part - three

10 3 0
                                    


"Gula satu, garam, santan, apa lagi ya kata Bunda tadi?" Gadis manis itu bolak-balik mengelilingi supermarket membawa keranjang belanjaan yang berisi pesanan Bundanya. Hani lupa mencatat apa saja yang harus ia beli, alhasil ia mengitari semua lorong barang sembako berharap bisa ingat salah satu barang saat melihatnya di rak barang. "Oh iya, margarin" serunya saat mendapati barisan margarin yang berjejer rapi. Hani melangkah pergi meninggalkan lorong sembako dan bergegas mengunjungi lorong jajanan. Gadis itu gemar sekali memakan snack dan minuman kopi. Ia tak suka eskrim, apalagi yang berbau stroberi. Setelah puas meraup puluhan bungkus snack, ia kemudian berjalan menuju kasir untuk menghitung semua total belanjanya.

"Heh! Kamu niat mau maling ya? Saya laporin kamu!"

Saat mendekati kasir, Hani melihat petugasnya sedang meneriaki seorang lelaki didepannya. Ia mendekat dan mencoba mencari tau apa yang terjadi.

"Saya tadi niat emang mau beli ini, mbak. Cuma saya lupa bawa dompet, saya ambil dulu sebentar ya?" Ucap lelaki berjaket hitam dan bertopi didepannya.

"Saya nggakmau tau, barangnya sudah saya input dan kamu harus bayar sekarang!"

Laki-laki itu bingung. Rupanya ia lupa membawa uang saat ke supermarket. Hani mengamati postur tubuh lelaki itu, ia seperti mengenal badan itu. Tak salah lagi, itu Fajar. Hani tau persis. "Fajar bukan?" Tanyanya pelan menepuk pundak orang didepannya.

Lelaki itu menoleh dan menatap Hani. Tatapan yang sama persis saat mereka berdua di UKS. Hani mematung menatap kedua manik mata itu. Kedua mata tegas milik pria yang selalu mengisi kepalanya. "Lo? Bentar" Fajar mengamati wajah gadis didepannya dan mencoba mengingat siapa dia. "Hanisa? Yang di UKS kemarin?" Tanyanya.

Hani mengangguk kegirangan, senang sekali Fajar masih ingat namanya. "Lo kenapa? Lupa bawa uang?" Tanyanya yang dibalas anggukan kecil dari Fajar. Hani terkekeh geli. Bisa bisanya hendak berbelanja tapi lupa membawa uangnya. Dikira supermarket ini bisa ngebon seperti di warteg kali. "Kalau boleh tau berapa total belanjaannya mbak?" Tanya Hani pada mbak-mbak kasir yang tadi memaki Fajar.

"68 ribu kak"

"Yaudah biar saya yang bayar sekalian belanjaan saya ya mbak" Hani menaikkan keranjang belanjaannya keatas meja kasir untuk dihitung. Ia menunggu beberapa saat.

"Totalnya 274 ya kak"

Gadis itu menyerahkan sebuah kartu kredit dan mengetikkan beberapa sandinya. Setelah itu ia mengambil belanjaannya dan belanjaan Fajar tentunya. Keduanya berjalan keluar dari supermarket.

"Makasih ya, besok gue ganti uangnya" Fajar membuka suara.

Hani mengangguk. "Iya santai aja, ini punya lo" Ucapnya sambil menyodorkan kresek hitam belanjaan Fajar. Eits, sebentar ada yang aneh. "Kok ringan banget lo beli ap.. a" Pertanyaan Hani terhenti saat ia melirik isi kresek tersebut. Fajar langsung merebut kreseknya dari tangan mungil Hani.

"Biasalah anak muda" Fajar menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali.

"Kalau gue tau lo beli rokok mending gue biarin aja lo diteriakin maling tadi" Hani menatap sinis pada pria yang sedang cengar-cengir disampingnya itu. Ia tak suka rokok, asapnya bikin batuk katanya. Bahkan kakaknya dirumah pun tak pernah merokok. "Tapi, yaudah si itu pilihan hidup lo gue mana bisa ngatur lo apalagi nyuruh lo berhenti, kan?" Hani memberanikan diri menatap sepasang manik mata milik pria didepannya. Manik mata yang dengan ajaib mampu membuatnya jatuh cinta, jatuh sedalam-dalamnya.

"Hehehe, ya begitulah. Ngomong ngomong lo tinggal disekitar sini?" Fajar mengalihkan topik pembicaraannya.

Lagi-lagi Hani mengangguk. "Paling Cuma 5 menit dari sini. Lo sendiri?"

"Gue nggak tinggal disini, kebetulan gue lagi main tempat temen rumahnya disitu" Fajar menunjuk arah rumah temennya dengan jari telunjuknya.

"Oh gitu, oiya congrats ya kelas lo juara umum voli kemarin".

Fajar menghela napasnya berat. Terlihat perubahan raut wajahnya. "Thanks tapi keknya lo ngucapin congrats ke temen gue aja, gue kan nggak main". Ada penyesalan dalam nada bicara pemuda itu.

"Eh kata siapa? Lo main kok, justru lo paling berjuang sampe mimisan gitu" Hani terkekeh mengingat kejadian kemarin dimana muka Fajar ketimpuk bola voli sampai pingsan kemarin.

"Lo muji gue atau ngejek sih?!" Fajar menyentil dahi gadis didepannya. "Tapi yaa udahlah, nggakpapa seenggaknya gue ditolongin gadis cantik di UKS kemarin walaupun muka gue panas karena dikasih minyak angin semuka muka" Fajar memutar bola matanya sambil sedikit terkekeh mengejek Hani.

"Lo nggak bersyukur banget gue tolongin, dua kali loh!" Hani mengacungkan jari telunjuknya didepan muka Fajar yang masih terkekeh.

"Iya iya makasih, udah pulang gih! Udah malem, noh disono biasanya banyak om om ntar lo diculik".

"Jangan nakut-nakutin sialan!" Hani menginjak kaki kanan Fajar sekuat-kuatnya.

"Akh! Becanda doang becanda!" Fajar meringis kesakitan.

"Yudah gue duluan. Lo bawa motor?"

"Enggak, gue jalan kaki orang deket disitu kok"

"Oh okey, duluan ya!" Hani menghampiri motornya. Memakai helm dan mulai menjalankan motor kesayangannya itu.

"Hati-hati!"

Hani bisa melihat dari spion motornya bahwa lelaki dibelakangnya itu melambaikan tangan kearahnya. Ia terus mengulum senyum sepanjang jalan. Mengingat tatapan pria itu, agh manis sekali. Tak disangka, ia ditakdirkan bertemu dan bisa mengobrol seakrab itu dengan lelaki yang sudah ia kagumi setahun lebih. Tuhan, tolong biarkan Hani menikmati perasaannya kali ini.

_____

"Kok baru balik Jar?" Tanya Radit saat kawannnya itu memasuki kamarnya. Yang ditanya hanya diam. Ia melepas jaket dan topinya. Menyisakan kaos putih dengan logo GASMI, nama perguruan pencak silatnya. Ia merebahkan dirinya dikasur.

"Si bocah ditanyain diem bae, kesambet mampus lo" Radit kembali fokus pada permainan di ponselnya.

"Lo tadi lupa bawain gue duit, bego!" Fajar menoyor jidat Radit dengan keras.

Yang ditoyor meringis kesakitan. Ia menatap pada dua lembar lima puluh ribuan yang tergeletak diatas meja. Tadi, Radit lupa memberi tau Fajar kalau uang yang harus Fajar bawa untuk membeli rokok ia taruh diatas meja. 'Lupa cok, lagian lo ga bawa duit ngapa kaga balik? Eh tapi kok lo dapet rokok? Nggak maling kan lo?"

"Maling pala lo tuh!" Fajar memukul jidat Radit sekali lagi. "Gue ditolongin lagi sama dia"

"Dia?" Radit mengusap-usap jidatnya sambil menebak siapa "dia" yang Fajar maksud.

"Iya, Hanisa yang nolongin gue di UKS kemarin"

"Oh Hanisa anak PMR itu? Wih kok bisa kebetulan gitu Jar? Pasti ada something nih, nggak mungkin enggak"

"Something apaan, kebetulan aja rumah dia dideket sini dan lagi disuruh Bundanya belanja terus ketemu gue yang lagi dimaki tuh kasur yang nuduh gue mau maling karena nggak bawa duit".

"Jar sini" muka Radit berubah menjadi serius. Ia mendekatkan dirinya dengan Fajar. "Kalau kebetulan itu Cuma sekali, kebetulan dia nolongin lo waktu pingsan, itu kebetulan. ITapi ini, kebetulannya berkali-kali berarti bukan kebetulan Jar!" Tutur Radit. "Kalau kebetulannya berkali-kali orang bilang itu jodoh" Ucapnya kembali ketempat semula.

"Lo belajar ngedukun dimana hah?" Lagi, Fajar menoyor jidat temannya itu untuk yang ketiga kalinya.

"Anjir, ini nih basic ilmu dalam dunia asmara Jar"

"Serah lo dah, mana koreknya gue mau ngerokok"

"Bocah, dibilangin yang tua juga, ngeyel amat" Radit merogoh sakunya mengambil korek lantas memberikannya kepada Fajar.

"Berisik!" Fajar mulai menyalakan rokoknya. Menghisapnya dalam kemudian menghembuskannya perlahan. "Fyi, Dit. Hani bukan anak PMR btw" Fajar melempar korek tadi kearah Radit dan berdiri melangkah meninggalkan Radit yang sedang mencerna kalimat terakhir temannya itu.


HE IS MY CRUSH (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang