Terancam

261 24 0
                                    

Erna sedikit memundurkan sedikit berat tubuhnya, mengangkat seluruh tangan dari jangkauan tubuh Hendery yang sebelumnya telah dia hujani dengan makian. Sedangkan Hendery justru makin maju, menegaskan dengan mata coklatnya.

"Ayo tinggal bersamaku, di rumah pohon," ajak Hendery sekali lagi.

Erna membuka lebar kedua bola matanya, diam dan enggan berkedip. Sekali lagi, Hendery berhasil membuatnya membatu. Segala hal yang berhubungan dengan Hendery, sejak awal mereka bertemu, tak pernah berhenti mengejutkan Erna. Namun, kejutan kesekian kalinya ini, sungguh diluar nalar bagi Erna. Bagaimana bisa, Hendery mengajaknya tinggal bersama?

Hendery mengangkat alisnya. "Baiklah, kuanggap kamu menolak," Dia sudah ambil sikap akan menghilang, tapi Erna buru-buru menarik tangannya.

"Tunggu!" seru Erna. "A-apa maksudmu dengan tinggal bersama?"

Hendery kini mengerutkan kening, tampak sedikit kesal. "Apa kamu sebodoh itu? Apa perlu kutegaskan lagi?"

Erna menggeleng. "T-tapi, tinggal bersama … " Dia berhenti. "Kita kan belum benar-benar menikah,"

Mendengar alasan dari keraguan Erna, otomatis membuat Hendery menyeringai. Dia mendorong kepala Erna agar makin dekat dengan batang hidungnya.

"Apakah itu penting sekarang?" tanya Hendery. "Kecuali kamu ingin mati dihabisi Ame,"

Hendery dan Erna saling tatap, dalam jarak yang kelewat dekat. Hidung mereka berdua seakan hendak menempel, dan Erna tak bisa menarik mundur kepalanya. Semua berkat dorongan dari tangan besar Hendery.

Namun keraguan tetap tak gentar dari diri Erna. Meskipun aura menakutkan Hendery berhasil membuatnya ciut, hatinya menolak untuk buru-buru menyetujui ajakan Hendery. Dan hal itu makin membuat Hendery bersemangat, karena dia sama sekali tak bisa menebak tindakan Erna selanjutnya.

"Aku tak bisa menunggu lama," Hendery berusaha makin mengintimidasi Erna.

Dengan sekujur tubuh yang bau amis dan penuh tepung, Erna sama sekali tak peduli. Dia hanya mendengus kesal, dan melenggang masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Tapi belum sempat Erna menutup pintu kamar mandi, Hendery menahan pintu itu.

"Kenapa?" Erna membelalak tak percaya.

"Kamu benar-benar tak mau menerima tawaranku?" Hendery meninggikan suaranya.

"Aku tak bisa berpikir jernih sekarang!" sanggah Erna. Kemudian dia membuka lebar pintu itu, menunjuk dirinya sendiri. "Lihat aku! Kamu mau membuat kesepakatan dengan adonan roti sepertiku?"

Hendery kini melunak. Dia pandangi Erna dari atas sampai bawah, untuk sedetik kemudian menyemburkan tawa. Dia buru-buru menutup kamar mandi untuk memberi ruang pada Erna supaya bisa membersihkan dirinya.

***

Erna dan Hendery kini duduk berhadapan, di atas ranjang kecil milik Erna. Wajah dan tubuh Erna telah bersih dan wangi sekarang, sangat jauh berbeda dengan penampilannya setengah jam yang lalu. Dia telah berganti pakaian, mencuci rambut dan tubuhnya dari segala residu tepung dan telur pecah.

Mereka berdua memutuskan untuk berbicara serius, meskipun seperti biasa Hendery hanya tersenyum menyeringai dan tampak tak serius.

"Bagaimana jika aku dalam bahaya? Rumah pohon berada di dalam hutan terlarang, kan?" Erna mengajukan pertanyaan pertamanya.

"Mereka hanya tunduk pada keluarga Damon, terlebih padaku," jawab Hendery enteng.

"Bagaimana jika Ame datang? Dia juga keluarga Damon," Pertanyaan kedua dilontarkan lebih cepat, seakan menimpali jawaban Hendery.

Hendery menghembuskan nafas, mulai merebahkan tubuhnya. Dia memandang nanar ke arah langit yang sangat biru.

"Hen, ayo yang serius, dong!" Erna berusaha menarik tangan Hendery supaya lelaki itu mau kembali duduk.

Tapi yang terjadi justru dia makin jatuh terjerembab, masuk ke dalam pelukan Hendery. Lelaki itu makin melingkarkan tangannya erat, mendekap seluruh tubuh Erna yang kelimpungan.

"L-lepaskan!" Erna memberontak.

"Kamu tinggal jawab, mau tinggal bersamaku atau tidak," ucap Hendery, tak mengindahkan teriakan Erna. "Tapi kenapa semuanya kamu buat rumit?"

Kemudian Hendery melepaskan Erna, dan dia sendiri bangkit berdiri. "Kutunggu jawabanmu hingga nanti malam. Aku tunggu di depan hutan terlarang. Jika tidak datang, kuanggap kesepakatan ini batal selamanya," tegas Hendery, seperti biasa menyeringai sebelum hilang menjadi debu.

Erna menggigit bibirnya, dilema luar biasa. Di satu sisi, dia masih ingin tinggal di asrama, berada dalam kamar mungilnya yang nyaman. Tapi di sisi lainnya, dia juga masih sayang dengan nyawanya yang berharga. Menghadapi komplotan Tanya ditambah Ame sendirian itu tentu tak akan bisa memberinya peluang untuk menang. Erna sadar diri.

Hingga tak terasa waktu telah lama berlalu, dan kini sudah waktunya makan malam. Erna tak tahu apa yang harus dia pilih, tapi hal yang pasti, dia harus makan. Perutnya seharian tak terisi, dan kini meronta kelaparan. Dia memutuskan keluar kamar, sambil sedikit berhati-hati, tak lupa mengenakan jaket dan topi berharap tak dikenali.

Erna berjalan di sepanjang koridor kamar, harap-harap cemas, dengan dada yang berdegup amat kencang. Dia berharap tak dikenali siapapun. Doanya kali ini, agar dia bisa selamat datang ke aula makan dan kembali ke kamar tanpa hambatan.

Benar saja. Semua tampak lengang, masing-masing sibuk dengan makanannya dan tak menghiraukan Erna yang berpenampilan aneh. Memakai topi di malam hari bukanlah pemandangan umum, tapi akibat lapar, semua siswi tak peduli. Erna buru-buru mengambil jatah makan malamnya, dan menuju meja paling belakang agar tak menarik perhatian.

"Erna?" Seseorang tiba-tiba memanggil keras nama Erna, nyaris membuat jantung Erna melompat dari rusuknya.

Erna tak mau menoleh, atau sekedar menatap balik orang yang memanggilnya. Tentu, karena dia sudah hafal suara itu. Ya, suara itu adalah suara Tanya, yang tampak sengaja menaikkan volume agar seluruh siswi dengar.

Tanya berjalan angkuh, menghadang jalan Erna dan secara spontan melempar nampan makanan Erna ke depan wajah Erna.

Prang! Bunyi nampan yang jatuh, bersamaan dengan wajah yang penuh makanan dan rasa malu, kini membaur jadi satu, mengakibatkan jantung Erna berdegup sahut-menyahut tak aturan. Begitu pula tawa Tanya dan seisi aula makan, memenuhi atmosfer malam itu.

"Aku kan sudah bilang, hidupmu tidak akan pernah tenang," ejek Tanya. "Siapa bilang kamu boleh makan malam bareng kita?"

Mereka kembali tertawa. Tak ada satu pun yang membela, tak ada satu pun yang berani melawan kebengisan dari Tanya yang iri hati. Yang ada, hanyalah Erna yang patah-patah mulai membersihkan wajahnya. Tanya tiba-tiba menjambak satu sisi rambut Erna, dengan mata melotot murka.

"Kamu tak diizinkan membaur di asrama ini bersama kita," ancamnya. "Pergi dari sini, dasar wanita buangan,"

Semua kembali menggelegar, penuh tawa kesetanan. Tubuh Erna gemetar, malu luar biasa hingga wajahnya terasa panas. Maka tak mau berpikir lebih panjang, dia spontan berlari, meninggalkan aula makan, sekaligus meninggalkan asrama di malam itu. Hatinya teriris perih dan harga dirinya sudah sangat tercoreng, membuatnya gelap mata. Dia terus berlari, menyisiri gerbang asrama dan mulai masuk ke dalam gerbang sekolah. Dan ketika kakinya telah mengantarkan ke depan pintu masuk hutan terlarang, dia berhenti.

Erna berusaha mengatur nafas, menghapus air mata dan membersihkan wajah dari sisa makanan. Lamat-lamat sosok Hendery keluar dari gelapnya hutan, menghampiri Erna dengan wajahnya yang menyeringai.

"Kamu datang untuk tinggal bersamaku?"

"Bunuh aku!" sahut Erna cepat. Nafasnya masih memburu tak aturan.

Kemudian dia menarik baju Hendery, penuh putus asa. "Bunuh aku sekarang! Aku tak mau menjadi calon pengantinmu!"

The Forbidden Forest [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang