Pedang Hendery

272 27 0
                                    

Erna tidak mengerti, kenapa Hendery harus bersikap sedramatis itu saat mendengar kabar Karin melahirkan. Hatinya sedikit sakit, ketika Hendery mengucapkan nama Karin dengan ekspresi sendu.

“Kenapa? Kamu sedih?” tanya Erna berusaha mencari tahu.

Hendery tidak menanggapi. Dia hanya menyandarkan punggungnya di sofa besar, dengan tatapan pias.

Dengan bibir yang terlipat, Erna berjalan perlahan untuk meletakkan tasnya. Pandangannya tak mau teralih dari Hendery, yang terus diam.

“Kalau kamu sedih, kenapa dulu tidak kamu hancurkan saja pernikahan mereka?” seloroh Erna, sedikit kesal. Yang bahkan dia sendiri tak punya kendali atas perkataan yang meluncur lancar dari mulutnya.

Dan Hendery tetap diam, meskipun hawa dingin di seluruh isi rumah pohon tak juga reda. Lelaki itu sama sekali tak bergerak–bahkan seakan tidak bernafas.

Erna merengut. Dia tidak punya hak untuk marah, karena tentu dia tidak ingin Hendery tahu rasa cemburu di hatinya. Maka dia pun memilih duduk diam di dekat jendela, tempat dimana pohon Joan dulunya berada.

“Kalau kamu khawatir padanya, aku bisa mengantarmu. Itupun jika kamu butuh kutemani,” ujar Erna, masih merengut.

“Ibuku,” ucap Hendery singkat.

Erna mendongakkan kepala. “Apa?”

“Ibuku,” Sekali lagi Hendery berucap, dengan suara lirih. “Aku membenci bayi yang terlahir ke dunia, karena ibuku mati setelah melahirkanku,”

Bukan hal baru bagi Erna saat mendengar cerita itu keluar dari mulut Hendery. Karena sebelumnya Hemish sudah menjelaskan semuanya, meski tentu dari sudut pandangnya sendiri. Namun Erna belum mendengar dari sudut pandang Hendery, yang membuatnya perlahan mendekati lelaki itu.

“Bukan salahmu, Hen. Ini semua bukan salahmu. Seorang ibu memang lebih memilih mati daripada anaknya yang mati,” tanggap Erna, berdiri dengan wajah sendu di depan Hendery.

Lelaki itu dengan cepat mendongakkan kepala, dengan tatapan tajam. “Kamu tahu sesuatu, kan?” tebaknya curiga.

Erna spontan mundur dan menggeleng cepat. “M-maksudmu?”

Hendery ikut berdiri. Dia mendorong kepala Erna agar makin dekat dengannya.

“Jawab aku, Erna. Apa kamu tahu sesuatu?” tanyanya sekali lagi, lebih mengintimidasi.

Erna menelan ludah, gugup. Meskipun Hendery sudah tidak bisa membaca pikirannya, namun insting lelaki itu tetaplah kuat. Seakan Erna tidak bisa menyembunyikan secuil kebohongan darinya.

“M-maafkan aku,” jawab Erna, gugup luar biasa hingga bibirnya gemetar. Hendery menembus jantungnya dengan tatapan mata yang tajam. “T-tadi pagi, aku bertemu dengan ayahmu, Hemish Damon,”

Hendery seketika melepaskan cengkeramannya dari kepala Erna. Matanya melebar.

“Hemish? Kenapa si tua itu … “

“Aku tahu kamu membencinya. Tapi dia tetap ayahmu, Hen!” sela Erna sedikit berteriak. “Dia tetap orang tuamu. Dia ingin kamu pulang,”

“Apa yang sudah dia katakan padamu?”

Erna menggigit bibir. Ingin mengungkapkan segalanya, namun sadar jika Hendery akan semakin marah.

“Jawab!” bentak Hendery. “Apa saja yang sudah dia bilang padamu?”

Erna gagap. Tangannya gemetaran. Hendery selalu menakutkan saat marah.

“D-dia … ingin kamu pulang, untuk meneruskan bisnis keluarga Damon,” aku Erna, sekuat tenaga bicara lancar.

“Argh!” pekik Erna, saat menyadari hawa dingin di sekitarnya makin lama makin menusuk kulitnya.

Ini bukan hal baru baginya–melihat Hendery marah. Namun tidak pernah sampai semarah ini. Bahkan saat dia mencoba untuk menatap langsung ke dalam mata coklat Hendery, matanya menangkap pantulan cahaya matahari dengan suatu benda yang ada di balik punggung Hendery.

Lamat-lamat saat dia mencoba untuk bergerak memeriksa pantulan itu, Erna bisa melihat pantulan pedang yang menyeruak samar dari dalam punggung Hendery.

“H-Hendery … punggungmu … “ Erna terbata-bata, takjub luar biasa.

Jleb! Entah lewat mana, Lucas tiba-tiba sudah berada di belakang Hendery dan mendorong masuk pedang itu kembali ke dalam punggung Hendery.

“Hampir saja,” tukasnya berkeringat dingin. Lalu pandangannya beralih pada Erna, dengan senyum yang tampak lega sekaligus bahagia.

“Akhirnya, Tuan Hendery berhasil mengeluarkan pedangnya sendiri,” ucapnya sambil memandang Erna penuh rasa syukur.

The Forbidden Forest [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang