Chapter 23 - The room

3K 244 4
                                    

Perutku melilit-lilit sepanjang pelajaran. Setiap hari belakangan ini, penyebabnya adalah lonceng kematian. Namun entah, kali ini ada rasa aneh yang berbaur. Bagai perasaan buruk menghantamku sampai lambungku menjerit perih. Laksana seberkas pikiran menggantung bergulung-gulung di batok kepalaku, dan membuat ragaku meminta pertolongan. Sebuah cara penjelasan yang tidak menarik, aku mengakui. Aku memang buruk dalam menjelaskan, kalian ingat? Namun rasanya sungguh tidak enak. Rasanya sangat buruk.

Karena itu aku melewati lorong-lorong kelas dengan wajah pucat dan wajah tertunduk.

Olin dan Lea tidak bersamaku. Mereka tengah menikmati semangkuk bakso di kantin sepulang sekolah. Katanya, sebagai bensin untuk mengerjakan PR matematika yang ditujukan pada kami. Namun PR? Aku sudah tidak bisa memedulikannya. Sekarang juga rasanya aku ingin bergulung di balik selimutku, dihampar kesunyian, dan tenggelam dalam perih.

Aku meremas seragamku, menggigit bibirku. Aku menyedihkan. Aku sungguh menyedihkan. Dan walau rasanya aku bisa mati hanya dengan berjalan saja, aku terpaksa untuk tetap melangkah. Bukankah hidup memang selalu begitu? Memaksa kita untuk terus maju sekalipun enggan? Semesta mungkin membenci manusia. Atau barangkali manusia yang terlalu pintar berakhir dibenci semesta.

Lihatlah, pikiranku sudah mulai berkecamuk tidak penting. Aku benar-benar harus pulang sekarang.

Aku menghela nafas kelewat lega ketika aku melihat mobil ibuku di parkiran tepat ketika aku melangkah keluar dari pintu kaca sekolah. Aku bisa langsung pulang. Tanpa menunggu jemputan atau memesan ojol, sebab aku sungguh tidak ingin. Namun di sekelilingku, aku mulai mendengar desas-desus dari banyak orang. Seakan tengah membicarakan topik sangat hangat yang tengah merebak. Namun semua mata menatap kepada mobil ibuku.

Aku mengernyitkan kening. Aku tidak mengingat mobil ibuku penyok di bagian mana pun.

Sampai salah satu murid menyadari keberadaanku, dan seketika matanya melebar melihatku. Ketika aku menatapnya balik, dia langsung membuang muka. Dan semenjak itu, semua ekor mata menyoroti ragaku. Aku terpaku dalam kebingungan.

Ada apa ini?

"Ih gila, Kak Amborse manis banget." Aku mendengar salah satu dari mereka membisik dari kerumunan yang terbentuk.

"Kalo gue jadi Kak Gianna, gue baper sih."

"Itu mobil mamanya, kan?"

"Ya iyalah, mana mungkin mobil tetangganya?!"

Oke, aku mulai mengerti. Mereka tengah membicarakanku. Aku yakin.

Dan kali ini mataku kembali kepada mobil ibuku. Kukernyitkan keningku dan barulah di sana aku menemukan apa yang menjadi pusat dari masalah. Dan seketika aku terbelalak.

Sebuah tubuh jangkung berdiri si samping mobil bagian pengemudi. Dari balik pintu itu, aku bisa melihat ibuku menyembulkan wajah, dan tampak berseri-seri. Sedangkan Kak Hose – ya, kau tidak salah baca. Kak Hose sungguhan! – tengah berbicara dengan ibuku, dengan tawa khasnya yang tidak berlebihan, namun tak terkira berkarisma.

Aku tidak ingin mengakui, namun aku terpikat untuk sesaat. Itu sudah pasti.

Kerumunan dan desas-desus kian memekat saja. Aku mengernyitkan keningku tidak suka, namun dalam sama waktu aku membenci bagaimana debaranku bergemuruh di dalam dadaku. Apa yang mereka bicarakan? Apa yang kulewatkan? Aku ingin tahu. Sebab itu aku mulai melangkah mendekat. Namun itu sama saja seperti memasukkan minyak ke dalam kobaran api. Para penonton kian terhibur ketika melihatku mendekat ke mobil. Dan seketika aku tersipu. Aku membenci diriku yang tersipu.

At this point, apa yang kutidak benci dari diriku?

"Ma." Aku langsung berkata, tegas nan dingin ketika aku sampai. Mengejutkan kedua manusia yang sedang bercengkerama bersama.

Kakak Kelasku Akan MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang