Love Destiny - 20

3.8K 174 15
                                    

Happy Reading!!!

***

“Masih lesu aja sih, Bi, padahal udah punya anak,” cibir Nathael sesaat setelah meneguk minumannya yang dituangkan bartender kebanggaan club malam milik Mario.

Nathan dan Mario yang semula fokus dengan obrolan berdua menoleh pada Bian yang datang terakhir untuk memastikan apa yang dikatakan temannya satu itu. Dan Mario meringis ketika mendapati kebenaran tersebut. Bian bahkan terlihat lebih lesu dari biasanya.

“Kenapa lo, Bi?” Mario bertanya heran. Pasalnya kemarin malam ia masih melihat Bian yang begitu senang bermain bersama Ashlyn.

Problem-nya siapa sekarang, Zinnia apa Aruna?” Nathan ikut bersuara dengan tatap tertuju pada sang teman.

Namun Bian tak menjawab, malah menghela napas dan meraup wajahnya, terlihat frustrasi, sebelum kemudian melirik pada Mario yang masih mengerutkan kening tanda keheranannya. “Yo,” panggil Bian memulai. “Lo gak punya perasaan apa-apa sama Zinnia ‘kan?” tanya Bian kemudian. Membuat kerutan di kening Mario semakin dalam. Pun dengan si kembar Nathan dan Nathael yang menatap Bian dan Mario bergantian.

“Maksud lo?” tanya Mario tak paham.

“Kedekatan lo sama Zinnia bikin gue terganggu,” akunya jujur lalu menghela napas pelan. “Gue sebenarnya gak mau berpikir yang enggak-enggak. Tapi melihat bagaimana Zinnia tertawa dan nyaman di dekat lo, gue jadi gak bisa biasa aja. Hati gue gak baik-baik aja, Yo. Rasanya … sesak,” lanjutnya seraya menekan dada.

Dan Mario yang mendengar itu mendengus pelan seraya melirik Bian dengan sinis. “Udah dari dulu perasaan gue dekat sama Zinnia, Bi. Kenapa baru sekarang lo permasalahin?”

“Teman lo itu lagi insecure, Yo. Dia kan sekarang gak bisa deketin ibu dari anaknya. Ya wajar kalau dia cemburu,” sahut Nathael.

“Lah, kenapa harus cemburu? Lo ‘kan udah punya Aruna, Bi. Zinnia cuma ibu dari anak lo. Di luar itu Zinnia bukan siapa-siapa lo,” Mario berkata ringan seraya melirik sahabat kembarnya untuk meminta persetujuan. Dan ketika sebuah anggukan singkat kompak di berikan oleh Nathan dan Nathael senyum kemenangan Mario sunggingkan. “Hubungan lo sama Zinnia udah selesai, Bi,” tambahnya kemudian.

“Tapi antara gue sama Zinnia belum ada kata putus, Yo. Dia masih cewek gue,” bantah Bian tak terima.

“Dengan lo jadian sama Aruna, bahkan sekarang udah tunangan, otomatis hubungan lo sama Zinnia selesai,” kata Mario. “Udah sih, Bi, lo terima kenyataan aja kalau Zinnia memang cuma sekadar mantan meskipun dia sosok yang melahirkan anak lo.”

“Tahu lo, Bi. Serakah amat jadi manusia. Aruna lo embat Zinnia pun enggan lo lepas. Maruk lo!” timpal Nathael memutar bola mata.

“Yo, El, please! Kalian jelas tahu bagaimana perasaan gue,”

“Iya, terbagi,” jawab Mario cepat dengan putaran bola mata. Semakin membuat Bian frustrasi. Tidak tahu lagi ingin berkata seperti apa. Bian tidak bisa mengelak apa yang teman-temannya katakan, dan Bian sadar dua temannya yang menyebalkan itu sedang menyindirnya.

“Coba waktu itu lo dengar apa yang gue bilang, Bi, mungkin sekarang gak akan serumit ini. Lo gak akan frustrasi kayak gini. Dan lo gak akan di hindari Zinnia kayak gini,” ucap Mario mulai kasihan kepada temannya. “Gue yakin kalian pasti bahagia saat ini. Cuma perlu menghadapi keluarga lo sama keluarga Zinnia buat minta restu. Setelah itu lo bisa hidup bersama Zinnia dan anak lo. Bikin anak lagi sampai dua belas sekalian,” lanjutnya dengan sedikit emosi, akibat kesal dengan keputusan yang diambil sahabatnya yang bodoh itu.

“Mana gue tahu kalau Zinnia bakal balik lagi,” karena andai sejak awal ia tahu bahwa Zinnia akan kembali, Bian pasti akan menunggu.

“Ya lo-nya aja yang kurang sabar. Bertingkah sok jadi yang paling terluka, tahunya malah jadi penjahatnya,” cibir Nathael tanpa hati. “Coba deh Bi, lo bayangkan, di saat lo sibuk nyoba cewek sana sini demi menuntaskan hasrat karena mimpi sialan lo itu, Zinnia lagi tenangin anak-nya yang rewel karena demam. Di saat lo uring-uringan dan maki Zinnia ini itu, dia lagi sibuk bagi waktu antara anak dan pekerjaan. Dan di saat lo hamburin uang untuk mabuk-mabukan, Zinnia lagi kesulitan cari untuk makan. Lalu, di saat Zinnia punya keberanian pulang dan mengharap kebahagiaan akan dia dapatkan, lo malah justru tunangan! Parahnya dia bukan tahu itu dari orang lain, tapi nyaksiin sendiri bagaimana lo masukin cincin di jari manis perempuan lain. Bisa lo bayangkan ‘kan Bi gimana sakitnya jadi dia? Dan sekarang lo malah permasalahin Zinnia ketawa karena Mario?” Nathael geleng kepala menatap tak habis pikir sahabatnya itu . “Harusnya lo bersyukur, Bi. Dia masih bisa tertawa di saat hatinya hancur gara-gara lo.”

“Bukannya sibuk cemburu sama gue,” Mario menambahkan dengan delikan sinisnya. “Stop menjadi yang paling tersakiti, Bi!” lanjutnya. “Sejak awal lo udah mutusin buat milih Aruna, jangan buat Zinnia makin tersiksa dengan sikap berengsek dan pecundang lo itu. Dan asal lo tahu, gue gak punya perasaan apa-apa sama Zinnia. Sejak dulu gue selalu anggap dia adik gue. Lo tahu itu, Bi. Jadi gak usah cemburu.” Tekan Mario di akhir kalimatnya.

“Tapi dia ngehindarin gue, Yo!” itu yang tidak bisa Bian terima.

“Ya itu memang udah seharusnya kali, Bi. Zinnia tahu diri untuk gak dekat-dekat sama calon suami orang,” sekalinya bicara Nathan memang suka tepat sasaran.

Bian tidak bisa lagi berkata-kata sekarang. Pria itu justru meneguk alkoholnya dengan sekali teguk, dan mengerang kecil saat merasakan terbakar di sekitar tenggorokannya. Namun Bian seakan tidak peduli, karena setelahnya ia kembali meneguk minumannya sampai tidak terhitung berapa gelas yang sudah masuk ke dalam perutnya.

Ketiga temannya yang menyaksikan hanya geleng kepala, tidak berusaha mencegah Bian untuk tidak mabuk. Mereka teramat hapal bagaimana sahabatnya satu itu. Bian selalu mengandalkan minuman dalam setiap permasalahan yang sedang menderanya. Terlebih jika itu berkaitan dengan Zinnia.

“Cuma mau ngingetin, Bi, kalau lo gak sadar diri karena terlalu mabuk, gue gak akan hubungi Zinnia untuk urus lo di apartemen, tapi Aruna. Dia yang lebih berhak ‘kan?”

Dan Bian mengumpat lantang mendengar ucapan Mario tersebut. Namun tak menghentikan minumnya. Bian sedang benar-benar frustrasi sekarang, karena ternyata di jauhi Zinnia membuatnya benar-benar tersiksa.

Andai bisa, Bian ingin sekali meminta Tuhan mengembalikan waktu ke beberapa bulan terakhir. Saat di mana untuk pertama kalinya sang mama meminta ia bertemu dengan Aruna.

Bian ingin mengubah pertemuan mereka. Ia ingin mengubah keterkesanannya jadi biasa saja. Bian ingin menarik ulang kata-katanya yang menganggap bahwa sudah waktunya. Bian ingin meralat itu semua dengan kembali terkunci pada Zinnia. Menunggu sebentar lagi atau mencari Zinnia dengan sungguh-sungguh, kemudian membawa perempuan itu pulang dan melanjutkan kisah mereka yang terjeda selama sepuluh tahun lamanya.

Bian akan langsung mengenalkan Zinnia pada ibunya. Mengatakan bahwa perempuan itu lah yang membuat Bian tidak juga mengenalkan perempuan mana pun pada ibunya. Karena Zinnia yang Bian inginkan. Kekasih masa remajanya yang berhasil membuatnya tersiksa sekaligus bahagia setiap kali mengingatnya.

Lalu setelahnya Bian akan bawa Ashlyn kehadapan ibunya, mengenalkan gadis sembilan tahun itu sebagai anaknya. Cucu yang sering kali ibunya minta. Bian yakin ibunya pasti akan senang.

Sayangnya itu hanya andai, karena pada faktanya Bian sedang dilanda kebingungan sebab Aruna bukan hanya kekasih, sudah menjadi tunangan. Hubungannya sudah melibatkan keluarga, dan Zinnia tidak ingin dijadikan alasan Bian berpisah dengan tunangannya itu.

Benar-benar sialan sekali hidupnya ini.

Rasanya Bian ingin sekali memaki dirinya sendiri. Tapi bahkan itu sudah sering Bian lakukan belakangan ini. Sayangnya makiannya tidak sama sekali berhasil mengurangi masalahnya. Yang ada malah membuatnya semakin pening saja.

Andai saja mati semudah menjentikan jari, Bian akan memilih itu agar keegoisannya tidak menyakiti siapa pun. Meskipun jujur saja Bian tidak peduli jika harus menyakiti Aruna karena lebih memilih Zinnia sebagai masa depannya, tapi masalahnya Zinnia yang tidak ingin ia berbuat seperti itu.

Zinnia yang enggan egois dengan mengorbankan wanita lain untuk kebahagiaannya yang sudah Bian rusak dan berniat diperbaiki.

Zinnia yang menolak Bian perjuangkan.

Zinnia yang menolak Bian rengkuh kembali.

Zinnia lebih memilih tetap pada kesakitan dari pada harus bahagian dengan menorehkan luka pada orang lainnya.

Sialan ‘kan?

Zinnia lebih memedulikan orang lain di bandingkan dirinya sendiri.

Dan Bian kesal pada fakta itu.

“Arggh, sialan! Kamu benar-benar sialan, Zinnia. Sialan!”

***

Coba bantu Bian koreksi guys, siapa sebenarnya yang sialan ...

Ramaikan komentarnya ya?
Dan jangan lupa ⭐ nya ...

See you next part!!!

Love DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang