Part. 22

1.1K 161 6
                                    

"Itu motor lo kenapa ada di luar, Je?" Juno melemparkan pertanyaan pada Jean ketika sudah mendaratkan bokongnya di kursi yang bersebrangan dengan Jean.

Jean mengalihkan atensinya pada Juno lalu menjawab,

"Hari ini gue mau bawa motor sendiri aja, bang." Jawab Jean kemudian.

Juno mengernyitkan dahinya mendengar jawaban adik kembarnya.

"Emangnya tangan lo udah gapapa? Udah bisa bawa motor sendiri?"

Jean menganggukkan kepalanya, "Iya, lagian lo juga pasti udah kangen, 'kan berangkat bareng sama Naveen. Gue gak mau ngerepotin lo terus, bang."

"Iya, sih, hehe." Kekeh Juno, "Tapi, 'kan lo adek gue, lo bakal tetap jadi prioritas gue. Naveen juga bukan pacar yang banyak nuntut, dia ngerti, kok." Jelas Juno penuh pengertian.

Sebagai kakak yang baik, ganteng dan tidak sombong, Juno tidak merasa di repotkan ataupun keberatan di tumpangi oleh Jean.

Sudah beberapa hari ini Jean memang tidak bisa mengendarai motornya sendiri karena tangan kanannya terluka akibat terkena pecahan kaca di kamarnya yang menyebabkan tangannya tergores. Tidak dalam, hanya saja karena Bunda sangat khawatir dengan keadaan Jean yang akhir-akhir ini sering menyendiri di dalam kamar takut putranya melakukan hal yang tidak-tidak.

Entah apa yang membuat putra keduanya itu marah saat pulang sekolah. Jean bahkan melewati Bunda begitu saja mengundang tanda tanya di kepala Bunda dan berlalu ke kamarnya lalu membanting pintunya yang menimbulkan suara cukup keras yang membuat Bunda dan Juno terperanjat. Ketika di dalam kamarnya, Jean membanting tasnya asal. Dan tanpa di duga, dia membanting semua barang-barang yang ada di atas meja belajar dengan penuh emosi hingga membuat kamarnya berantakan dan berubah menjadi kapal pecah dan kaca di kamarnya pun tak luput dari amukan Jean. Saat itu Bunda begitu terkejut melihat darah yang keluar dari buku-buku jari Jean dan menetes ke lantai.

"Astaga Jean, ini ada apa? Kenapa kamar kamu berantakan begini? Terus itu tangan kamu berdarah!" Seru Bunda saat itu setelah menyusul Jean ke kamarnya karena mendengar suara gaduh Dan barang yang di banting.

"Kamu kenapa, huh? Kalo ada masalah cerita sama Bunda, jangan kayak gini."

Jean tidak menjawab, dia memilih mendudukkan dirinya di tepi ranjang dengan kepala menunduk.

"Kenapa, hm?" Ulang Bunda dengan lembut. Di usapnya kepala Jean dengan sayang.

"Yaudah, kamu tunggu di sini bentar, Bunda mau ambil kotak obat dulu." Ujar Bunda lagi kemudian beranjak keluar dari kamar.

*****

"Ini cuma luka kecil, Bunda. Bunda gak usah khawatir." Ujar Jean berusaha menenangkan sang Bunda.

"Luka kecil apanya? Kamu jangan ngajarin Bunda. Denger, ya, luka kecil bisa berubah jadi parah, berinfeksi, terus beracun dan racunnya bisa menyebar ke seluruh tubuh kamu dan itu sangat berbahaya. Bunda nggak bisa bayangin itu, bang. Bunda tahu abang lagi galau, tapi gak sampe nyakitin diri abang sendiri kayak gini. Bunda khawatir, sedih juga liatnya, bang." Cerocos Bunda di sela kegiatannya membersihkan lukanya lalu membalutnya dengan obat merah dan perban.

Jean terkekeh mendengar ocehan Bundanya yang akan berubah cerewet kalau salah satu putranya terluka.

"Malah ketawa dia. Tadi aja ngamuk-ngamuk gak jelas. Kasian bibi harus beresin kekacauan yang kamu buat ini." Bunda menyentil dahi Jean membuat si empunya meringis.

"Siapa, ya? Gak tahu siapa, Bun. Jelek banget cemburunya. Nanti abang bantu bibi beresin deh. Tapi, ini sakit, Bun,"

"Sakit, sakit, terus ini apa?" Bunda menunjuk tangan Jean yang terluka, "Ini gak kerasa sakit gitu? Di sentil dikit aja sama Bunda kamu ngerengek."

Teenager Love [book 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang