Love Destiny - 9

3.5K 184 22
                                    

Happy Reading!!!

***

“Mutiara, bunga yang saya minta sudah kamu pesankan ‘kan?” tanya Bian pada sekretarisnya yang terlihat baru saja kembali dari ruang photo coppy dengan beberapa berkas di tangannya.

“Sudah Pak. Mau di ambil sekarang?” baliknya bertanya seraya melangkah menuju meja kerjanya di mana Bian saat ini berdiri.

Sebuah deheman Bian berikan sebagai jawaban. Membuat Mutiara mengangguk dan membuka laci untuk mengambil nota pembelian bunga yang sudah di print-nya tadi, lalu di serahkan pada Bian. “Sesuai yang Bapak minta. Toko bunganya sejalur sama alamat rumah orang tua Bapak.”

“Oke. Terima kasih, Mutiara,” ucap Bian tulus. “Kalau gitu saya pergi meeting dulu. Nanti gak balik ke kantor lagi. Saya mau langsung pulang saja. Kamu jangan lupa selesaikan berkas yang tadi saya kasih!” terang Bian diakhiri peringatan. Lalu pergi setelah mendapat tanggapan berupa acungan jempol tanda sang sekretaris menyanggupi.

Hari ini adalah ulang tahun pernikahan orang tuanya, dan Bian diminta pulang untuk ikut makan malam bersama keluarganya. Tidak ada acara perayaan. Hanya makan malam biasa. Tapi ibunya mewajibkan Bian datang, karena katanya Bian dan Falysa adalah bagian dari pernikahannya. Karena itu Bian tidak bisa menolak. Maka Bian putuskan untuk pulang lebih awal, meskipun pekerjaannya tidak bisa di katakan sedikit. Tapi untuk hari spesial kedua orang tuanya Bian meluangkan sedikit waktunya. Dan bunga adalah hadiah yang akan Bian bawa untuk ibunya.

Terlalu bingung menentukan kado yang harus dirinya beri, Bian memutuskan agar Mutiara memesankan bunga saja. Biar Bian tanya langsung pada kedua orang tuanya nanti, apa yang kedua paruh baya itu inginkan.

Pukul empat sore Bian selesai melakukan pertemuan dengan klien, langsung melajukan kendaraannya ke toko bunga agar  bisa segera pulang dan mengistirahatkan tubuhnya yang telah lelah akibat dua hari ini tidak bisa benar-benar istirahat. Bayangan mengenai masa lalunya masih kerap menghantui membuat Bian kesulitan untuk memejamkan mata. Beruntung saja ia masih bisa fokus pada pekerjaannya. Jika tidak, Bian yakin surat pemecatan akan segera tiba di mejanya.

Mengabaikan permasalahan hati juga kewarasan yang semakin hari semakin di pertanyakan, Bian ambil nota yang tadi sekretarisnya berikan. Dan setelah memastikan bahwa toko di depannya sama dengan nama yang tertera di nota, barulah Bian keluar dari mobilnya dan melangkah menuju pintu kaca yang tertutup rapat dengan tulisan ‘open’, tanda bahwa toko buka.

Tanpa berniat melirik sekeliling untuk sekadar mengamati toko bunga yang disinggahi, Bian mendorong pelan pintu kaca tersebut hingga bunyi lonceng menyambut kedatangannya, dan belum genap dua langkah kakinya masuk Bian seakan merasakan dunia tak berputar lagi. Entah mimpi atau halusinasi, Bian temukan sosok yang membuatnya kacau selama ini berdiri tidak jauh di depannya, sama terpakunya dengan tatap yang sulit dirinya pahami.

Bian ingin menyapa, memastikan bahwa kini bukan bagian dari mimpi buruk sekaligus indahnya saja, tapi Bian merasa kelu. Suara yang ia harap akan melantun seperti biasanya mendadak tersangkut di tenggorokan. Sementara dadanya berdetak tidak seperti biasanya, membuat tubuhnya gemetar dan Bian jadikan pintu sebagai pegangan agar ia bisa tetap berdiri tegak, tidak memperlihatkan kelemahannya.

Di depan sana Bian melihat sosok itu memejamkan mata, dan seharusnya Bian pun melakukan hal serupa. Tapi tidak. Bian tidak ingin melakukannya. Takut ketika kembali membuka mata sosok itu hilang seperti sebelum-sebelumnya. Maka dari itu Bian memilih mempertahankan matanya terbuka, agar jika pun ini sekadar mimpi atau ilusinya saja, ia merasa cukup puas. Bian bisa merekam jelasa wajah yang dirindukannya. Tidak hanya bayangan seperti yang dilihatnya kemari. Tidak peduli jika setelah ini dirinya resmi dikatai gila. Yang penting Zinnia utuh dalam ingatannya.

Namun sudah cukup lama waktu berlalu sosok itu tidak juga kunjung hilang, membuat detak jantungnya semakin tidak terkendali. Dan demi memastikan bahwa ini bukan mimpi, Bian bawa langkahnya maju. Setiap langkah yang dirinya ambil terasa amat berat sekaligus menegangkan, namun ketika yakin bahwa sosok di depannya memang bukan bagian dari ilusi, Bian rasakan lonjakan haru juga amarah. Tapi di bandingkan dengan kata rindu dan makian, Bian malah justru meloloskan kalimat, “Mau ambil bunga atas nama Mutiara.”

Jika tidak salah mengartikan, Bian temukan kekecewaan di mata sejernih madu itu. Membuat Bian berpikir, mungkinkan perempuan itu mengharapkan dirinya mengatakan hal yang lain? Seperti apa? Bian sendiri bahkan bingung ingin mengatakan apa untuk mengisi pertemuan yang tidak di sangka ini.

Kemarin-kemarin Bian memang berjanji akan mencerca wanita itu karena telah berhasil membuatnya nyaris gila, tapi semua cercaan itu mendadak hilang. Bian bahkan merasa tidak memiliki kosa kata dalam kepalanya. Hanya itu yang ada di kepalanya, karena memang itulah tujuannya datang ke sini. Tapi kenapa rasanya Bian tak rela?

Apalagi saat Zinnia menyerahkan rangkaian bunga yang telah Mutiara pesankan padanya dengan tatap yang tidak lagi perempuan itu pertemukan. Bian tak suka. Bian ingin menegur Zinnia, tapi suaranya tidak juga kunjung ditemukan. Bahkan tubuhnya saja sulit untuk Bian gerakan. Berbanding terbalik dengan hati dan pikirannya yang ramai memperdebatkan antara rindu dan kemarahan, mana yang paling besar.

Namun belum juga ada yang dapat di menangkan, suara dari dalam toko bunga mungil itu mengalihkan atensi Bian. Seorang anak perempuan berlari menghampiri Zinnia dengan bunga di tangan mungilnya. Tapi bukan itu yang menarik, melainkan panggilan bocah itu pada perempuan di depannya.

Mama.

Mungkinkah Bian salah dengar?

Tapi sepertinya tidak, karena tidak lama setelahnya kata itu terucap lagi, dan Bian mendengarnya amat jelas. Gadis perempuan itu memanggil Zinnia dengan sebutan mama.

Apa itu artinya Zinnia sudah menikah dan memiliki anak?

Kapan?

Dengan siapa?

Lalu, bagaimana dengan dirinya?

Bian resfleks menggelengkan kepala. Matanya memanas, menatap pemandangan di depannya yang terlihat hangat namun terasa menyesakkan untuknya. Terlebih membayangkan Zinnia yang selama ini dirinya harapkan telah bersanding dengan pria yang bukan dirinya. Rasanya menyakitkan. Dan karenanya Bian membawa langkahnya mundur sebelum kemudian berbalik dan berlari keluar dari toko bunga itu dengan membawa segengam kecewa juga beribu pertanyaan mengenai apa yang telah terjadi selama sepuluh tahun belakangan ini.

Sejujurnya Bian tidak ingin mempercayai apa yang dipikirkan dalam kepalanya, tapi tidak ada penyangkalan yang bisa dirinya beri setelah kepalanya kembali mengulang kata yang bocah di dalam sana gunakan untuk memanggil Zinnia.

Mama.

Bian tidak percaya bahwa Zinnia telah memiliki anak.

Kira-kira berapa usianya?

Melihat dari tinggi badan dan besar tubuhnya sepertinya tidak mungkin bocah perempuan itu berusia tiga atau empat tahun. Jadi, mungkinkah sudah selama itu Zinnia menikah? Lalu apa ini alasan Zinnia meninggalkannya? Mungkinkah kekasihnya itu mengkhianatinya?

Bian kembali menggeleng, tidak ingin membenarkan apa yang ada dalam kepalanya.

Bian tahu bagaimana Zinnia. Kekasihnya itu perempuan yang lembut, manis, setia, baik hati dan penuh kasih sayang. Zinnia tidak mungkin mengkhianatinya. Terlebih Bian tahu betapa Zinnia mencintainya. Tapi melihat fakta di depan mata, masihkah Bian harus menilainya seperti itu?

Zinnia di depannya beberapa saat lalu sudah bukan gadis remaja seperti sepuluh tahun lalu. Zinnia sudah menjadi perempuan dewasa yang begitu cantik dan anggun. Bahkan Zinnia-nya kini sudah menjadi ibu.

Ah, Bian benar-benar tidak bisa mempercayainya begitu saja. Ini terlalu mengejutkan sekaligus tidak bisa dirinya terima.

Memukul stir mobilnya dengan kasar, Bian lalu mengumpat lantang dan melajukan kendaraannya, meninggalkan pelataran Zislyn flower yang janji tidak akan pernah dirinya kunjungi lagi.

“Zinnia sialan!” umpatnya lagi dengan rahang mengeras dan wajah semerah saga.

***

Wahh beneran parah nih si Bian. Bisa2 nya gak sadar itu anaknya.
Ck, ck, ck.

See you next part!!!

Love DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang