Beloved Brother (4)

538 48 10
                                    




Hari pengumuman hasil ujian kelulusan Singto tiba. Betapa terkejutnya ayahnya Singto ketika mendapat laporan bahwa anaknya mendapat nilai ujian tertinggi di sekolah. Rasa bangganya tidak dapat dibendung lagi.

"Singto, kamu mau minta apa? Kamu boleh minta apapun sama papa.", ujar sang ayah karena begitu bahagianya.

"Aku tahu papa udah mendaftarkan aku kuliah di Melbourne. Tapi apa aku boleh menundanya sampai Krist lulus? Aku mau kuliah bareng Krist."

"Kamu cuma minta itu?", tanya Ben.

"Ya." Singto tidak berharap ia akan diizinkan untuk menunda kuliahnya, tapi paling tidak ia sudah mencoba.

"Ok.", jawab Ben.

"Huh? Apa?" Singto malah terkejut sendiri. "Aku boleh gap year?"

"Yes. Papa juga khawatir kalo kamu sendirian disana. Kalo ada Krist kan papa yakin kamu bakal jadi anak baik. Lihat nilai ujianmu. Kamu itu pintar cuma malas saja. Untung ada Krist."

"Pa..."

Tidak peduli apa alasan ayahnya, yang penting sekarang Singto resmi jadi pengangguran setelah lulus SMA. Hanya pengangguran sementara sampai Krist lulus SMA. Tapi tidak sepenuhnya pengangguran juga, Singto masih pengangguran banyak acara. Ia masih sering pergi ke tempat tongkrongan bersama teman-temannya. Meskipun beberapa bulan kemudian satu per satu temannya pergi ke luar negeri untuk melanjutkan kuliah. Hanya tersisa Cilung dan Iman yang melanjutkan kuliah di dalam negeri.

"Kakak...", panggil Krist yang menghampiri Singto dengan senyuman. Pekerjaan sehari-hari Singto yang lain adalah menjemput Krist dari sekolah.

"Kita jadi nonton kan hari ini?", tanya Krist. Hari itu mereka berencana mau menonton film terbaru yang tayang di bioskop.

"Jadi dong. Gue udah beli tiket online."

Singto mengajak Krist menonton di bioskop yang kursinya bisa selonjoran seperti tempat tidur. Mereka juga pesan makanan dan minuman. Berhubung Krist tidak makan popcorn, jadi Singto memesan kentang goreng. Dia lebih suka kentang goreng daripada popcorn.

"Lo mau?", ujar Singto menawarkan kentang goreng pada Krist, tapi Krist menolaknya.

Krist terlihat sangat fokus menonton film yang baru saja tayang itu.

"Waww dunianya keren banget ya kak."

"Lo nonton yang pertama gak?"

"Baru nonton kemaren di laptop sama kakak. Ihhh keren banget ya lautnya... Yahhh kak kasian, huaaa tulkun."

Singto hanya terkekeh memandangi Krist sembari mendengar celotehannya di sepanjang film. Tidak keras celotehannya, hanya Singto yang mendengar. Tidak masalah Krist mau berbicara di setiap detik sekalipun, karena Singto dengan senang hati mendengarnya.

"Lo nangis?", ujar Singto ketika menyadari Krist yang diam saja. Krist sedang fokus melihat film sembari menitikkan air mata.

"Huu sedih banget... Apa gara-gara aku punya kakak sekarang jadi aku bisa relate?", ujar Krist yang benar-benar terlihat sedih. "Gak kebayang kalo aku kehilangan kakak."

"Hey Krist. I'm still here. Haha." Singto menggandeng tangan Krist.

Krist membelalak sembari menatap Singto. Kini fokusnya bukan lagi pada film, tetapi pada tangannya yang digenggam oleh Singto. "Huh?"

"Can I do this?", tanya Singto. Maksudnya adalah apa ia boleh menggandeng tangan Krist.

Krist membiarkan kakaknya menggandeng tangannya hingga akhir film. Mereka sudah seperti pasangan lainnya yang ada dalam satu studio bioskop bersama mereka. Memang benar kan mereka sepasang kakak beradik. Biasa saja menggandeng adik sendiri. Walaupun mereka tidak pernah bergandengan tangan di depan umum. Singto biasanya lebih sering merangkul bahu Krist atau memegangi pinggangnya seperti takut Krist akan hilang. Itu hal biasa kan mereka brothers.

SOULMATE [KristSingto One Shot FF]Where stories live. Discover now