Love Destiny - 5

3.8K 191 18
                                    

Happy Reading!!!

****

“Bunganya udah siap ‘kan Mbak?”

 “Udah kok. Ini saya lagi nunggu mobil untuk bawa bunganya ke lokasi,” jawab Zinnia sembari mengecek barang bawaannya. Takut ada yang terlupa atau tertinggal.

Dua hari lalu Zinnia di kunjungi pihak EO yang katanya sedang membutuhkan bunga untuk dekorasi acara ulang tahun temannya. Toko bunga yang sudah menjadi langganannya setiap kali mendapatkan orderan sedang tidak bisa menyediakan apa yang mereka butuhkan karena banyaknya pesanan dari sana sini, belum lagi dengan waktu yang cukup mepet. Maka dari itu mau tidak mau harus mencari bunga dari tempat lain. Dan toko bunganyalah yang di pilih.

Zinnia senang tentu saja. Karena untuk pertama kalinya setelah tiga bulan membuka toko bunganya ini ia mendapatkan orderan cukup besar. Dan karena tidak ingin mengecewakan, Zinnia harus benar-benar memastikan semuanya baik dan lengkap.

Kemarin ia sudah di beritahukan bagaimana konsep dekorasi pestanya, dan sekarang, setelah ia tiba di tempat yang akan diadakannya acara malam nanti,  ia hanya perlu konsentrasi agar memberikan hasil yang bagus.

Tempat untuk bunga-bunga yang akan Zinnia rangkai sudah tersedia. Ia tinggal menatanya. Tidak sendiri, karena ia di bantu dari pihak EO itu sendiri. Ini adalah kerja sama, sudah sepatutnya mereka bergotong royong untuk hasil yang cepat dan maksimal. Dan Zinnia senang dengan kerja sama ini. Selain karena ia mendapatkan hasil lebih besar dari penjualan biasanya, ia juga jadi mendapatkan teman yang cukup menyenangkan. Dan mungkin juga memiliki rekan bisnis baru untuk perkembangan usaha bunganya yang masih seumur jagung ini. Ya, meskipun ia telah cukup berpengalaman dalam hal ini, tapi tetap saja usahanya masih terbilang baru.

Tadinya Zinnia menyarankan untuk membuka cabang saja, dan ia akan membantunya mengelola di kota ini. Tapi pemilik toko bunga tempatnya bekerja selama ini tidak setuju dan malah menyuruh Zinnia untuk membukanya sendiri dengan modal yang beliau bantu. Hal yang membuat Zinnia tidak enak hati. Tapi beliau memaksa. Hingga akhirnya terciptalah toko bunganya sendiri. Zislyn Flower. Gabungan nama antara dirinya dan sang putri.

Awalnya Zinnia ragu, tapi atas dukungan malaikat penolongnya sepuluh tahun lalu itu akhirnya Zinnia menyanggupi dan ia benar-benar berterima kasih untuk segala hal yang sudah dirinya terima hingga hari ini. Zinnia tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang andai tidak bertemu sosok itu. Sosok yang sepuluh tahun belakangan ia panggil ibu. Sosok yang menolongnya dari kesengsaraan yang nyaris membuatnya menyerah pada kehidupan. Mungkin Zinnia Artemisia hanya tinggal nama saja. Atau bahkan nama pun tak ada karena tidak ada yang sudi menyebut namanya, apalagi mengenang dirinya.

Ah, tapi masa itu telah berlalu. Kesakitan, kepedihan, kesengsaraan itu sudah Zinnia lalui. Kini hanya ada harapan, yang semoga saja tidak akan mengecewakan.

Dan untuk ungkapan terima kasih, Zinnia berjanji pada dirinya sendiri untuk bekerja keras mengembangkan usaha bunganya. Zinnia ingin membuat ibu penolongnya bangga dan tidak menyesal telah mengajari sekaligus mengenalkan tanaman cantik itu padanya. Maka kini, dengan serius Zinnia merangkaikan satu per satu mawar pink yang di pesan si pihak EO hingga menjadi rangkaian yang cantik.

Tidak hanya mawar pink, mawar putih dan merah pun ikut menghiasi beberapa bagian ruangan di tambah dengan hiasan lainnya yang semakin membuat indah dan sempurna. Zinnia tersenyum puas melihat hasilnya. Pun dengan pihak EO dan si pemilik acara yang memuji langsung hasil kerja Zinnia yang memang tidak perlu di ragukan lagi. Tapi tetap saja tidak banyak orang tahu karena Zinnia dan usahanya adalah baru di kota ini.

Walaupun dulu dirinya lahir dan besar di sini. Tapi sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar bukan? Sepuluh tahun mampu membuat siapa saja lupa. Termasuk sosok yang berhasil netranya temukan, berjalan memasuki ruang acara dengan penampilan yang begitu memukau. Membuat siapa saja terpesona, termasuk Zinnia sendiri.

Sepuluh tahun telah berlalu, tapi Zinnia tidak sedikit pun lupa pada rupa sosok itu walau Zinnia akui ada perubahan pada pria itu, salah satunya bentuk tubuhnya yang kini lebih berisi dan tegap. Zinnia yakin itu hasil dari olahraga rutinnya. Tapi wajahnya tidak berubah. Laki-laki itu masih sama tampannya seperti sepuluh tahu lalu. Sama memesonanya seperti saat pertama kali mereka bertemu. Namun rambut yang dulu berantakan kini telah tersisir rapi ke belakang, khas eksekutif muda dengan garis wajah terlihat lebih dewasa. Mungkin karena usianya pun telah berbeda dengan sepuluh tahun lalu. Tapi sungguh, penampilannya yang sekarang lebih memperlihatkan pesonanya. Zinnia yakin tidak ada satu pun wanita yang akan menolaknya.

Bola mata Zinnia mengikuti langkah kaki pria itu hingga sosoknya berhenti di depan si pemilik acara, lalu Zinnia sukses di buat terluka saat dengan luwesnya tangan itu merengkuh pinggang ramping seorang perempuan yang baru genap berusia dua puluh lima tahun tepat di hari ini. Semakin terluka ketika subuah kecupan singkat di jatuhkan di bibir perempuan itu.

Sesak, Zinnia merasa udara disekitarnya menipis, membuat jantungnya harus bekerja ekstra agar dirinya tetap bisa bernapas. Dan entah di menit ke berapa Zinnia merasa dunia tak lagi bergerak, semua yang ada di sekelilingnya berhenti, termasuk dirinya yang entah menapak pada bumi atau justru terhempas ke jurang yang tak bertepi. Namun satu suara berhasil menggema di kedua telinganya, satu suara yang dirinya rindu. Sayang, kalimatnya berhasil membuat dadanya terasa nyeri.

“… Aruna, will you marry me?”

Kalimat itu terus terngiang di telinganya. Mengalun seperti lagu yang menyayat hati. Sayang sayatan itu begitu terasa di hatinya, hingga perihnya membuat Zinnia merasakan lemah di setiap sendi tubuhnya.

Zinnia butuh pegangan, ia butuh apa pun yang bisa menjadi penopang. Dan Zinnia bersyukur karena di belakangnya ada tembok yang mampu membantu tubuh lemahnya bersandar, meskipun setelahnya dingin terasa menusuk hingga ke tulang-tulang.

Suara riuh kebahagiaan malah terasa bagai lemparan sembilu untuknya, dan senyum kedua sosok di depan sana layak pedang yang berhasil menancap di dadanya.

Menyakitkan.

Zinnia ingin menjerit, meraungkan kesakitan yang dirinya terima, tapi ia tidak berhasil mengeluarkan suara, yang ada justru bayangan masa lalu di mana dirinya berbahagia dengan sosok itu. Sosok yang saat ini tengah berdiri menghadap seorang wanita cantik dalam balutan gaun hitam yang berhasil menampilkan keanggunan dan kecantikannya. Terlihat serasi berdiri mendampingi si laki-laki.

Namun ada jerit tak terima yang hatinya suarakan. Ada penolakan yang hatinya berikan. Bahkan tanpa sadar kepalanya menggeleng. Sial saja tenggorokannya tak bisa meloloskan nada. Teriakannya tercekat, membuat tidak ada siapa pun yang mendengar teriakan marahnya.

Dan bertepatan dengan sosok itu yang menoleh, Zinnia berlari, keluar dari tempat acara saking tak lagi sanggup menerima kesakitan dari apa yang disaksikannya. Zinnia tidak sanggup menyaksikan langsung kehancurannya. Maka dari itu ia memilih pergi. Lagi pula untuk apa berlama-lama di sina? Tugasnya sudah selesai beberapa jam yang lalu. Dan rasanya Zinnia menyesal telah menerima undangan si pemilik acara untuk tetap tinggal. Seharusnya sejak tadi ia pulang. Setidaknya ia tidak akan menyaksikan adegan menyakitkan itu secara langsung. Karena nyatanya Zinnia akan memilih tidak tahu perihal ini dari pada harus merasa sakit seperti ini.

Atau justru Zinnia harus bersyukur karena dengan begini artinya ia tak perlu lagi bertanya-tanya mengenai sosoknya yang masih menjadi harap terbesar. Dengan begini Zinnia sadar bahwa dirinya memang telah dilupakan. Tidak lagi diinginkan. Karena dia bukan lagi miliknya seperti sebelas tahun lalu.

Biantara Casugraha.

Mengapa pria itu begitu tega?

Mungkinkah Zinnia yang terlalu bodoh? Atau memang dia yang berengsek?

“Tuhan, kenapa harus sesakit ini?”

Memukul berkali-kali dadanya yang terasa begitu sesak, Zinnia berharap yang dilakukannya itu bisa mengurangi rasa sakitnya. Sayangnya Zinnia malah justru semakin kesakitan dengan isak tangis yang tak mampu lagi dirinya tahan.

***

Pada akhirnya harapan itu di hempaskan. Menyisakan sakit yang tidak berkesudahan.

Keep strong, Zinnia.

See you next part!!!

Love DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang