Love Destiny - 16

3.8K 197 17
                                    

Happy Reading!!!

***

“Aku hamil waktu kamu dapat kabar lulus beasiswa di luar negeri,”

“Kenapa gak bilang?”

“Aku mau. Tapi kemudian aku dengar kalau kamu akan berangkat besoknya. Dan kamu gak bilang apa-apa ke aku sebelumnya. Aku gak tahu kalau kamu mengajukan beasiswa itu. Aku gak tahu kalau kamu punya mimpi kulian di luar negeri. Kamu gak bilang apa pun, Bi. Dan aku kecewa.”

“Tapi harusnya kamu bilang soal kehamilan kamu, Zi. Seharusnya kamu hampiri aku dan bilang keadaan kamu, bukan malah pergi.”

“Lalu setelah itu apa? Dengar umpatan kamu? Dengerin segala makian kamu?”

“Aku gak mungkin lakuin itu, Zi!”

“Lantas, apa kamu akan melepaskan beasiswa itu dengan sukarela? Atau kamu bawa aku ke sana bersama kamu?” Zinnia menggeleng. “Kamu gak akan lakukan itu, Bi. Yang ada kamu akan terbebani dengan kabar yang aku bawa. Kamu dan keluarga kamu akan menganggap aku beban. Kamu akan bilang kalau gara-gara aku kamu kehilangan kesempatan emas untuk berkuliah di universitas dambaan kamu. Dan pada akhirnya kamu akan melukai aku, mungkin tidak dengan fisik, tapi mental. Hubungan kita akan selalu ada dalam derita. Dan mungkin jangankan sepuluh tahun, dua atau tiga tahun pun aku yakin hubungan kita di ambang kehancuran. Karena pada dasarnya kamu terpaksa bertanggung jawab terhadap kehamilanku. Dan aku tidak yakin bisa bertahan.”

Zi …”

Sayangnya Bian tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Bahkan sampai sekarang, setelah dua hari berlalu Bian tidak juga menemukan penyangkalan akan apa yang Zinnia katakan. Itu memang gambaran yang Zinnia rangkai, tapi dalam hati Bian seakan membenarkan.

Bian memang begitu mencintai Zinnia sejak dulu, bahkan Bian merasa tak mampu untuk berpaling dari kekasihnya itu. Tapi apa yang Zinnia paparkan dua hari lalu bisa saja terjadi di masa lalu andai Zinnia benar-benar mengatakan kehamilannya. Bian akan uring-uringan, ia akan menyesali perbuatannya yang melewati batas. Dan Bian pasti akan merutuki kebodohannya. Parahnya ia akan menyalahkan Zinnia soal kekacauan mengenai rencana masa depannya.

Bian tidak mungkin rela melepas beasiswanya setelah setengah mati berusaha untuk mendapatkannya. Dan membawa serta Zinnia bersamanya tidak mungkin Bian lakukan. Zinnia benar, Bian akan terbebani dengan kehamilannya. Dan Zinnia tidak salah bahwa mungkin saja sepanjang hidupnya ia akan menyalahkan Zinnia karena telah membuatnya gagal meraih  masa depan yang diimpikannya.

Memang benar Zinnia masuk ke dalam rencana masa depan yang akan Bian usahakan, tapi tidak dalam urutan pertama. Jadi tidak salah ketika Zinnia bilang bahwa Bian tidak mungkin merelakan beasiswanya demi sang tercinta. Bian bisa saja menjadi berengsek untuk mengejar cita-citanya, dan itu artinya ia akan menyakiti Zinnia. Meskipun pada kenyataannya Bian tetap membuat Zinnia sengsara selama sepuluh tahun tanpa dirinya dengan luka semakin menganga, sebab harapan yang Zinnia miliki harus hancur karena pertunangannya dengan Aruna.

Bian tidak menyangka bahwa ia bisa seberengsek ini, membiarkan Zinnia sengsara dengan membawa darah dagingnya yang kini telah tumbuh menjadi gadis cantik yang serupa ibunya. Menyesal. Bian benar-benar menyesal karena sepanjang sepuluh tahun ini yang ia lakukan hanya berusaha membenci Zinnia dan berpikir yang tidak-tidak.

Bian tidak berpikir bahwa dampak dari kebejatannya akan menghasilkan masalah besar. Dan sekarang terbukti, sperma yang Bian keluarkan menghasilkan Ashlyn yang sulit Bian percayai, tapi juga begitu sulit Bian tolak. Terlebih setelah melihat iris gadis itu yang serupa dengannya.

Love DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang