Love Destiny - 1

9.2K 246 3
                                    

Happy Reading!!!

***

“Ck, kamu kok telat sih, Bi? Mama kan udah bilang makan siang! Ini coba kamu lihat, jam berapa sekarang?”

Kata sambutan itu membuat sosok yang baru saja masuk ke dalam rumah memutar bola mata, sama sekali tidak berniat memberi tanggapan. Bian terlalu lelah sekarang. Dan niatnya tadi ia akan langsung pulang ke apartemen, mengistirahatkan tubuh lelahnya. Namun niatnya itu harus urung ketika mendapati pesan dan panggilan dari sang mama yang sudah dirinya abaikan sejak pagi tadi.

Bukan salahnya datang tak tepat waktu, karena sebelumnya Bian sudah pernah mengatakan bahwa belakangan dirinya tengah begitu sibuk dengan pekerjaan.

“Mama ada apa nyuruh Bian pulang?” tanya itu meluncur begitu Bian mengambil duduk di sofa ruang keluarga yang kini di isi oleh ibu, ayah dan juga adik perempuannya.

“Memangnya Mama gak boleh minta anak Mama pulang? Sebesar apa pun tubuh kamu sekarang, sebanyak apa pun usia kamu sekarang, kamu tetap anak mama, Bian. Bayi kecil yang dulu hadir dalam perut Mama. Apa salah kalau Mama merindukan kamu?”

Bian kembali memutar bola mata menyaksikan wajah pura-pura sedih sang mama yang terlihat begitu drama. Dan jika boleh jujur, Bian jengah dengan hal itu. Bukan bermaksud durhaka, tapi pada kenyataannya raut wajah ibunya memang terlalu berlebihan. Bian tidak tahu dari mana ibunya bisa se-drama ini.

“Bian gak lupa kalau kemarin Mama baru saja datang ke kantor untuk ngajak makan siang bareng. Bian juga belum lupa kalau tiga hari yang lalu Mama ngomel-ngomel di apartemen. Bian gak tahu kalau memang Mama sesayang itu sama Bian, sampai gak ketemu sehari aja Mama bisa sekangen itu sama Bian? Serius deh, Ma, Bian terharu banget,” menyeka sudut mata yang nyatanya tetap kering, Bian melirik wanita paruh baya kesayangannya itu mengejek. Membuat Alin -ibunya- mendengus pelan seraya melipat kedua tangan di depan dada dan melirik Bian dengan tatapan kesalnya, lalu langsung memberondong anaknya itu dengan kalimat-kalimat seperti biasa, yang mana soal kesendiriannya menjadikan Alin secerewet ini.

“Mama tuh udah pengen timang cucu, Bian!”

“Iya, Ma. Nanti Bian kasih cucu. Selusin kalau perlu,” tidak ada sedikit pun keseriusan dari nada suaranya karena Bian memang hanya menanggapi sekenanya saja. Sekadar untuk membuat sang mama berhenti merongrongnya soal hal itu.

“Cih, sok-sokan mau kasih Mama cucu selusin, satu aja gak ada!” deliknya masih terlihat kesal. Tapi Bian memilih untuk tidak menanggapi. Membicarakan politik dengan ayahnya lebih di rasa menyenangkan dari pada membahas soal cucu dengan sang mama. Tapi sepertinya Alin tidak juga memiliki kata menyerah untuk mengusik putranya, karena kalimat yang selanjutnya perempuan itu lontarkan sukses membuat Bian membuang napas lelah.

“Anaknya teman arisan Mama, cantik banget loh, Bi. Usianya dua puluh lima tahun, kerjanya di Bank …”

Dan Bian sudah menduga hal ini. Ia jelas tahu bahwa tidak akan pernah ada kemurnian setiap kali ibunya meminta pulang atau datang mengunjunginya dengan alasan rindu. Selalu saja ada alasan di balik itu.

 “Bian gak mau di jodohin, Ma. Untuk urusan pedamping Bian ingin mendapatkannya sendiri,” hal ini bukan untuk pertama kalinya Bian katakan. Tapi tetap saja sang mama tiada bosan memilihkannya pasangan.

“Mama gak jodohin kamu, Bi. Cuma bilang aja, siapa tahu kamu tertarik.”

“Sayangnya Bian gak tertarik,” desahnya lelah, dengan tatapan memohon maaf pada sang mama.

“Ck, jangan lebih dulu bilang gitu kalau kamu belum lihat orangnya!” berdecak kesal, Alin melemparkan delikan tajamnya pada sang putra yang selalu mengatakan hal yang sama setiap kali di tawari perempuan olehnya. Membuat kadang Alin khawatir dengan orientasi seksual putranya itu. “Mama udah buat janji makan siang untuk kalian besok. Di restoran Kaira’s. Jangan telat, ya, Bi?”

Dan mendengar hal itu, Bian sontak menatap ibunya horor. Benar-benar tak percaya, bagaimana bisa wanita paruh baya itu melakukannya tanpa seizinnya? “Besok siang Bian ada meeting, Ma!”

Namun seolah tidak peduli, Alin hanya merespons dengan kedikkan bahu saja, lalu bangkit dari duduknya dan mengajak sang putri yang sejak tadi hanya sibuk dengan ponselnya untuk ke dapur, menyiapkan makan malam untuk mereka. Meninggalkan Bian yang mulai frustrasi dengan acara yang sudah ibunya buat.

Bian tidak tahu bagaimana cara menghentikan Alin yang kerap mengenalkannya dengan perempuan-perempuan diluaran sana. Sungguh, Bian rasanya sudah benar-benar kesal. Namun tetap saja ia tidak bisa berbuat banyak, karena pada akhirnya ia tetap menemui perempuan yang ibunya maksud. Bukan karena kesukarelaan, tapi karena teror Alin yang terus menerus mengingatkannya untuk datang. Membuat Bian dengan terpaksa memajukan jadwal meeting-nya. Dan di sinilah dirinya berada sekarang, di restoran yang semalam ibunya sebutkan.

Celingukan demi mencari seseorang yang ibunya maksud, Bian akhirnya merongoh ponsel dan menghubungi nomor perempuan yang akan ditemuinya sekarang. Masih sambil melempar tatapan ke segala penjuru, Bian meletakan ponselnya di telinga, menunggu sambungan di terima. Sampai akhirnya sebuah suara lembut menyapanya.

“Aruna?” tanya Bian pada sosok di telepon. Dan sebuah jawaban diterima sedetik setelahnya, membuat Bian yang memang sudah dapat menemukan sosok itu langsung mengayun langkah menuju meja nomor 12, dimana sosok cantik yang baru saja mengangkat sambungan teleponnya duduk. Namun untuk lebih memastikan bahwa dirinya tak salah orang, Bian kembali menanyakan nama perempuan itu begitu sudah berhadapan, tanpa mematikan sambungan teleponnya. Dan jawaban yang sama kembali diterimanya.

“Biantara?” perempuan itu ikut memastikan, dan Bian hanya menganggukkan kepala lalu mengambil duduk di depan Aruna yang Bian akui memang begitu cantik. Namun tetap tidak bisa membuat jantungnya berdebar sebagaimana yang Bian inginkan. Tapi sepertinya tidak ada salahnya mencoba mengenal. Lagi pula sudah lama Bian tidak dekat dengan perempuan, dan ia ingin memastikan bagaimana dengan perasaannya yang sebenarnya. Mungkinkah hatinya masih berfungsi? Atau justru mati bersama dia yang pergi tanpa mengabarinya sama sekali.

Berbasa-basi sebenarnya bukan Bian sekali, tapi demi memulai, mau tak mau akhirnya Bian melakukannya demi mencipta sebuah obrolan agar makan siang yang berlangsung tidak terasa membosankan. Dan Bian bersyukur karena ternyata perempuan yang di temuinya bukan tipe perempuan yang pendiam. Bian cukup sedikit memancing, dan setelahnya perempuan itu akan berbicara panjang lebar tanpa sama sekali berniat mendominasi obrolan, karena sesekali Bian pun mendapatkan pertanyaan. Membuat makan siang yang sebelumnya Bian terima dengan ogah-ogahan berlangsung menyenangkan.

Bahkan Bian merasa nyaman, ia terkesan dengan sosok Aruna yang tak hanya cantik parasnya. Perempuan itu juga cukup cerdas dan asyik di ajak mengobrol. Tidak ada salahnya di pertimbangkan. Lagi pula ibunya benar, sudah saatnya Bian memiliki seseorang yang kelak akan dibawanya ke pelaminan.

Sudah terlalu lama dirinya bertahan dengan kesendirian. Sudah cukup lama Bian menunggu kehadiran seseorang dari masa lalunya yang masih begitu dirinya harapkan. Sekarang sudah saatnya Bian melangkah, melupakan dia yang sepertinya sudah tak lagi mengharapkannya. Lagi pula sepuluh tahun telah berlalu, Bian tak yakin sosok itu masih menunggunya. Bahkan mungkin mengenalnya, mengingat sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Dan Bian sendiri menyadari perubahannya. Namun mungkinkah ia juga akan tak mengenali sosok itu?

Bian tak tahu. Tapi itu bisa saja terjadi.

***

Semoga kalian suka dengan cerita baruku ini ya.

Di tunggu tanggapannya.

See you next part!!

Love DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang