Dihantui Ketakutan

258 29 1
                                    

Erna enggan berdiri. Dia pasrah saat tubuhnya jatuh terjerembab setelah dorongan keras dari Ame. Seakan dia ingin waktu segera melompat maju ke depan, dan dia kini sudah berada di dalam kamarnya. Tapi sayang, ini semua kenyataan, bukanlah mimpi, yang saat dia membuka mata segalanya telah berubah.

Ame masih berdiri di depan Erna, melipat kedua tangannya. Sekali lagi dia tertawa keras-keras, menggelegar dan membuat semuanya tak berani hanya untuk sekedar bergerak.

"Aku benar-benar menikmati pemandangan ini," seru Ame, mengedarkan pandangan pada Tanya dan gengnya.

Sekarang Erna tahu, kenapa dulu Karin bisa selamat berada di sini, meskipun dia menjadi calon pengantin Katon Bagaskara. Semua siswi hanya bisa memicingkan matanya pada Karin, tapi butuh hampir setahun untuk bisa benar-benar menyerang.

Erna tahu, ya sekarang dia tahu penyebabnya. Dia. Dialah, yang membuat Karin selalu selamat dari serangan gila para siswi itu. Dan kini, Erna seorang diri, tanpa siapapun yang bisa membelanya di dalam asrama.

Tak terasa air mata mengalir sedikit dari pelupuk matanya, dengan hati penuh penyesalan. Menyesal, kenapa dia harus menyulut api pada Karin, satu-satunya teman yang dia miliki. Dan Karin kini memilih benar-benar pergi jauh dari hidupnya.

Erna sadar, dia tak bisa terus begini. Sebelum Hendery menjadikannya calon pengantin, dulu dia adalah gadis pejuang yang akan membela harga dirinya meski harus mati. Maka dia pun segera bangkit, membersihkan wajahnya yang kotor penuh tepung.

Dia menatap Ame dengan tatapan tajam yang melawan, siap untuk bertarung andai Ame mendadak maju. Bahkan kakinya secara tak sadar, membentuk sedikit kuda-kuda.

Ame membelalak, dengan tawa lebarnya, saat melihat kebangkitan Erna. Dia sekali lagi bertepuk tangan, seperti penonton pertunjukkan yang girang saat sang tokoh bangkit dari kekalahan.

"Ini yang kucari, lawan yang sepadan untukku," Ame maju, sekali lagi mencengkeram kerah baju Erna.

Plak! Tanpa diduga, Erna mendorong tubuh Ame mundur dan menampar pipi kiri Ame, sekeras yang dia bisa. Bahkan dia menorehkan senyum puas setelah melakukannya.

"Ini untuk Hendery. Karena hanya dia yang berhak atas tahta keluarganya," ucap Erna, sama sekali mengarang dan tak tahu kenapa kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya.

Ame memegangi pipinya yang panas, menganga tak percaya. Matanya berubah penuh kilatan kemarahan, dan dia mendorong, hampir saja meninju wajah Erna andai saja Erna tak menghindar. Dan tinju itu pun melesat mengenai pilar yang berada agak jauh di belakang mereka, retak seketika.

Tak seperti Stefani yang bertarung jarak dekat dengan jari-jari jarumnya, Ame memiliki kemampuan yang lebih barbar. Selain memiliki hawa pemikat yang kuat, dia juga senang meninju lawannya hingga remuk tak bersisa.

Dan fakta ini tentu baru saja diketahui Erna. Dia menelan ludah, merinding luar biasa saat memandang retakan pilar di belakangnya.

Ame melirik Erna dengan ujung matanya yang murka, dan berjalan secepat kilat mendekati Erna kembali. Kali ini dia mencengkeram pipi Erna, hingga rasanya tulang pipi itu akan retak.

Erna berusaha mati-matian melepaskan cengkeraman itu, namun sia-sia. Seakan tangan Ame dilekatkan dengan semen, sehingga susah untuk bergeser dari pipi Erna.

"Aku akan melepaskanmu untuk kali ini. Lain kali, tak akan kubiarkan kamu hidup," ancam Ame, melempar tubuh Erna begitu saja.

Erna merintih kesakitan, memegangi tulang pipinya yang membiru. Tak mau lebih terluka, dia pun segera lari, melewati koridor penghubung antara aula depan dan deretan kamar-kamar, menuju kamarnya sendiri.

Dia bisa mendengar deraian tawa dari para siswi, bahkan sesekali ada yang berteriak mengoloknya sebagai pengecut.

Bam!

Erna menutup pintu kamarnya, tak lupa dikunci agar tak ada penyusup. Namun ketika dia memutar badan, Hendery sudah berbaring di atas ranjang kecilnya, santai saja memandangi langit sore yang kekuningan.

Erna muntab luar biasa. Dia lempar tasnya ke arah Hendery, sebagai perwakilan atas rasa cemas dan ketakutannya saat menghadapi Ame.

"Pergi dari sini! Jangan pernah menemuiku lagi!" amuk Erna. Air mata kini sudah menggenangi matanya.

Dia membuka lebar-lebar kerah bajunya, menunjukkan tato kecil itu kepada sang pemilik, Hendery.

"Ambil ini! Silahkan campakkan aku. Lebih baik aku mati daripada setiap hari harus dihantui ketakutan!" raung Erna, tak bisa mengontrol emosi yang bercampur ketakutan.

Hendery tak merespon, selain hanya melirik Erna lewat ujung mata coklatnya. Dia juga tidak menyeringai seperti yang biasa dia lakukan.

Erna terus memekik, meraung dan melempar apa saja yang dekat dengan jangkauannya, ke arah Hendery.

Kondisinya menyedihkan. Tubuh dipenuhi tepung dan lemparan telur yang berbau amis, kedua pipinya lebam.

Kemudian Hendery beranjak, bangkit berdiri dan berhadapan dengan Erna yang terus saja menangis.

"Ayo tinggal bersamaku," ucap Hendery singkat. "Ayo tinggal bersamaku di rumah pohon,"

The Forbidden Forest [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang