Happy Reading!!!
***
“Susah banget lo di ajak kumpul belakangan ini perasaan?” sambut Nathael begitu Mario mendudukkan diri di sofa apartemennya.
“Tau lo, biasanya juga lo yang paling rewel karena kesepian gak ada teman,” cibir Bian yang datang lima menit sebelum Mario.
Mario tidak membantah itu, karena nyatanya memang begitu. Diantara mereka bertiga. Ah, lebih tepatnya berempat dengan Nathan -kembaran Nathael yang hari ini ikut kumpul setelah hampir satu bulan absen karena harus melakukan perjalanan ke luar negeri untuk urusan pekerjaan, Mario merupakan yang paling jarang sibuk. Mario yang selalu memiliki banyak waktu luang. Tidak jarang Mario merecoki teman-temannya jika sedang gabut dan butuh hiburan. Tapi dua minggu ini Mario memang bertingkah layaknya orang paling sibuk. Sulit di hubungi apa lagi di temui.
Dua minggu ini sebenarnya Mario tidak memiliki kesibukan, ia hanya sedang rajin mengunjungi Ashlyn dan mengajak darah daging Bian itu bermain. Mario ingin sedikit menghapus kesepian Ashlyn. Dan selama dua minggu berlangsung ini, tidak sekali saja Mario mendapatkan pertanyaan dari Ashlyn mengenai ayahnya. Seperti, “Mama bilang Om Rio temannya Mama waktu sekolah dulu, ya? Berarti Om kenal dong sama Papa-nya Ashlyn? Papa kerjanya jauh ya, Om? Lama banget gak pulang-pulang. Padahal Ashlyn kangen banget. Om punya foto Papa gak? Mama gak biarin Ashlyn lihat. Katanya nanti bisa bikin makin rindu.” Dan sungguh Mario teriris mendengar semua itu.
Mario ingin jujur mengenai keberadaan ayah gadis itu, tapi Mario tidak bisa. Zinnia tidak akan senang. Lagi pula jika ia mengatakan kebenarannya, Zinnia yang akan semakin kesulitan, karena Ashlyn pasti akan menuntut di pertemukan. Sementara sikap Bian yang lari waktu itu membuat Zinnia terluka. Merasa bahwa Bian menolak anaknya. Padahal Mario sudah menjelaskan bahwa itu hanya kesalah pahaman. Tapi nyatanya menghadapi Zinnia tidak semudah itu.
Mario bisa apa? Memaksa Zinnia hanya akan membuat wanita itu menjauh. Maka diam menjadi pilihan Mario. Yang penting wanita itu tetap berada dalam jangkauannya. Mario tidak ingin Zinnia semakin pergi menjauh dan sulit di temukan lagi. Masih ada kesempatan untuk Zinnia meraih kebahagiaannya. Dan Mario berharap kesempatan itu datang secepatnya. Sebelum Zinnia benar-benar menyerah.
“Alah lo juga sama aja, setan!” Nathael melemparkan kulit kacang pada Bian dengan delikan kesal. “Mentang-mentang udah punya cewek. Sibuk pacaran. Teman di lupain. Ingat lo Bi, galau-galau larinya ke siapa. ” Lanjutnya mencibir.
Bian tertawa menanggapi itu. Tidak bisa mengelak, karena nyatanya benar apa yang dikatakan sahabat satunya itu. Dua minggu ini Bian sibuk pacaran. Sampai tidak ada waktu untuk berkumpul dengan teman-temannya. Membuat Nathael kesepian karena di tinggal sendirian.
“Lo jadi sama cewek itu, Bi?” Nathan yang sejak tadi hanya diam memperhatikan teman-teman dan kembarannya mulai membuka suara seraya melirik Bian ingin tahu. “Siapa sih namanya? Gue lupa,”
“Aruna,” jawab Bian dengan seulas senyum bangga. Diam-diam itu menghantarkan emosi pada Mario yang tak lepas mengamati sahabat tololnya itu.
Nathan hanya mengangguk-angguk, lalu sedikit melirik Mario yang masih tetap bungkam, tidak seperti biasanya. Di sini sebagai sosok yang paling peka, Nathan tahu ada yang tidak beres dengan temannya. Satu bulan tidak bertemu, Nathan tidak menyangka begitu banyak persoalan yang dirinya lewatkan. Entah mengenai apa. Tapi Nathan yakin itu cukup pelik.
“Udah rencanain kapan akadnya?” kembali Nathan bertanya. Bukan benar-benar ingin tahu sudah seserius apa sahabatnya menjalin hubungan, Nathan hanya ingin memastikan sesuatu. Benarkah tebakannya atau justru salah besar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny
Fiksi UmumDiawali dengan kenikmatan, lalu berakhir dengan kekecewaan semua orang. Cinta itu kadang menyesatkan. Hadirnya bukan semata untuk memberi kebahagiaan, sebab derita pun menjadi bagian di dalamnya. Banyak hal yang Zinnia korbankan. Banyak pula penderi...