Love Destiny - 6

3.4K 175 13
                                    

Happy Reading!!!

***

Sesuai ekspektasi, Aruna akan tampil begitu menawan dengan gaun hitam yang dipilihnya tempo hari dan riasan yang menempel tipis di wajah cantiknya. Bian bahkan dibuat terpesona sekali lagi oleh sang kekasih. Membuat senyumnya tak surut dan Bian merasa tak kuasa menahan diri untuk tidak menarik perempuan itu ke dalam rengkuhannya begitu posisi mereka sudah dekat. Bahkan tanpa malu Bian jatuhkan kecupan singkat di bibir kekasihnya itu, membuat tak hanya Aruna yang terkesiap, tapi juga beberapa orang yang melihat tindakan Bian barusan.

Siulan serta ledekan dari orang-orang membuat Aruna malu, hingga merengsak menyembunyikan diri dalam dekapan Bian yang justru malah terkekeh geli. Sedangkan orang tua yang juga menyaksikan geleng kepala melihat anak-anak mereka.

“Cantik,” puji Bian dengan berbisik. Semakin menambah rona merah di pipi Aruna. Bian sudah pernah bilang ‘kan bahwa dirinya begitu suka? Dan itu tak bohong. Bahkan saking gemasnya Bian ingin sekali melumat bibir penuh Aruna yang malam ini berpulas lipstik warna merah yang terlihat semakin merekah dan mengundangnya untuk mencicipi rasa manis di sana. Sayangnya Bian mesti menahan diri jika tidak ingin membuat acara ulang tahun kekasihnya kacau gara-gara keinginan tak sopannya itu.

Ini semua gara-gara mimpi yang kembali menghampirinya. Membuat Bian sulit mengendalikan diri dari gairah yang selalu tiba-tiba memuncak sebelum kemudian tiba-tiba padam saat ia ingin melakukan lebih.

Keinginan Bian yang menggebu untuk melakukan ini dan itu terhadap kekasihnya hanya sekadar kata, karena prakteknya tidak semenggebu itu. Bian selalu kehilangan gairahnya di menit kedua dirinya menyatukan bibir dengan Aruna.

Ah, tak hanya Aruna, sebab dengan perempuan sebelumnya pun begitu. Bian kerap kali memaksakan diri, berharap nafsunya akan terpancing lagi. Tapi yang ada malah justru mual sendiri. Dan itu membuat Bian kecewa pada dirinya sendiri. Tapi Bian terus menutupi, lagi pula ia sedang belajar sekarang, semoga saja kali ini Aruna benar-benar bisa menyembuhkannya dari ketidak normalan ini. Sebab dengan Aruna Bian merasakan perasaan yang berbeda. Cukup menggebu, meskipun tidak semenggebu ketika dengan masa lalunya.

Ah, masa lalu.

Bian benar-benar muak mengingat itu.

Dan untuk usaha melupakan semua itu Bian benar-benar bertekad kali ini. Rencana yang sudah di niatkan Bian laksanakan walau sejak mimpi itu kembali mengganggu tidurnya keraguan menghampiri dengan sialan. Tapi kali ini Bian bertekad untuk menjadi pemenang. Ia tidak ingin larut pada masa lalu yang berhasil menjebaknya selama sepuluh tahun ini. Lagi pula perempuan itu sudah pergi. Entah ke mana. Dan sampai hari ini Bian tidak juga menemukan sosoknya di mana-mana.

Untuk meyakinkan diri sekali lagi Bian sudah pergi ke rumah wanita itu, dan jawaban yang di dapatkan masih sama. Zinnia tidak ada. Yang artinya harapannya pun tidak lagi ada. Namun bukan berarti hidupnya selesai di sana ‘kan? Tuhan masih memberinya kehidupan, itu artinya Bian perlu memiliki harapan baru, rencana baru dan tujuan yang baru pula. Dan Aruna menjadi pilihannya untuk ia lantunkan dalam doa untuk menjadi masa depannya. Masa depan yang Bian harap akan lebih indah dari masa lalunya.

Maka, dengan segenap tekad yang dikumpulkannya Bian mengutarakan keinginan meminang Aruna di depan kedua orang tua mereka juga teman-teman Aruna yang malam ini hadir untuk merayakan pertambahan umur wanita itu.

Bian tahu dirinya terlalu nekad untuk sesuatu yang belum sepenuhnya hatinya yakini. Tapi Bian tidak bisa lagi membiarkan perasaannya mengambil alih keinginannya. Sudah cukup. Bian tidak ingin lagi menyia-nyiakan hidupnya hanya untuk memikirkan atau bahkan menunggu masa lalu yang tak sama sekali bisa memberinya kepastian kapan akan kembali. Sekarang Bian akan mengakhirinya. Mengakhiri apa pun yang menjadi masa lalunya. Toh memang sudah seharusnya seperti itu ‘kan? Semoga saja setelah ini Bian bisa hidup lebih baik lagi.

Bian tahu tiga bulan masih terlalu rawan untuk sebuah keputusan besar seperti ini. Tapi Bian tidak ingin berlama-lama lagi. Ia takut kembali diguncang oleh keraguan yang akan kembali membuatnya lemah dan tak berdaya. Bukan fisiknya, melainkan hatinya. Maka dari itu Bian tidak ingin lagi menunda keinginannya ini. Sebisa mungkin kali ini ia akan mempertahankan hubungannya, melawan keraguan juga perasaan lain yang sepuluh tahun ini menghantui.

Aruna. Bian yakin wanita itu orangnya.

Namun sekolebat bayangan wajah sendu dan penuh air mata melintas di depannya, bertepatan dengan kepalanya yang menoleh pada sekumpulan tamu undangan yang bertepuk tangan, merayakan kebahagiaan dirinya dan Aruna yang baru saja meresmikan sebuah pertunangan. Senyum yang terukir seketika lenyap di gantikan dengan debar jantung yang menggila dan perasaan tak asing yang kerap kali datang mengacaukan perasaannya.

Sialannya kali ini terasa begitu nyata. Sosok itu seakan benar ada di sana. Di sudut kanan ruangan yang tidak menjadi perhatian orang-orang. Bahkan Bian sendiri tidak sama sekali memiliki niat menatap ke sana, karena jelas Aruna lebih menarik untuk dirinya pandangi saat ini. Terlebih dengan binar bahagia yang tidak sedikitpun wanita itu sembunyikan. Tapi entah ada dorongan dari mana hingga Bian justru menolehkan muka, dan bayangan itu dirinya temukan.

Terlalu mustahil di anggap nyata, tapi terlalu jelas untuk Bian menganggapnya khayalan atau ilusi semata, karena bahkan ia melihat sosok itu berlari, pergi dari keramaian pesta ulang tahun Aruna yang Bian beri kejutan sebuah pertunangan.

Sekarang, haruskah Bian ikut berlari? Memastikan bahwa dirinya tidak sedang berdelusi. Tapi, apa yang akan dirinya katakan pada Aruna dan orang tuanya yang ada di sini? Tidak mungkin bukan Bian bilang bahwa dirinya ingin mengejar sebuah bayangan seorang perempuan masa lalu yang begitu berarti dalam hidupnya? Selain di anggap gila, Bian pasti akan di ceramahi habis-habisan oleh ibunya. Lebih dari itu Bian akan melihat kecewa di manik indah tunangannya. Tapi Bian akan benar-benar gila jika tidak memastikan itu sendiri.

Bagaimana jika benar itu Zinnia?

Melihat wajah penuh air mata sesaat tadi, Bian tiba-tiba merasa terluka. Ada sudut hati yang masih menyimpan namanya hingga saat ini, yang teremas oleh tangan tak kasat mata. Terasa menyakitkan.

Lalu bagaimana jika itu hanya halusinasinya saja?

Ah, bukankah jika seperti itu Bian memang benar-benar butuh psikolog untuk mengatasi tanda-tanda kegilaannya?

Sial!

Bian tidak paham apa yang sebenarnya semesta rencanakan. Selalu saja seperti ini setiap kali ia ingin keluar dari zona sialan yang telah menyiksanya selama sepuluh tahun ini.

Entah Zinnia yang berhasil memberi pengaruh besar pada hidupnya, atau justru dirinya yang lemah karena tidak bisa melupakan Zinnia yang menjadi cinta pertamanya. Yang jelas semesta berhasil mempermainkan hidupnya.

Lantas itu akan membuatnya menyerah?

Bian menggeleng tegas. Ia tidak akan menyerah kali ini. Ia tidak akan kalah oleh perasaan sialan yang menjebaknya sejauh ini. Seperti yang dikatakan, Bian akan menyudahi kegilaan ini. Sungguh, Bian tidak akan membiarkan perasaan terus menerus memenangkan permainan ini. Kali ini Bian yang akan memimpin.

Namun di menit kedua Bian berhasil kembali membiarkan kebodohannya menang lagi, karena di bandingkan diam dan menikmati eforia kebahagiaannya dengan Aruna, Bian justru berlari, meninggalkan tempat acara tanpa meninggalkan satu pun kata. Membuat orang-orang di sana kebingungan, terlebih Aruna. Tapi beruntunglah MC sudah mengambil alih acara hingga kemeriahan ulang tahun Aruna berlangsung sesuai rencana. Mengabaikan Bian yang mengundang tanda tanya. Mungkin Aruna akan meminta penjelasan Bian nanti. Setelah pria itu kembali.

Kondisi di dalam sudah terkendali. Semua orang kembali bersenang-senang dengan Aruna yang mendapat ucapan selamat dari teman-temannya. Beda hal dengan kondisi Bian saat ini. Pria itu terlihat kebingungan, menatap sekelilingnya dengan harap menemukan yang di cari. Sayangnya meskipun telah berlari ke sana ke mari Bian tidak juga di beri petunjuk ke mana sosok itu pergi. Membuat Bian menunduk lesu, sebelum kemudian menggerang frustasi. Dan demi meluapkan amarah Bian layangkan kepalan tangannya pada udara kosong yang dalam bayangannya tengah mengejek tanpa hati.

Bian sudah benar-benar gila sepertinya malam ini.

***

See you next part!!

Love DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang