part - fourteen

18 2 0
                                    


Fajar membuka matanya perlahan. Suasana gelap menyeruak disetiap sudut kamarnya. Ia menatap jam kecil yang terpajang dimeja belajarnya yang menujukkan sudah pukul 5 sore. Itu artinya, pemuda itu sudah menghabiskan lebih dari 10 jam untuk tidur. Ia bangkit dari tidurnya. Dengan perlahan ia menapakkan kakinya diatas dinginnya permukaan keramik lantai.

Fajar memaksakan tubuhnya untuk berjalan ke dapur. Langkahnya terhenti didepan kulkas. Ia membuka kulkas itu dan mengecek apakah ada makanan yang tersedia disana. Perutnya sudah meronta ronta karena tak diisi apapun sejak kemarin. Namun sayang, mesin pendingin itu hanya berisikan beberapa botol air mineral. Fajar belum membeli stok makanan. Ia pun meminum beberapa teguk air untuk sedikit membasahi tenggorokannya.

"Tok tok tok!"

Ia mendengar pintunya diketuk. Pemuda itupun bergegas melangkah keluar. Tangannya terulur membuka pintu sedikit demi sedikit hanya untuk memastikan siapa yang datang. Ia mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Cakra sedang berdiri disana.

"Mau ngapain?" tanya Fajar dingin.

"Disuruh bokap lo, nih" pemuda itu menyerahkan sebuah kantong plastik.

"Nggak perlu" jawab Fajar singkat. Tangannya buru buru hendak menutup pintu.

"Tunggu dulu, seenggaknya lo hargain usaha gue kesini" Cakra menahannya.

"Seorang lo ngomongin soal ngehargai" ucap Fajar sambil tersenyum miring.

"Ya terserah lo deh, gue juga dipaksa kesini, gue taroh disini" ucap Cakra kemudian melangkah pergi meninggalkan kamar Fajar.

Fajar menghela napasnya gusar. Dengan perlahan ia mengambil bingkisan kantong plastik itu dan membawanya kedalam. Tiba-tiba bau harum masakan menyerbak di indra penciuman pemuda itu. Ia membuka bingkisan itu dengan buru-buru.

"Ini masakan mama kamu, dimakan ya"

Fajar membaca sebuah notes yang tertempel di tempat bekal yang berisi makanan itu. Sebenarnya ia berat hati untuk memakan masakan ibu tirinya, namun perutnya yang sudah meronta ronta itu berkata lain. Dengan perlahan ia membuka kotak bekal itu dan memakannya. Pikirannya kembali melayang. Bagaimana jika di keadaan seperti ini, ia mati didalam kos nya tanpa ada seorang pun yang tau? Itu yang selalu Fajar pikirkan ketika dirinya sedang sakit. Namun karena terbiasa hidup sendiri, ia juga mencoba terbiasa menepis pikiran pikiran itu.

Tak lama, adzan maghrib berkumandang. Pemuda itu terlihat keluar dari kamar mandinya. Ia terkejut melihat seorang pria yang sedang duduk di sofa nya. Itu Radit yang sedang duduk entah sejak kapan.

"Sejak kapan lo disini?" tanya Fajar sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Sejak tadi, gue panggil lo nggak jawab yaudah gue masuk aja" jawab Radit.

"Oh gitu, yang lain mana?" Fajar bertanya sambil melangkah kearah lemari pakaiannya.

"Gue nggak ngabarin yang lain, mereka rencananya mau jenguk lo besok tapi pikiran gue nggak beres, Jar gue takut lo kenapa napa" jelas Radit.

"Lo takut gue mati sendirian disini?" tanya Fajar dengan terkekeh sembari memasang pakaiannya.

"Ya itu juga salah satunya, lagian lo kemarin sehat aja kenapa tiba-tiba demam"

"Biasa aja, lagian nggak ada yang bisa prediksi kapan gue mau demam ya dateng dengan sendirinya"

"Lo kalo ada apa apa cerita, Jar sama anak-anak yang lain, gue tau lo lagi nggak baik baik aja"

"Lo udah hebat ngedukun ye sekarang" jawab Fajar bercanda. Ia ikut duduk disebelah Radit setelah rapi berpakaian. "Lagian gue cuma demam"

"Nggak biasanya lo sakit tiba-tiba, pasti kenapa napa kan"

HE IS MY CRUSH (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang