Chapter 37 - Like and Love

2.9K 255 4
                                    

Gianna POV

Aku menangis entah berapa lama di dalam dekapan hangat Febian. Laksana anak kecil, barangkali kalian bisa mengatakannya begitu. Mataku sampai kemerahan. Tubuhku sampai linglung, kalau bukan raga Febian yang meraihku agar tetap berdiri tegak, barangkali aku sudah terseok. Rindu yang lama terpendam tumpah ruah di waktu yang sama. Kangen yang disertai air mata melimpah, juga kehangatan melimpah.

Namun kurasa, ada sesuatu yang berbeda dari tangisku ini. Secercah perasaan kelam yang bukanlah rupa sebuah rindu. Sebuah kesedihan mendalam yang mengatakan kalau aku menginginkan hal lain.

Hatiku tidak berani mengucap keinginanku yang satu itu. Takutnya, aku hancur.

"Aku mau banget gini terus sama kamu, tapi aku pengen bawa kamu ke satu tempat." Tawa renyah Febian memenuhi indra pendengaranku. Bahkan tawanya saja mengandung rindu ruah yang begitu dalam. "Ke satu-satunya tempat di mana kita bisa duduk."

"Ada kursi si surga?" Jemariku mengusap air mataku, hidungku menarik kencang ingus agar tidak ikut serta tumpah ruah. Sedangkan Febian lagi-lagi tertawa, kali ini, tangannya bonus mengacak rambutku gemas.

"Mana mungkin? Kalau ada pun cuman takhta yang boleh didudukin Tuhan, Gia." Benar juga. "Tapi ada tempat yang pengen aku kasih tunjuk ke kamu."

"Mana?"

Tangannya yang terjulur kepadaku, jemari-jemarinya yang panjang, tampak sangat menggiurkan untuk diraih. "Aku tunjukin jalannya."

Sembari berjalan melewati lantai kaca nan kokoh ini, kami bercengkerama. Banyak hal kami ucapkan. Kebanyakan, adalah dariku yang mencoba untuk membicarakan kehidupanku setelah kematian Febian. Banyak cerita pahit yang berlalu. Jelas aku tidak menceritakan yang semacam itu kepada Febian. Seperti ibunya yang mengamuk padaku, ataupun ayahnya yang melarangku lagi untuk berkunjung ke rumah Febian, bahkan ketika aku rindu sekalipun.

Cemooh teman-teman di sekolah yang menyalahkan kematian Febian kepadaku pun, jelas tidak kuucapkan. Aku tidak ingin menuangkan kepahitan di dalam pembicaraan penuh rindu ini yang baru kita tukar setelah 6 bulan lamanya. Aku hanya ingin menceritakan yang baik-baik saja.

Namun Kak Hose tidak termasuk.

Karena walau dia kenangan terbaik yang kumiliki semenjak kehilangan Febian, menceritakan kekasih baru kepada kekasih lama tentu bukan pilihan baik.

Sekalipun kekasih baru itu adalah sandiwara.

Aku tersenyum getir.

Barangkali di dalam hatiku, aku tidak begitu menganggapnya sandiwara. Buktinya, aku sesedih ini sekarang.

Ketika tungkai kami akhirnya sampai, mataku membelalak. Hamparan yang bahkan lebih terang benderang lagi bisa kutatap di kejauhan. Sebuah lahan penuh dengan kecantikan tak main-main. Rumput yang menari diterpa angin hangat. Bunga yang bemekaran tanpa satu pun melayu di bawah naungan sinar mentari. Bahkan tupai-tupai yang melompati pohon-pohon, tampak menyala di lahan yang sudah sejak semula benderang itu. Aku tercengang, juga terperangah.

"Cantik banget!" Aku berseru lantang. "Aku ke sana, ya!?"

Benakku tidak berpikir dua kali untuk mengirimkan perintah pada tungkaiku agar berlari menghampiri hamparan cantik nan asiri itu. Namun sebelum langkahku mampu menyampainya.

"Hati-hati, astaga!"

Aku menjerit tatkala aku nyaris jatuh, menuju sebuah jurang besar yang entah bagaimana tidak mataku tangkap tadi. Kedalaman tak berakhir mencerminkan jurang itu. Jikalau bukan tangan Febian yang meraihku, barangkali aku sudah terjun bebas dan mati kedua kalinya menghantam tanah di bawah sana. Kalau memang ada. Untung saja lenganku diraih milik Febian tepat waktu.

Kakak Kelasku Akan MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang