Happy Reading!!!
***
Zinnia bersyukur karena Ashlyn sudah terlelap saat dirinya pulang. Membuatnya tidak perlu membuat kebohongan untuk menjelaskan air mata yang membuat wajahnya berantakan. Tapi ketika pagi datang Zinnia jelas tidak bisa menyembunyikan wajah sembabnya. Jejak tangisnya semalam begitu ketara meskipun Zinnia sudah mengompresnya. Dan itu membuat putrinya bertanya dengan khawatir, beruntung saja Zinnia bisa meyakinkan Ashlyn dengan kebohongannya. Karena jika tidak, ia pasti kebingungan untuk menjelaskan. Belum tentu juga ia mampu menceritakannya, mengingat sekarang saja dadanya masih begitu sesak.
Mungkin jika hanya mendengar dari orang lain Zinnia bisa mengobati sedikit rasa sakitnya, tapi ia melihat dan mendengarnya secara langsung. Dengan mata dan telinganya sendiri.
Biantara Casugraha.
Pria itu sudah benar-benar bukan miliknya lagi.
Pertanyaan-pertanyaannya selama ini sudah terjawab. Namun bukannya lega, Zinnia malah justru merasa terluka. Mungkin karena dirinya yang masih mengharapkan pria itu. Bisa juga karena dirinya yang tidak rela. Karena jauh di dalam lubuk hati masih ada doa yang Zinnia lambungkan atas nama kekasih masa remajanya. Yang kini bahkan sudah menjadi ayah dari anaknya. Meskipun bukan suaminya.
Menekan sesak yang menyiksa dan mengesampingkan lara hatinya, Zinnia berusaha fokus pada bunga-bunganya. Selain itu Zinnia tidak ingin membuat putrinya semakin curiga. Maka berpura-pura baik-baik saja adalah yang harus dirinya lakukan. Semoga saja dari seringnya berpura-pura ia lupa akan kenyataan yang menyakitkan itu. Meski faktanya sepuluh tahun berlalu kesakitan itu bukannya berkurang, malah justru bertambah dengan fakta baru bahwa sang kekasih masa lalu telah berbahagia dengan perempuan yang bukan dirinya.
Bian-nya terlihat baik-baik saja dengan kehidupan yang tanpa Zinnia di sisinya.
Itu artinya sudah saatnya Zinnia melepaskan dan merelakannya ‘kan? Sudah saatnya Zinnia melupakan. Tidak berharap seperti sebelum-sebelumnya. Tapi … apa mungkin Zinnia bisa? Di saat ia terlanjur melambungkan harap dan doa untuk bisa kembali bersama kekasihnya.
Zinnia kembali ke kota ini demi bertemu dengan Bian, ingin mengatakan bahwa dari yang mereka perbuat sepuluh tahun lalu, ada Ashlyn yang menempati rahimnya selama sembilan bulan. Ada bukti cinta mereka yang berwujud nyata.
Namun setelah tahu fakta bahwa Bian-nya memiliki tunangan, apa yang bisa Zinnia lakukan? Benarkah ia akan melanjutkan niatnya sedari awal? Bagaimana jika Bian tak ingin mengakui anaknya? Bagaimana jika Bian tidak sudi menerima anaknya? Dan bagaimana jika Bian memilih berpura-pura tak mengenalnya?
Pria itu sudah memiliki tunangan yang sangat cantik. Jauh jika harus dibandingkan dengan dirinya yang tidak pernah menerima perawatan ahli di wajah apalagi sekujur tubuhnya. Belum apa-apa saja Zinnia sudah merasa minder. Tidak tahu akan serendah apa dirinya jika benar-benar di sandingkan dengan tunangan Bian untuk di bandingkan. Zinnia tidak ada apa-apanya. Sedikit kemungkinan Bian akan berpaling dari tunangannya itu, terlebih untuk berpaling padanya yang hanya sekadar masa lalu yang entah berharga atau tidak untuk pria itu. Karena untuk Zinnia sendiri masa lalunya dengan Bian amat berharga. Seberharga Ashlyn dalam hidupnya.
Tring ting.
Suara lonceng yang menandakan tokonya kedatangan customer membuat Zinnia menoleh ke arah pintu untuk menyapa. Namun mulutnya yang terbuka tidak mampu mengeluarkan kata. Suaranya tercekat di tenggorokan, begitupun dengan jantungnya yang seakan berhenti berdetak. Hanya waktu yang tetap bergerak, dan Zinnia tidak sadar sudah berapa lama menit terlewati untuk sekadar menyadari sosok yang berdiri dua meter di depannya, tengah menatapnya dengan sorot yang tidak dapat diartikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny
General FictionDiawali dengan kenikmatan, lalu berakhir dengan kekecewaan semua orang. Cinta itu kadang menyesatkan. Hadirnya bukan semata untuk memberi kebahagiaan, sebab derita pun menjadi bagian di dalamnya. Banyak hal yang Zinnia korbankan. Banyak pula penderi...