Kesan Pertama

326 28 0
                                    

Erna terpaksa membuka mata, ketika sinar matahari menyelinap masuk menembus kelopak matanya. Ketika bangun, dia tersadar telah berbaring tanpa alas dengan pepohonan rindang sebagai atapnya. Dan saat dia memandangi tubuhnya sendiri, betapa dia makin kaget, karena hanya tertutupi selembar kemeja kebesaran yang sepertinya milik Hendery.

Tentu yang paling mengejutkan jantungnya, sosok Hendery berbaring di sebelah Erna. Sedang meliriknya dengan senyum menyeringai.

"Aaa!!" Erna memekik, bergegas duduk sambil berusaha menutupi tubuhnya.

"Bagaimana semalam? Kamu menikmatinya?" goda Hendery.

Erna tersipu. Tapi dia tidak ingin memberi Hendery kesenangan, dengan wajahnya yang gugup.

Hendery menjatuhkan kembali tubuh Erna ke atas tanah yang tertutupi tumpukan dedaunan kering.

"Mau kemana?" tanyanya.

"T-tentu saja pakai baju," jawab Erna gugup.

Dia masih sangat ingat dengan kejadian semalam. Namun dia terlalu malu untuk kembali membahasnya. Apalagi bersama Hendery.

"Tidak perlu," Hendery memeluk tubuh Erna.

Meskipun tubuhnya bagian atas tidak tertutup apapun, Hendery tampak baik-baik saja. Tidak merasa kedinginan. Dia justru sibuk mengendusi kepala Erna.

"Kamu ... " potongnya. "Berapa hari kamu tidak keramas?"

Erna buru-buru menjauh. Dengan bibir merengut, dia melengos tak mau memandang Hendery.

Tawa Hendery lepas melihat reaksi Erna yang merajuk selayaknya anak kecil. Membuatnya makin ingin memancing kemarahan Erna.

Dengan tangan besarnya, Hendery mengarahkan wajah Erna menghadap padanya. "Kamu marah?"

"Nggak!" rajuk Erna.

"Terus?"

"Mana bajuku?" seru Erna, masih merajuk.

Hendery santai menumpukan kedua lengan sebagai sandaran kepala. Sambil memandangi Erna dengan seringaiannya.

"Bagaimana kesan pertama menghabiskan malam dengan makhluk abadi?" Hendery kembali pada pertanyaan awal.

"Oh iya," Dia tiba-tiba menambahi. "Semalam pertama kalinya untukmu,"

"Diam!!"

Tawa Hendery menggelegar, memecah kesunyian hutan terlarang pagi ini.

Erna memukuli tubuh Hendery dengan segenap kekuatannya. Namun lelaki itu tetap terkekeh, karena baginya pukulan Erna terasa seperti sentuhan biasa.

Setelah berhasil menemukan pakaiannya, Erna buru-buru mengenakannya dan berjalan pergi tanpa pamit.

"Aku mau pulang duluan. Mau siap-siap ke sekolah," ujar Erna.

"Kenapa kamu masih datang ke sana? Sama saja kamu menyerahkan nyawamu pada Ame,"

Erna menggigit bibir. "Aku berjanji pada ibuku untuk menyelesaikan pendidikan, apapun yang terjadi,"

Hendery menautkan alis mendengar penjelasan diplomatis itu.

"Ibumu lupa, para pengantin di sini hanyalah alat memproduksi keturunan," selorohnya santai.

Erna memicingkan mata. Cukup tersinggung dengan ucapan Hendery yang selalu seenaknya.

"Aku bukan alat!" ketusnya.

"Oke, oke," Hendery kembali terkekeh. "Ayo kuantar ke sekolah,"

"Tidak perlu!" sambar Erna cepat.

Hendery mengerutkan kening. "Kenapa?"

"Aku ... aku tidak ingin menjadi pusat perhatian," Erna diam. "Untuk kali ini, kumohon, biarkan aku sendiri,"

Ingin rasanya membalas ucapan Erna. Namun, mungkin yang dia katakan benar adanya. Hendery terlalu mengkhawatirkan keselamatan Erna hingga dia tidak bisa berpikir jernih.

"Oke," Hendery setuju. "Jika kamu dalam bahaya, cukup pegang ini, ya,"

Dengan jari telunjuk, Hendery menyentuh tato kecil di tulang selangka Erna. Namun bibirnya mendekat dan mengecup leher Erna hingga Erna berseru tak siap.

Hendery menyeringai.

"Aku menantikan malam datang," godanya.

Wajah Erna merah sempurna, buru-buru berpaling agar tak bisa dilihat Hendery. Dia malu luar biasa. Meskipun kini mereka telah menikah, namun membicarakan hal nakal bersama Hendery masih terkesan aneh untuknya.

***

"Er!" Aldo berlari cepat menghampiri Erna, saat melihat perempuan itu memasuki gerbang sekolah.

Wajahnya panik. "Kamu baik-baik saja, kan?"

"Aku baik-baik saja, Do. Kenapa?"

"Aku takut Hendery mencelakaimu kemarin," ungkap Aldo, segera lega saat melihat Erna baik-baik saja.

Wajah Erna bersemu merah ketika mengingat kejadian semalam.

"Aku baik-baik saja, Do. Kamu jangan khawatir!" Erna mengacungkan jempolnya dengan senyum lebar.

Aldo buru-buru memicingkan mata melihat respon Erna yang berubah dratis daripada kemarin. Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Erna.

"Apa kalian sudah melakukannya?" bisik Aldo.

Erna seketika mundur. Wajahnya kembali merah, tak bisa ditutupi. Tanpa perlu dijawab pun, Aldo sudah tahu maksud dari ekspresi Erna.

Ada sedikit kekecewaan di hati Aldo, tapi toh dia juga tidak bisa berbuat banyak. Hendery dan Erna telah menjadi suami istri, jadi hal seperti itu sudah pasti akan terjadi.

"Masih berani, ya, datang ke sini?!" teriak Ame dari kejauhan.

Tampak dia memandang geram ke arah Erna, dengan kedua lengan dilipat. Wajahnya menyiratkan amarah.

Dengan cepat, gadis itu melesat dan tiba-tiba sudah mendorong mundur tubuh Erna. Tubuh itu terbanting membentur dinding di belakang.

"Kamu benar-benar pemberani, ya? Atau kamu datang ke sini sengaja untuk menantangku?" geram Ame.

"Aku berhak datang ke sini," tandas Erna tak takut.

"Bahkan mantan sahabatmu sendiri, memilih untuk berhenti sekolah demi menjaga keselamatannya. Kamu ... diluar dugaan,"

"Aku datang ke sekolah untuk belajar. Dan tidak ada yang bisa menghalangiku,"

"Hahaha!" tawa Ame pecah. "Naif sekali, brengsek,"

Dia mencekik leher Erna dengan satu pergelangan tangannya. Sementara pergelangan tangan yang lain mencegah agar Aldo tidak bisa mengganggu.

"Ame, lepaskan Erna!" Sekuat tenaga Aldo berusaha membobol pertahanan Ame, namun sia-sia.

"Jika aku tidak bisa menghancurkan Hendery, setidaknya aku bisa menghancurkanmu," 

Wajah Erna membiru. Sekuat tenaga dia berusaha menarik oksigen supaya masuk ke dalam tubuh, namun cengkeraman Ame kelewat kuat.

Erna tidak tahu, jika akhir hidupnya akan sesial ini. Mati di tangan seorang bangsawan iblis bukanlah mati yang dia inginkan.

"Ame ... lepaskan," Suara berat dan parau itu tiba-tiba muncul.

Sangat dekat di telinga Erna, hingga dia mengira jika itu adalah suara hatinya.

Pertahanan Ame melemah. Pun Ame sendiri juga melepaskan cekikannya, dan mengalihkan pandangan pada sumber suara.

Seorang pria tua yang auranya mampu menghentikan laju waktu. Seorang pria tua bermata coklat dan pandangan dingin.

"Ayah ... " panggil Ame tak percaya.

Pria tua itu maju. Dia berdiri di depan tubuh Erna yang tumbang. Meski tubuhnya lemas, namun kesadaran Erna masih seratus persen sempurna.

"Senang bertemu dengan menantuku,"

The Forbidden Forest [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang