Ambrose POV
Pori-poriku menjerit kedinginan tatkala tungkaiku memasuki ruang inap ini. Entah memang udaranya yang mengiggil, atau aku saja yang kelewat ketakutan. Siapa yang tahu? Aku sendiri pun tidak mengerti diriku yang sekarang. Hamparan putih menyelimuti pemandanganku. Warna simbol kesucian. Namun kini hanya kengerian yang tampak di sirat mataku.
Kusadari mataku menjelalat ke mana-mana. Mencari apa saja yang bisa kupandangi agar aku tetap waras. Barangkali pemandangan di luar jendela. Barangkali nakas tak bernyawa di samping kasur rawat. Sampai sofa penunggu di pojok ruangan. Retinaku menangkap semua pemandangan ini dengan kabut menyelimuti, awan-awan bergulung-gulung kelam. Pasti mataku segelap angkasa kesepian saat ini. Segelap hatiku. Segelap perasaanku.
Namun pada akhirnya, mata penuh kengerian ini berlabuh pada sosok yang begitu kudamba untuk ditatap. Pada sosok seorang tubuh yang tergeletak pucat di atas kasurnya. Lengannya dialirin cairan infus, mulutnya dibantu oleh alat pernafasan, guna paru-parunya mampu bekerja. Kakinya yang terselimuti tampak loyo tak bertenaga. Memang sebenarnya begitu. Kesadaran tampak begitu jauh di luar jangkauan Ann yang sekarat. Kesembuhan bahkan lebih jauh lagi bagi dia yang perutnya tertembak senapan.
Kuremas tanganku, kugigit bibirku. Kudamba waktu untuk memacu mundur, alhasil memampukanku menghilangkan rasa sakit hati familier ini dari kalbu. Rasa sama yang kukecap tatkala aku menatapi kematian di sirat mata Anora.
Rasa kesepian mendalam yang hanya bisa kurasakan sendiri. Penyalahan diri nan kecam yang kulontarkan pada namaku sendiri.
Sembari melangkah mendekat, kutenggelamkan kukuku ke dalam kepalanku. Kubiarkan denyut menyakitkan menggedor otakku. Kurela kesakitan kalau itu mampu membuat Ann membuka mata, dan sembuh, saat ini juga. Namun jikalau bisa begitu, bukankah semesta terlalu baik kepada manusia? Sekalipun aku memohon sampai tulangku patah berdoa, kesembuhannya tidak bisa ditukar dengan nyeriku. Aku tidak bisa menjadikan peluru itu yang menancap di perutku, alih-alih miliknya. Kenyataan pahit nan kelam yang kudu kuterima, jikalau tidak ingin menggila.
Kursi yang kududuki di samping kasur Ann bahkan lebih dingin lagi. Sedingin es, barangkali. Raganya telah dipindahkan dari ruang operasi ke ruang inap dengan perawatan yang tidak kalah intensif. Malah sejujurnya, tanpa semua selang yang menancap di tubuhnya ini, barangkali Ann sudah tidak ada lagi di hadapanku. Tidak, pasti. Hanya peralatan medis yang menjadi benang tipis terakhir penyambung nyawanya. Dan siapa yang patut disalahkan?
Selain aku, siapa lagi?
Ketika jemariku menggenggam miliknya, aku terperanjat. Akan dua hal. Pertama, sebetapa dinginnya lengannya terasa, sepucat apa tampaknya jikalau lebih dekat dipandangi. Kedua, sebab ini barangkali kali pertama semenjak kematian Anora, aku rasanya ingin menggenggam tangan seorang perempuan seerat ini. Tidak pernah melepaskannya. Selalu menjadikannya di sisiku.
"Lo tuh aneh." Aku mendapati diri sendiri membisik. Tampak bagai bercengkerama dengan udara, silakan beranggapan demikian. Namun jelas, aku berbicara kepada Ann. "Sejak pertama kali kita ketemu, kamu pingsan, pas lagi jatuh ke tangan gue."
Rasa perih merambati ulu hatiku. Sakit yang bahkan kian buruk menggebuki perutku. Ingin muntah menyergapku sampai aku kewalahan. Namun kelemahan apalagi yang bisa kutunjukkan ketika Ann bahkan lebih menderita ketimbangku? Itu mustahil kulakukan.
"Semenjak itu, kita sering ketemu. Entah panggilan semesta bagaimana," bisikku pelan, melanjutkan. "Lo engga keliatan kaya cewe agresif. Tapi sebenernya lo iya. Bahkan lo maksa mau dateng ke rumah gue di hari pertama kita kenalan. Lo tuh ngerepotin tau ga sih?"
Ingatanku kembali berpacu kepada hari pertama aku mendapati permohonan keras dari Ann untuk membawanya ke rumahku. Ingatanku bahkan mengenang bagaimana aku rela berhujan-hujanan jikalau itu deminya bisa dinaungi payung yang hanya ada satu saja di pos satpam sekolah. Gila barangkali. Namun sejak pertama, hatiku mudah goyah demi gadis satu ini. Sebuah misteri yang tidak bisa kupecahkan mengapa adanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kakak Kelasku Akan Mati
RomanceKakak Kelasku Akan Mati | Ambrose Death Call Gianna bisa mendengar lonceng kematian. Mungkin kau akan kebingungan apa itu. Namun singkatnya, lonceng kematian adalah denting lonceng keras yang hanya bisa didengar Gia. Suara yang hanya berasal dari...