Happy Reading!!!
***
“Gimana Bi, udah dapat tanggal yang pas buat pernikahan kamu sama Aruna?” tanya Alin antusias melihat kepulangan sang putra yang satu minggu ini absen dengan alasan banyak pekerjaan.
“Anaknya baru pulang loh ini Ma, gak bisa gitu di suruh masuk dulu? Suruh istirahat dulu kek gitu. Ini malah langsung di tanya-tanya,” bukan bermaksud kurang ajar, Bian hanya bosan mendengar ibunya menanyakan hal yang sama setiap kali dirinya pulang ke rumah.
“Hehe, ya gimana dong, Bi, abis mama gak sabar. Teman-teman arisan mama udah pada nanyain aja kapan hajatan. Kan Mama malu, Bi, gak bisa jawab. Apalagi di sana ada mamanya Aruna. Dia juga pasti butuh kepastian,” ucapnya sembari mengikuti langkah putranya yang sudah masuk ke dalam rumah.
Bian menghela napas pelan seraya menghentikan langkahnya tepat di undakan tangga pertama. Ia memang berniat langsung menuju kamarnya untuk membersihkan diri sebelum kemudian kembali pergi untuk memenuhi janji dengan sang putri. Tapi sepertinya sebelum itu Bian perlu menanggapi ibunya dulu. Apa lagi Alin sudah membawa-bawa Aruna dan orang tuanya yang sukses membuat Bian merasa bersalah.
“Pertunanganku sama Aruna bahkan belum ada satu bulan, Ma,” tapi desakan ibunya seakan ia sudah bertunangan bertahun-tahun. Membuat Bian kesal dan bertambah pening saja.
“Tapi kan kalau emang udah yakin gak perlu nunggu lama-lama, Bi, gasin aja langsung.”
Tapi masalahnya sejak awal Bian tidak begitu yakin, ia hanya terdorong emosi dan ketidak warasan. Di tambah sekarang ia telah mendengar semua kejelasan Zinnia dan fakta bahwa dirinya telah memiliki Ashlyn. Bian semakin tidak bisa melanjutkan hubungannya dengan Aruna, meski untuk mengatakan itu pada yang bersangkutan masih belum sama sekali memiliki keberanian. Tapi Bian sadar bahwa ia memang benar-benar masih menginginkan Zinnia. Bukan karena ada Ashlyn di antara mereka, tapi karena rasa yang masih dirinya punya.
“Ma, bisa kita bicarakan ini lain waktu? Aku harus mandi, setelah ini masih ada perlu,” kata Bian seraya melirik jam di pergelangan tangannya. Seharusnya Bian sudah ada di rumah Zinnia. Ia pulang cepat tadi. Tapi karena melihat mobil Aruna di depan rumah yang merangkap sebagai toko bunga Zinnia, Bian akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah ibunya dulu. Bian belum siap dihadapkan dengan dua wanita itu sekaligus. Lagi pula di sana ada Ashlyn yang akan memanggilnya dengan sebutan papa. Aruna pasti akan terkejut dan kebingungan. Jadi Bian memilih menghindar dulu sampai ia berhasil mengatakan yang sejujurnya pada Aruna. Tentang Zinnia, tentang Ashlyn, dan tentang masa lalunya.
“Perlu sama siapa? Aruna?”
Bian menggelengkan kepala. Tapi tidak berniat memberi tahu ibunya dengan siapa ia akan bertemu. Alin akan menjadi sangat kepo jika Bian mengatakan bahwa ia ada perlu dengan Ashlyn. Ibunya pasti akan semakin banyak bertanya dan berakhir dengan Bian yang tidak jadi pergi ke mana-mana kecuali membawa ibunya. Alin sudah terlanjur menyukai Aruna, mendengar nama perempuan lain dari mulut anaknya pasti akan membuat Alin rempong seketika. Dan Bian belum siap untuk itu, jadi ia memilih untuk bungkam dulu.
“Terus nanti pulang ke sini lagi gak?”
“Liat nanti aja,” setelah mengatakan itu Bian bergegas menaiki tangga sebelum sang mama kembali melontarkan tanya. Meladeni Alin tidak akan ada habisnya. Bisa-bisa Bian telat menemui anaknya.
Menyelesaikan mandinya dengan cepat, Bian langsung meluncur pergi dengan mobilnya. Ia sudah tidak sabar bertemu anaknya. Zinnia juga sebenarnya. Kalau bisa bahkan Bian ingin memeluk ibu dari putrinya itu seperti dulu. Sayangnya Bian tidak cukup berani.
Perpisahan yang tidak sebentar itu ternyata menjadikan mereka asing, belum lagi dengan fakta bahwa Zinnia tahu perihal Aruna. Membuat Zinnia terang-terangan menjaga jarak, dan sialannya Bian tidak bisa memprotes itu, meskipun ingin sekali melakukannya. Tapi Bian sadar diri, dirinyalah yang menghadirkan tembok penghalang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny
General FictionDiawali dengan kenikmatan, lalu berakhir dengan kekecewaan semua orang. Cinta itu kadang menyesatkan. Hadirnya bukan semata untuk memberi kebahagiaan, sebab derita pun menjadi bagian di dalamnya. Banyak hal yang Zinnia korbankan. Banyak pula penderi...