Rasa Bersalah

258 20 0
                                    

Erna terus menarik baju Hendery, dengan air mata yang terus membanjiri sekujur mukanya yang kotor. Segala kesialan yang selalu terjadi padanya, semenjak hari pertama di dunia bangsawan iblis, bukanlah hal yang bisa membuat Erna gentar begitu saja. Tapi kepergian Karin, sedikit banyak berpengaruh luar biasa terhadap hatinya yang berubah rapuh.

"Kumohon … aku sudah tak butuh calon suami lagi. Aku … bunuh aku sekarang," Erna terbata-bata, meracau tak jelas.

Dia menunduk, menumpukan kepalanya pada dada Hendery, sambil terus terisak enggan berhenti. Sedangkan Hendery, hanya diam tak menanggapi dan membiarkan Erna larut dalam depresinya.

"Aku menyesal … " isak Erna. "Tak seharusnya aku iri dengan kehidupan Karin,"

Erna terus memendamkan kepalanya di balik dada Hendery. "Jika saja … jika aku tidak sejahat itu padanya, pasti dia masih ada di sini menemaniku,"

Hendery mendadak menjauhkan tubuh Erna darinya, memandang tajam gadis itu dengan kedua mata coklatnya.

"Kamu mau bertemu Karin?" tanyanya.

Erna berkedip, tapi tak bisa segera menjawab.

"Ayo kuantar menemuinya," ajak Hendery, lantang dan penuh percaya diri.

"Tapi dia pasti tak mau menemuiku,"

"Jawab aku!" sambar Hendery. "Kamu mau bertemu dia atau tidak?"

Hendery mengguncang kedua bahu Erna, seakan berusaha membangunkan kesadaran gadis itu. Mendapatkan desakan yang cukup keras, membuat Erna makin ragu dan takut.

"A-apakah, aku boleh menemuinya?"

Hendery tak mau menjawab lagi, karena kini dia segera menggenggam erat tangan Erna, dan menghilang menjadi kabut malam. Dan ketika Erna membuka matanya, mereka berdua sudah berada di sebuah rumah bergaya minimalis yang luas. Erna bisa menduga jika rumah yang ada di depan mereka sekarang adalah rumah kediaman Katon dan Karin.

"Mereka berdua memasang segel agar kita tak bisa masuk," ujar Hendery, memandang nanar rumah itu.

Erna tersenyum kecut. "Katon pasti membenci kita,"

Hendery justru menyeringai lebar, menatap Erna. "Apa kamu pikir, aku kehilangan ambisiku untuk menghancurkan Katon?"

Erna angkat bahu. "Dia sudah mengalahkanmu. Menyerah saja,"

"Tidak. Aku akan mencari cara untuk menghancurkannya lagi," tolak Hendery, sama sekali tak luluh.

Namun karena tak ingin berdebat, sekaligus lelah dengan kesedihannya sendiri, maka Erna pun memilih diam. Mereka berdua sama-sama memandang nanar rumah luas Katon, tak bergerak karena Katon telah membuat pembatas yang khusus tak bisa dilewati oleh Hendery dan Erna.

"Apakah dia baik-baik saja? Bagaimana kandungannya?" Erna mulai bertanya pada dirinya sendiri, sambil melamun menatap rumah kediaman Karin.

"Katon benar-benar menutup aksesku. Aku tak bisa menerawang rumah mereka," sahut Hendery.

Erna menghembuskan nafas putus asa, dan mulai memutar tubuh hendak pergi. Namun, pemandangan di balik punggungnya sungguh diluar dugaan. Karin sedang berdiri dengan mata melebar, ditemani James di sebelahnya. Mata mereka berdua bertemu, Karin dan Erna, sama-sama tak menduga jika pertemuan masih menjadi takdir yang datang tanpa permisi. Pertemuan tak disengaja, yang tak disiapkan oleh hati Karin dan Erna.

James pun juga begitu. Setelah hampir dua bulan lebih tak pernah melihat Erna dan Hendery, kini dia tiba-tiba dihadapkan dengan dua orang yang paling dibenci Katon. Selama Katon pergi dalam pekerjaannya di Alfansa, dia selalu meminta James agar waspada pada Hendery dan Erna.

Mulut Erna bergerak tak aturan, hendak mengeluarkan suara namun terhalang akan rasa bersalahnya yang dalam. Tapi hal itu tak berlaku pada Hendery. Dia justru bergerak maju, dua langkah, sebelum James dengan isyarat mata menyuruhnya untuk berhenti.

"Bagaimana kabarmu, Rin?" seru Hendery sambil menyeringai.

Karin masih melotot lebar, enggan berkedip. "B-baik,"

Hendery mengangguk dan tersenyum. "Bayimu sehat?"

Karin buru-buru mengelus perutnya yang sedikit buncit, untuk kemudian saling pandang dengan James.

"Apa yang kau inginkan?" Giliran James yang menyela tak sabar.

Hendery kembali menyeringai. "Aku hanya mengantar calon pengantinku, yang ingin bertemu mantan sahabatnya,"

"P-pengantin?" Karin tak percaya dengan pendengarannya, hingga dia mengulang kembali perkataan Hendery.

Kemudian pandangan Karin beralih pada Erna yang mematung, dan menangkap tato kecil yang tampak sangat jelas di tulang selangka Erna. Sadar akan perhatian Karin, Erna buru-buru menutup tato itu semampunya.

"Apa yang kalian inginkan dariku?" Kali ini Karin bertanya sendiri.

Hendery menggeleng. "Erna hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja,"

Tatapan Karin dan Erna sekali lagi bertemu. Mata Erna mulai berair, namun tatapan Karin justru tegas. Seakan dia tak ingin mengulangi kesalahannya untuk kembali mempercayai Erna.

"Terima kasih," jawab Karin singkat dan dingin. "Sudah selesai, kan, urusan kalian denganku?"

Melihat sikap Karin yang berubah dingin, membuat hati Erna berdenyut sakit. Karin telah berubah. Seakan ada semacam tembok besar yang dia pasang tinggi-tinggi, agar tak bisa diraih oleh Erna.

"Silahkan pergi dari sini," usir James halus, dibarengi dengan Karin yang hendak masuk ke dalam rumah, tak mau menghiraukan Erna maupun Hendery.

Tatapan mata Erna terus mengikuti setiap langkah kaki Karin, seakan ingin mengungkapkan sesuatu.

"Rin, tunggu!" teriak Erna, tepat saat Karin membuka pintu.

Erna berlari kecil, sedikit mendekati Karin namun tetap tak melewati segel pembatas yang dibuat Katon.

"Maafkan aku, Rin,"

The Forbidden Forest [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang