Happy Reading!!!
***
“Kok kusut banget sih, Bi? Kenapa? Ada masalah?”
Bian menggeleng, lalu mendekat ke arah ibunya dan memeluk paruh baya itu seraya mengatakan selamat untuk pernikahannya yang kini telah berumur tiga puluh tahun. Tidak lupa bunga yang ia bawa di persembahkan untuk wanita yang telah membawanya ke dunia, meski jika di ingat siapa yang membuatnya Bian ingin sekali melemparkan tumbuhan cantik itu. Tapi di sisi lain Bian ingin sekaligus memilikinya, menyimpannya sebagai kenangan.
Namun untuk apa? Melihatnya hanya akan membuatnya terluka karena mengetahui fakta bahwa Zinnia-nya telah menikah dan memiliki anak. Sementara dirinya kesulitan untuk meraih bahagia.
Bukankah ini tidak adil?
Bian merasa dicurangi. Sepuluh tahun ia disiksa dengan mimpi-mimpi tentang Zinnia. Di hantui sesal juga rindu yang menyiksa hati. Tapi fakta tentang Zinnia yang telah bahagia membuat Bian miris sendiri.
Ah, kira-kira laki-laki mana yang beruntung mendapatkan Zinnia-nya?
Mungkinkah laki-laki itu lebih tampan darinya? Lebih kaya mungkin? Entahlah. Bian tidak kuasa memikirkan itu. Kepalanya sudah cukup merasa berat dengan fakta yang masih enggan dirinya percayai.
“Biantara, kamu baik-baik aja ‘kan, Nak?”
Sentakan bernada khawatir ibunya barusan berhasil membuat Bian tersadar dari lamunannya. Dan ia baru menyadari bahwa kini tengah memeluk wanita setengah baya itu dengan begitu erat. Jika dalam keadaan normal Bian yakin amukan yang akan dirinya dapatkan dari sang ibu. Tapi karena kedatangannya yang berwajah kusut Alin seperti sadar bahwa sang putra tidak dalam keadaan baik-baik saja. Salah Bian memang tidak bisa menyembunyikan kehancurannya, membuat sang mama kini mau tak mau mengkhawatirkannya.
“Aku baik-baik aja, Ma,” Bian tetap memilih berbohong walaupun jelas Alin telah mengetahui faktanya. Tapi Bian enggan bercerita. Ia tak yakin ibunya bisa mengerti. Jadi lebih baik Bian menyimpan sakitnya sendiri.
“Kamu yakin?”
Bian mengangguk seraya mengulas senyum, meskipun tidak tahu jenis senyum apa yang dirinya tampilkan. Tapi beruntunglah Alin tidak bertanya lagi. Wanita paruh baya itu memilih membawanya ke dalam, di mana adik dan ayahnya sudah menunggu.
Ya, seperti yang Bian katakan sebelumnya, mereka hanya makan malam biasa sebagai keluarga kecil yang bahagia. Walau faktanya sekarang Bian tidak sedang berbahagia. Raganya mungkin ada bersama orang tua dan adiknya, tapi jiwanya tidak di sini, melainkan menyaksikan Zinnia yang tengah bahagia. Entah bersama siapa. Tapi yang jelas bukan bersama dirinya. Bian hanya menyaksikan tanpa ikut merasakan. Dan di sini Bian kesakitan.
Namun sebisa mungkin Bian tidak menunjukkan itu di depan keluarganya. Bian berusaha larut dalam kebahagiaan orang tuanya. Baru setelah acara makan malam usai Bian sudahi wajah bahagianya. Berganti dengan kehancuran yang masih membelenggu jiwanya. Pulang yang dikatakan ketika pamit pada kedua orang tuanya tidak Bian laksanakan, karena di bandingkan apartemen, club malam menjadi tujuan Bian.
Ia hanya ingin mencari hiburan untuk hatinya yang merana, untuk jiwanya yang terluka, juga untuk perasaannya yang tidak baik-baik saja. Di apartemen hanya akan membuat Bian semakin merana, maka dari itu untuk menghibur dirinya yang sedang gegana Bian putuskan untuk datangi tempat laknat sahabatnya.
“Sering banget lo datang belakangan ini perasaan?” sambut Mario dengan tatapan heran juga nada cibiran yang tidak disembunyikan.
“Tau nih, padahal udah punya tunangan. Eh yang di ajak malah gue,” timpal Nathael yang kali ini ikut di seret Bian agar menemani. Padahal tadinya Nathael hendak beristirahat setelah seharian bekerja. Terlebih besok masih memiliki aktivitas yang sama. Tapi sahabatnya yang tidak tahu diri malah menghubungi, mengatakan sudah ada di depan apartemen. Lalu memaksa ikut ke tempat para manusia mencari kegilaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny
General FictionDiawali dengan kenikmatan, lalu berakhir dengan kekecewaan semua orang. Cinta itu kadang menyesatkan. Hadirnya bukan semata untuk memberi kebahagiaan, sebab derita pun menjadi bagian di dalamnya. Banyak hal yang Zinnia korbankan. Banyak pula penderi...