Part 24

953 135 0
                                    

Naveen mematut dirinya di depan cermin, setelah memastikan sudah rapi dia meraih tasnya lalu melangkah keluar kamar. Namun, baru saja Naveen membuka pintu kamarnya, Naveen menghentikan langkahnya ketika menemukan mama Rania berdiri di depan pintu kamarnya dengan senyum hangatnya.

"Kamu sudah siap, sayang?" Tanya mama Rania.

Naveen memutar bola matanya malas mendengar pertanyaan yang di lontarkan sang mama.

"Menurut mama?" Naveen menjawab acuh kemudian kembali melanjutkan langkahnya melewati mama Rania begitu saja tanpa mau membuka obrolan lebih banyak dengan wanita yang sudah melahirkannya itu.

"Mama udah masakkin makanan kesukaan kamu, kita sarapan dulu, yuk?" Ucap mama Rania lagi walaupun beliau tahu penolakan lah yang akan ia terima dari putra semata wayangnya itu.

"Aku sarapan di sekolah. Kalo mama mau sarapan, mama sarapan aja sendiri. Lagian Juno udah nunggu di depan, aku gak mau bikin dia nunggu." Balas Naveen beralasan.

Sebetulnya bukan itu alasan Naveen yang sebenarnya. Naveen hanya terlalu malas kalau harus menikmati sarapannya dan duduk satu meja dengan mamanya itu. Dan lagi, jika Naveen meminta Juno untuk menunggunya beberapa saat lagi pasti pemuda itu akan mengiyakan saja teringat betapa bucinnya pacarnya itu. Namun, Naveen lebih memilih mengisi perutnya ketika tiba di sekolah atau bahkan menunggu waktu istirahat tiba.

"Kamu masih berhubungan sama dia?" Mama Rania kembali melontarkan pertanyaan yang kali ini berhasil menghentikan langkahnya.

"Iya. Kenapa? Mama keberatan?" Naveen mengangkat sebelah alisnya.

"Nggak. Mama cuma gak mau nyesel di kemudian hari."

"Menyesal kenapa? Apa ini tentang keturunan? Apa mama berpikir kalo aku berhubungan sama Juno apalagi sampe nikah sama dia aku gak akan punya keturunan? Aku gak perduli, mah. Buat aku sama-sama Juno aja udah cukup. Dia bisa nerima aku apa adanya aja udah cukup buat aku, nggak nyakitin aku karena seseorang dari masa lalu yang belom bisa di lupain. Mama gak usah repot-repot ngurusin hidup aku, mama urus aja diri mama sendiri." Usai mengatakan itu, Naveen berlalu tanpa pamit.

Mungkin ucapan Naveen terkesan kasar dan menyakitkan walaupun sudah biasa mama Rania dengar. Dan Naveen sadar akan hal itu, tapi, apa perduli Naveen? Dia tidak perduli semenyakitkan apa kata-kata yang sudah ia lontarkan untuk mamanya.

Sedang, mama Rania menatap punggung Naveen dengan tatapan nanar dan mata yang mulai mengembun hingga punggung itu tidak terlihat lagi di balik pintu yang di tutup dengan keras.

"Aku gagal mendidik anak kita, mas. Maafin aku." Mama Rania mengusap lelehan air mata yang mulai membasahi pipinya seraya bergumam meminta maaf pada mendiang suaminya karena beliau merasa sudah gagal mendidik putra semata wayang mereka.

"Nyonya,"

Mama Rania menolehkan kepalanya ke belakang dan menemukan bibi yang menatapnya dengan tatapan prihatin terhadap.

"Nyonya tidak apa-apa?"

Mama Rania menggeleng kepalanya singkat, "Nggak, bi, saya gapapa."

"Nyonya yang sabar, ya, saya yakin suatu saat nanti den Naveen akan seperti dulu lagi."

"Iya, bi, semoga saja." Mama Rania tersenyum kecil, "Semoga Tuhan masih ngasih kesempatan lebih lama buat saya, bi." Lanjut mama Rania dalam hati.

"Oh ya, bi, makanan yang ada di atas meja tolong di rapihkan lagi, ya? Bibi bawa ke belakang, bagi sama yang lain biar nggak mubazir."

"Lho, memangnya nyonya tidak sarapan dulu? Nyonya,'kan harus minum obat. Atau mau saya antar ke kamar saja?"

"Tidak usah, bi, saya sedang tidak nafsu makan."

Teenager Love [book 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang