part - twelve

20 1 0
                                    


"Ceklek"

Dengan terseok Fajar memasuki kamarnya. Kondisi pemuda itu terlihat masih acak-acakan. Dengan seragam yang terlihat kusut dan penuh dengan noda. Ia merebahkan dirinya di tempat tidur. Tubuhnya terasa remuk redam. Ia memejamkan matanya sejenak menikmati setiap nyeri yang menjalar di seluruh bagian tubuhnya. Tangannya meraba pelipis kirinya yang masih terasa basah akibat luka yang darahnya belum mengering. Pemuda itu mengguman dan perlahan bangkit berdiri ke depan cermin. Ia membuka satu persatu kancing seragamnya. Ia memejamkan mata merasakan nyeri saat mencoba membuka kaos dalamnya. Dengan teliti, Fajar memandangi seluruh bekas luka di tubuhnya. Tak hanya luka yang baru saja ia dapat, punggungnya ternyata banyak bekas luka yang tampaknya sudah bertahun tahun silam. Ditambah lagi, luka memar kemerahan yang baru saja ia dapat. Namun ekspresi pemuda itu tampak tenang, seolah pemandangan seperti ini adalah hal biasa baginya. Tubuhnya memang penuh dengan luka.

"Tok! Tok! Tok!"

Fajar mendengar suara pintu kamarnya diketuk. Ia menautkan alisnya bingung, siapa tamu yang datang malam-malam begini sedangkan ia tahu persis teman-temannya pasti sedang kesakitan seperti dirinya. Ia meraih handuk dan menautkan di tengkuknya untuk menutupi tubuh bagian atasnya.

Betapa terkejutnya Fajar mendapati seorang gadis yang berdiri didepan pintunya. Itu Hani. Ia datang setelah mendapat telpon dari Fara. Gadis itu terlihat menenteng sebuah kantong plastik.

"Han, ngapain malem malem begini?" tanya Fajar. Pemuda itu mencoba menutupi luka di tubuhnya dengan handuk seadanya.

"Nggak usah ditutupi, gue udah tau" jawab Hani menghela nafas beratnya.

Fajar menggaruk tengkuk belakangnya yang tak gatal itu "Sorry, yaudah masuk" ucapnya mempersilahkan Hani untuk masuk.

Hani duduk di sebuah sofa kecil dengan alas karpet  yang tersedia disana. Kamar Fajar cukup luas untuk kategori kosan. Memiliki dua sekat dengan ruang paling belakang adalah toilet. Gadis itu memutar bola matanya mengamati suasana sekeliling kamar. Kamar ini bisa dibilang tipe eksklusif karena tergolong mewah.

"Gue bawain obat buat bersihin luka lo, ini tadi Bunda masak banyak jadi sekalian gue bawa" ucap Hani mengeluarkan satu persatu isi kantong plastiknya dan menaruhnya diatas meja.

"Makasih ya tapi gue rasa nggak perlu repot repot deh" jawab Fajar.

Hani menampikkan muka kesalnya. Ia kesal dengan Fajar yang terlibat perkelahian dengan makhlus halus itu. "Nggak usah sok jago deh, sini gue obatin" ucap Hani sembari membuka sebuah kotak kecil berisi perlengkapan P3K. Fajar mendekat dan duduk di sebelah Hani. Pemuda itu lantas membuka perlahan handuk yang sedari tadi menutupi tubuhnya.

"Lagian lo kurang kerjaan apa gimana sih? Gabut banget hidup lo?" Hani masih menggerutu. Gadis itu menyuruh Fajar duduk membelakanginya agar Hani dapat leluasa mengoleskan salep di punggung Fajar.

"Ya musibah nggak ada di kalender, Han" jawab Fajar. "Shh pelan dikit" ucapnya mengernyitkan dahi merasakan nyeri akibat memarnya disentuh oleh tangan dingin Hani.

"Gua takut lo kenapa-napa" ujar Hani dengan lirih. Mata gadis itu terlihat berkaca-kaca. Namun dengan telaten, jemari cantiknya kesana kemari mengoleskan obat untuk punggung Fajar yang penuh dengan luka. Hani sedikit terkejut. Matanya fokus pada sebuah luka memanjang sekitar 20cm di punggung pria didepannya ini. Luka itu sepertinya sudah berada disana bertahun-tahun. Tangannya terulur untuk meraba bekas luka itu.

"Nggak usah heran, itu ulah Cakra kakak gue" ucap Fajar tanpa ditanya.

Hani bergidik ngeri. Entah apa yang dialami Fajar selama masa kecilnya sehingga tubuh yang selama ini ditutup rapi dengan seragam, ternyata menyimpan puluhan bekas luka mulai dari yang kecil hingga bekas luka sayatan. Air matanya tak dapat ditahan lagi. Gadis itu sedikit terisak.

HE IS MY CRUSH (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang