Happy Reading!!!
***
“Bian, kok Mama belum di ajak diskusi mengenai pernikahan kalian sih?” tanya Alin yang sengaja mengunjungi anaknya dengan dalih membawakan sang putra sarapan. Padahal niat utamanya adalah merongrong Bian soal pernikahan. Alin sudah tidak sabar. “Kamu gak berniat menundanya ‘kan Bi?” lanjutnya dengan mata memicing.
“Bian gak nunda, Ma, cuma lagi nyari waktu yang tepat aja.”
“Berarti kalian sudah bahas soal pernikahan?” sela Alin dengan raut senang. Namun ketika sebuah gelengan Bian berikan, seketika itu juga senyum Alin surut, berganti dengan delik tak suka. “Kenapa?”
“Waktunya belum tepat, Ma. Aku sama Aruna lagi sama-sama sibuk dengan pekerjaan.” Itu benar. “Lagi pula hubunganku sama Aruna belum terjalin lama. Pertunangan kita juga baru satu minggu. Sabar dong, Ma. Kalau udah waktunya nanti aku sama Aruna pasti bicara, kok.”
“Masalahnya Mama udah gak sabar pengen timang cucu, Bi!”
“Cicil cucunya dulu aja gimana, Ma?” goda Bian sembari menaik turunkan alisnya. Membuat sang mama sontak melayangkan pukulan dengan raut galaknya yang terlihat lucu bagi Bian.
“Jangan macam-macam kamu, ya, Bi!”
“Cuma satu macam, Ma,” bantah Bian cepat. “Kan Mama yang bilang pengen cepat-cepat gendong cucu.”
“Ya, tapi gak gitu juga, Biantara! Kamu tetap harus nikah dulu. Mama gak mau kamu hamilin anak orang sembarangan. Gak gentle.”
“Kalau gitu Mama yang sabar. Pernikahan itu kan sakral, Ma. Meskipun lebih cepat lebih baik, tapi tetap harus melewati pertimbangan yang matang ‘kan? Aku sama Aruna belum mengenal terlalu lama. Jadi biarin kami saling memahami satu sama lain dulu. Yang penting aku sama Aruna sudah terikat ‘kan?”
Itu benar tapi …
Mendesah pelan, Alin akhirnya menghela pasrah. “Janji gak akan lama-lama?”
“Iya, Ma. Bian janji,” karena nyatanya Bian pun tidak ingin menunda lebih lama. Hanya saja Bian teringat apa yang Mario katakan tempo lalu mengenai dirinya yang tidak bisa grasak-grusuk. Ada hal yang perlu Bian selesaikan lebih dulu jika tidak ingin kejadian yang lalu terjadi lagi.
Sekarang sumber masalahnya sudah Bian temukan, ada jalan untuknya menyelesaikan apa yang dulu belum sempat dirinya tuntaskan.
Meskipun harus menekan sesak, Bian akan menemui Zinnia untuk membicarakan soal mereka. Dan setelah mengantar ibunya pulang, Bian sempatkan diri mengunjungi toko bunga Zinnia yang saat itu pernah janji tidak akan pernah dirinya injak kembali. Tapi nyatanya sekarang Bian hampiri. Bukan karena ingin membeli, melainkan untuk bertemu dengan Zinnia. Sayangnya toko bunga tersebut tutup dan ketika mencoba menekan bel yang ada di samping pintu tidak ada tanda kehidupan di dalam. Membuat Bian bertanya, mungkinkah si penghuni tidak ada? Jika benar, ke mana kiranya Zinnia pergi?
“Ck, Sial!” umpatnya kesal. Lalu melangkah menuju mobil. Namun tak lantas melajukannya, untuk sesaat Bian hanya diam, menatap bangunan mungil itu dengan perasaan campur aduk. Ada rindu yang tersemat, ada amarah yang ingin disuarakan, ada juga penasaran yang ingin Bian kenyangkan. Tapi mengingat kembali sesosok gadis yang menyebut Zinnia 'mama' membuat dadanya sesak lagi, emosinya naik lagi. Apalagi saat sebuah bayangan tentang Zinnia yang bersanding dengan pria selain dirinya dengan lancang tercipta dalam kepalanya. Rasanya Bian benar-benar ingin memaki.
Tidak ingin semakin kesal karena pikiran-pikirannya yang sialan, Bian memilih melajukan kendaraannya meninggalkan bangunan mungil itu. karena kebetulan ia memiliki janji dengan Aruna untuk menghabiskan hari libur bersama. Masih beberapa jam lagi sebenarnya, tapi karena sudah terlanjur di luar, Bian memilih langsung mengunjungi Aruna di rumahnya. Tidak masalah sepertinya datang lebih awal, mereka jadi bisa menghabiskan waktu lebih lama. Dan beruntungnya Aruna tidak keberatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny
General FictionDiawali dengan kenikmatan, lalu berakhir dengan kekecewaan semua orang. Cinta itu kadang menyesatkan. Hadirnya bukan semata untuk memberi kebahagiaan, sebab derita pun menjadi bagian di dalamnya. Banyak hal yang Zinnia korbankan. Banyak pula penderi...