Chapter 29 - Warehouse

2.8K 209 3
                                    

AMBROSE'S POV

Sampai kami tiba di lokasi pertemuan, masih menggantung di setiap sisi kepalaku tentang perjanjian tidak adil bagi pihak Joker yang diajukan mereka sendiri. Aku mengakui ucapan Gio ada benarnya. Tidak, benar sekali malah. Pertarungan ini laksana jebakan. Dan aku tidak bisa membayangkan jebakan semacam apa yang akan menanti kami di sini. Namun walau begitu, aku menerima pertikaian ini. Semuanya demi Oscar. Teman terbaikku. Bukan berarti Cavalry yang lain bukanlah teman baik, namun aku besar bersama Oscar. Kami diperkenalkan oleh orang tua kami dari umur sangat muda. Kami sudah menjadi sahabat semenjak aku sadar. Aku tidak bisa membiarkannya terluka lebih parah lagi ketimbang nasibnya sekarang.

Aku rasanya ingin meminta maaf kepada teman-teman yang lain bahkan sebelum memulai pertikaian ini. Meminta maaf kalau ini sungguhan perangkap. Kalau aku mencelakai mereka. Walau aku tidak akan pernah memaafkan diri sepanjang hidupku kalau memang begitu adanya.

Namun aku kembali membayangkan Joker. Pria busuk yang menjadi dalang. Dia bukan tipe yang senang berkomplot dengan orang asing. Dia tidak akan bertikai selain bersama keenam temannya. Jadi keroyokan oleh orang masal bukanlah kemungkinan jebakan. Untuk satu itu aku yakin. Karena itu satu-satunya kemiripan yang kita miliki. Tidak mudah memercayai orang lain.

Kalian harus tahu seburuk apa aku membenci ketika mengetahui aku memiliki sifat serupa dengannya.

Aku mengencangkan kepalan tatkala langkah kami memasuki sebuah gudang besar yang terbengkalai. Aku menyebutnya gudang saja, karena aku tidak begitu mengetahui asal-usul sebenarnya tempat ini. Sekelilingku beraroma sampah busuk. Ini adalah tempat kumuh. Dekat daerah kumuh. Sama-sama kumuhnya barangkali. Aku tidak akan datang kemari kalau bukan karena perkara penting.

Cahaya di sini kelewat remang, kelewat berbahaya. Kalau ada penyerangan dadakan aku tidak akan bisa melindungi siapa-siapa. Aku siaga sampai bulu kudukku meremang. Aku berkali-kali menoleh ke belakang, ke teman-temanku, meyakinkan kalau mereka belum terluka.

Belum.

Aku menggenggam senapan angin yang selalu kami maupun Joker gunakan setiap beradu, dan berancang-ancang. Entah menanti apa. Yang penting agar yang terburuk tidak terjadi.

Lalu kami mendengar suara motor dari luar gudang raksasa ini. Motor-motor berderu kencang yang menandai kedatangan mereka yang senantiasa heboh tiada main. Aku kejijikan bahkan hanya dengan mendengarnya. Selanjutnya yang menyusul adalah langkah dari balik pintu belakang (kami masuk dari pintu depan) dan muncullah dari sana 7 sosok pria yang kubenci sampai tulang rusukku terdalam. (Sebab salah satu anggotanya telah kami babak-beluri sampai tidak bisa datang). Enam pria yang telah menghancurkan kakakku. Enam orang pria yang tidak adil jikalau tidak masuk ke bui. Enam orang pria yang menghancurkan keluargaku. Ibuku. Ayahku. Aku.

Hanya saja aku tidak pernah mengatakan kepada siapa-siapa kecuali temanku dan Ann tentang apa yang telah mereka lakukan kepada Anora. Sebab aku meyakinkan diri kalau pelaporan kepada polisi oleh orang tuaku belaka tidaklah cukup untuk mereka. Aku butuh balas dendam. Sebab itu aku melapor ke ayahku kalau Anora meninggal karena depresi berat. Itu saja.

Mungkin aku egois, tapi aku yang menyaksikan bunuh diri Anora. Aku ingin diriku sendiri yang membalaskan dendamnya.

"Selamat malam, Hose sayang. Gue ga sangka lo bakal noko-noko dateng begini tanpa babibu. Kesambet petir apa? Biasanya siaga lo nomor satu." Aku bahkan ingin meludah mendengar suara Leon. Aku ingin mencabik parasnya sampai bibir itu terbelah dan tak mungkin lagi berkata. Aku ingin menonjok hidungnya sampai retak dan tidak bisa berhenti berdarah.

"Apa lagi yang bisa gue lakuin kalo lo sandera temen gue yang bahkan engga sadar diri?" Gue membalas sengit, kesal setengah mati. "Lo secemen apa sih sampai berani-beraninya ngancem pakai orang sekarat?"

Kakak Kelasku Akan MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang