari kedatangan seorang perempuan yang berdarah-darah, memasuki ruang operasi. Bahkan jejak darahnya masih tertinggal di ubin rumah sakit. Ketika membopongnya kemari, luka Ann kian memburuk saja, alhasil mengejutkan semua dokter di ruang IGD, dan membuat semua anggota rumah sakit cepat-cepat membawa Ann menuju perawatan intensif.
"Nak, ini darah di badan kamu..." Seorang suster menghampiriku. Bukan suster tadi yang menolong Ann ketika dia demam tinggi. Bukan suster yang seharusnya menjaga Ann ketika aku pergi tadi.
"Bukan darah saya." Aku menjawab singkat.
"Lho? Darah siapa toh?"
Aku hanya menatap pintu ruang operasi. Dan Suster itu seketika menutup mulutnya.
"Astaga. Kamu ngeliat kejadian penembakannya? Kamu pasti trauma berat, Dek. Mau ketemu sama dokter juga? Kami bisa banget sediain saja psikiater secepatnya."
Aku tidak butuh itu semua! Rasanya aku ingin menjerit. Aku hanya butuh Ann untuk baik-baik saja. Dengan begitu aku akan baik-baik saja.
"Engga, Sus, terima kasih. Saya nunggu dia saja."
"Lho kok tapi sebelah tangan kamu yang paling banyak kena darah?" Suster itu mulai menatapku curiga. Dan dia mulai memerhatikan sebuah lubang yang tertoreh di baju seragamku. Aku rasanya ingin mendecak kesal. Ini bukan waktunya untuk mementingkan aku, demi Tuhan! Ini waktunya untuk mementingkan Ann! "Kamu ketembak juga, Nak!?"
Dan sialnya, seluruh suster yang ada di sana langsung menoleh kepadaku.
"Engga ini-"
"Coba buka seragam kamu!" titahnya, begitu tegas. Sejak kapan suster yang tampak lemah lembut ini semuanya menjadi seperti ibu-ibu menakutkan? "Buka seragamnya!"
"Saya ga papa, Sus." Aku mencoba bersabar.
"Engga mungkin ga papa! Buka gak!?"
"Engga!" Aku menolak.
Namun ketika dia mengangkat tanganku, aku tidak bisa menahan rintihan sakit dari bekas luka dan peluru yang masih menancap di balik daging pundakku. Rasanya aku bisa menjerit, tapi aku mencoba menahannya. Namun sebaliknya itu malah membuat mereka sadar kalau aku tidak baik-baik saja.
Dan yang selanjutnya terjadi, kurasa mudah untuk ditebak. Aku dipaksa untuk diperiksa.
"Engga mau! Saya mau tungguin dia!" Aku menunjuk ke arah ruang operasi.
"Saya ga tau kamu pacarnya atau gimana, tapi jangan bucin-bucin sampe engga mikirin diri sendiri, belum jamannya anak kaya kamu begituan!" Aku rasanya ingin menggeram kencang. "Kamu bisa-bisa infeksi dan sebelum pacar kamu itu keluar dari ruang operasi, kamu duluan yang harus masuk. Nanti berabe."
Aku yakin tembakan yang kudapat tidak seburuk yang milik Ann. Tapi walau begitu, tugas suster adalah menangani pasien. Mereka tidak akan memikirkan kehendakku. Mereka memikirkan kebutuhanku.
"Ya sudah, saya mau tapi ada syarat." Aku akhirnya menyadari kalau aku tidak bisa lagi menolak.
"Lho kok mau disembuhin pake syarat segala!? Kamu nurut aja sini!"
"Engga!" Aku menarik tanganku kencang, menolak tegas tawarannya. "Saya mau diobatin, tanpa jalur BPJS semuanya bayar cash, operasi perempuan itu juga saya yang tanggung, asal syaratnya, suster cuman bantu kasih pertolongan pertama ke tangan saya yang ketembak. Dan seudahnya bolehin saya tunggu di sini sampe ada hasil operasinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kakak Kelasku Akan Mati
Roman d'amourKakak Kelasku Akan Mati | Ambrose Death Call Gianna bisa mendengar lonceng kematian. Mungkin kau akan kebingungan apa itu. Namun singkatnya, lonceng kematian adalah denting lonceng keras yang hanya bisa didengar Gia. Suara yang hanya berasal dari...