Pusing adalah hal pertama yang kurasakan ketika aku membuka mataku. Lalu mual yang menghantam. Berakhir dengan nyeri-nyeri di sekujur tubuhku, apalagi di dadaku. Pemandangan pertama yang kupandangi adalah langit-langit ruangan yang tidak kukenal, namun suara pertama yang kudengar, cukup aku kenali.
"Lin! Lin! Gia bangun!"
Aku terpaku kaku untuk beberapa saat. Mencoba meredakan peningku yang menyiksa. Mencoba menenangkan diriku yang dihantam berbagai macam perasaan buruk sekaligus.
"Oi, Gi. Lo bisa denger gue?" Aku mendengar Olin berkata.
Aku menggerang kesakitan. "Bisa."
"Puji Tuhan. Akhirnya bangun juga." Lea yang kali ini bersuara. "Gue sangka lo kenapa-napa pingsan sampe siang begini."
Siang?
Aku menoleh kepada mereka. "Sekarang jam berapa?"
"Satu." Aku membelalak. "Lo pingsan di tengah kantin, terus tadi ada kakak kelas yang gotong lo ke sini. Semenjak itu kita colong-colong pantauin lo, tapi lo baru bangun sekarang."
Aku terpaku terkejut. "Aku udah lewatin berapa pelajaran?"
"Astaga, lagi sakit juga masih mikirin pelajaran, Gia!" Olin menggerutu, Lea menggeleng-geleng kepalanya kepusingan. "Lo sehat dulu baru belajar, ngerti?"
Aku tidak bisa berpikir begitu. Aku ingin memiliki nilai baik. Aku ingin sekarang juga kembali ke kelasku. Aku sudah cukup membuat keributan di kantin pagi tadi. Aku tidak ingin membuat kerusuhan lebih buruk. Aku sudah berkata, aku hanya menginginkan hidup bahagia tanpa masalah di sekolah baruku, bukan? Namun Olin dan Lea bukan berkata tanpa basis. Ketika suster UKS mengecek dahiku, dan menemukan kalau keningku masih membara, dia mengatakan kalau aku masih membutuhkan istirahat.
Dia bahkan menyuruhku mengatakan kepada mama kalau aku lebih baik pulang ke rumah.
Yang jelas tidak akan aku lakukan. Pertama, karena mama masih di kantornya. Kedua, karena ini hari pertama aku sekolah.
Aku tidak ingin mengecewakan orang tuaku.
"Tadi gimana dah rasanya digendong sama Kak Ambrose?"
Aku menoleh ketika Lea berkata. Dengan semu manis di parasnya. Bagai tengah menonton sebuah kisah romantis yang mengunggah perasaan.
"Kak Ambrose?" Aku membisik pelan.
Dan seketika aku membelalak. Aku baru mengingat. Aku pingsan karena mendengar lonceng kematian seseorang, begitu kencang, begitu membahana. Sampai telingaku pekak, keningku menjerit kesakitan, mataku buram, dan tubuhku tidak bisa menopang bebannya lagi. Pria yang menangkapku ketika aku akan jatuh. Salah satu dari 6 orang pria terkenal yang baru memasuki ruangan kantin. Barangkali, pria yang dimaksud Lea mengangkutku sampai ke UKS pun, pria yang sama.
"Kakak itu gimana sekarang!?" Aku langsung bertanya.
Olin mengerutkan keningnya. "Harusnya kebalikan! Lo yang ditanyain lo gimana sekarang, bukan Kak Ambrose. Dia ya engga kenapa-napa lah, dia cuman bawa lo ke sini. Dia bukan encok, kok."
Minimal aku bisa menghela nafas lega. Dia masih hidup. Padahal loncengnya sekencang itu. Padahal aku nyaris tidak pernah mendengar lonceng sekeras lonceng kematiannya. Aku menggigit bibir dan perlahan memberanikan diri untuk bertanya kepada teman-temanku, siapa sebenarnya pria bernama Ambrose ini.
Aku tidak akan berhubungan lagi dengan lonceng kematian, aku telah berikrar. Namun untuk mengenal pemilik lonceng satu saja tidak ada masalah, bukan? Aku menjadi kepedulian kecil sebagai dalih. Aku hanya ingin tahu. Sudah itu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kakak Kelasku Akan Mati
RomanceKakak Kelasku Akan Mati | Ambrose Death Call Gianna bisa mendengar lonceng kematian. Mungkin kau akan kebingungan apa itu. Namun singkatnya, lonceng kematian adalah denting lonceng keras yang hanya bisa didengar Gia. Suara yang hanya berasal dari...