Love Destiny - 7

3.7K 162 11
                                    

Happy Reading!!!

***

“Kusut banget muka lo, Bi? Kenapa? Lamaran lo di tolak?”

Entah cibiran atau pertanyaan serius yang sahabatnya berikan, yang jelas Bian sedang tidak ingin menjawabnya. Kedatangannya sekarang bukan untuk itu, melainkan untuk menenangkan pikiran. Mungkin dengan sedikit alkohol kepalanya akan terasa ringan, dan bayangan mengenai wanita di masa lalu hilang. Kalau bisa sampai tidak ada yang tersisa.

Sayangnya mabuk menjadikan Bian semakin berhalusinasi. Tapi sampai saat ini belum juga membuat Bian kapok. Alkohol tetap menjadi pelarian setiap kali bayangan tentang masa lalunya datang, walau Bian tahu minuman itu tidak sedikit pun membantu. Tapi mau bagaimana lagi, tidak ada satu pun hal yang bisa mengalihkan pikirannya dari Zinnia.

Seberengsek itu memang wanita yang menjadi cinta pertamanya itu.

Bian sampai hampir mengecewakan Aruna karena pergi begitu saja dari pesta ulang tahunnya. Untung saja Bian segera tersadar dan kembali ke pesta Aruna. Jika tidak, entah akan bagaimana nasib pertunangannya yang baru saja di langsungkan. Tidak menutup kemungkinan Bian di anggap main-main mengenai hubungannya dengan Aruna. Padahal tidak sedikit pun Bian berpikir begitu. Ia serius. Hanya saja masa lalu berhasil kembali mengacaukan perasaan dan kewarasannya. Mungkin ini terjadi karena Bian merasa memiliki dosa. Atau bisa juga karena cinta yang belum sepenuhnya musnah.

“Sebenarnya apa sih yang dia lakuin sama gue, Yo?” rasa-rasanya Bian sulit sekali membuang Zinnia jauh-jauh dari pikirannya. “Dia selalu muncul setiap kali gue mau serius sama seseorang,”

Bian kemudian meneguk minuman yang diberikan Mario untuknya. Sahabatnya itu sudah hapal apa yang dirinya butuhkan di setiap merasa kacau seperti ini. Dan Bian tidak perlu memberikan detail ceritanya untuk membuat Mario tahu permasalahannya. Semua sahabatnya sudah tahu apa yang Bian alami selama sepuluh tahun ini.

“Maksud lo dia datang waktu lo lamar cewek lo tadi?” Mario terlihat penasaran. Posisinya yang semula berdiri tegak sambil membersihkan gelas-gelas minuman haramnya berubah condong ke arah Bian yang baru saja menegak gelas ketiganya.

“Entah bayangan gue aja atau benar-benar nyata. Gue gak tahu,” Bian sulit membedakan, saking terlalu seringnya ia berhalusinasi. Tapi biasanya itu terjadi ketika dirinya mabuk. Sementara saat di acara ulang tahun Aruna, Bian tidak sama sekali menyentuh alkohol. Atau mungkin Bian kurang fokus? Entahlah.

“Gimana, Bi? Gue kurang paham,” ucap Mario terlihat butuh penjelasan. Dan Bian tak ragu untuk menceritakan tentang wajah bersimbah air mata Zinnia yang dirinya lihat meskipun sepertinya tidak sampai dua detik. Tapi kepergiannya yang terlihat mata dengan punggung bergetar itu lah yang membuat Bian merasa yakin bahwa yang dilaminya tadi bukan hanya ilusi. Alasan yang membuatnya berlari meski otaknya terus menyuruh dirinya diam saja. Sayangnya hati lebih memahami keinginannya saat itu, meskipun pada akhrinya tetap saja Bian tidak mendapatkan apa-apa. Membuatnya masih bertanya-tanya tentang kewarasan yang dimilikinya. Bukan apa-apa, Bian cuma takut semakin gila.

Dua tahun tidak ada kenangan apa pun yang muncul tentang Zinnia, lalu dua bulan terakhir ini ia kembali dihantui, wajar bukan Bian mempertanyakan kewarasannya? Apalagi yang dilihatnya tadi terasa benar-benar nyata. Bian melihat wajah terluka Zinnia, melihat air mata jatuh dari netra indahnya. Padahal sejak dulu Bian tidak pernah membiarkan itu. Bian tidak suka Zinnia-nya menangis. Terlebih tangisan penuh luka seperti itu.

“Menurut lo ini hukuman atau kutukan sih, Yo?” jujur saja Bian tak sanggup. Menurutnya ini terlalu berat. Apalagi Bian tidak tahu salahnya di mana. Zinnia yang meninggalkannya, meski Bian sadar bahwa saat itu ia akan pamit pergi. Tapi tujuannya adalah sekolah, dan Bian berjanji akan kembali. Tapi faktanya justru dirinya yang ditinggal pergi tanpa satu pun kata pamit dirinya dapati.

Love DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang