Malu dan Terluka

356 26 0
                                    

Erna terpaku, setengah menyunggingkan senyumnya, nampak tak antusias dengan lelaki yang ada di depannya saat ini. Shaan Damon, lelaki yang mengaku sebagai adik Hendery, kini tengah menghadang jalan Erna untuk masuk ke dalam kamarnya.

"Apa yang membuat Hendery tertarik padamu?" tanya Shaan, masih enggan untuk menggeser tubuhnya agar Erna bisa membuka pintu.

"Karena aku sebentar lagi mati. Karena tak punya calon suami," jawab Erna sekenanya, berharap Shaan bisa segera pergi.

Tapi sorot mata Shaan tampak makin tertarik. "Jadi kamu, gadis buangan yang dibicarakan banyak orang?"

"Memangnya tak ada yang dicampakkan sepertiku?"

Shaan menggeleng tanpa ragu. "Kebanyakan pasti sudah mendapatkan calon suami pengganti,"

Erna tersenyum kecut. "Bisa minggir, nggak? Maaf, aku harus masuk,"

Dia menunjukkan kunci kamarnya, pertanda tak suka. Shaan tertawa kecil, sedikit menyeringai, kemudian memberi kesempatan pada Erna untuk membuka pintu kamarnya.

Dan di dalam kamar itu, Erna mendapat satu kejutan lagi. Hendery telah berada di sana, merebahkan tubuhnya sambil melirik tajam ke arah Erna dan Shaan yang berdiri mematung di depan pintu.

"Kenapa dia di sini?" ketus Hendery.

Erna melirik Shaan yang berdiri di sampingnya. Lelaki itu justru makin maju, hendak masuk, namun Erna buru-buru menghadang jalan Shaan dengan kedua tangan.

"Maaf, aku sedang tidak menerima tamu," cegahnya.

Hendery nampak bangkit dan hendak mendekati Shaan, tapi reflek Erna buru-buru membanting pintu, tak peduli hidung Shaan masih berada dekat di ambang pintu kamarnya.

Bunyi pintu yang ditutup berdebam keras, bahkan membuat Hendery sedikit terkejut.

"Aku tak menyukainya," komentar Erna, masih menyandarkan tubuhnya di pintu.

"Kenapa?"

Erna menggeleng. "Dia sama menyebalkan sepertimu,"

Hendery spontan tertawa keras, tak menyangka akan mendengar jawaban itu.

"Kamu tak menyukainya hanya karena itu?"

Erna melotot, kemudian menarik tangan Hendery, mengajaknya duduk serius di tepi ranjang. Namun, seperti yang selalu terjadi, Hendery buru-buru mendorong tubuh Erna ke atas kasur, saling berhadapan satu sama lain.

"Kamu sudah tidak sabar, ya?" godanya.

Erna mendorong tubuh Hendery sekerasnya, supaya mereka berdua bisa kembali duduk.

"Kita harus bicara serius," tegasnya. "Aku tak mau ada penyusup lagi seperti tadi,"

Hendery mengalah. Masih dengan seringaiannya, dia duduk patuh di samping Erna.

"Siapa kamu sebenarnya?" Pertanyaan pertama dari Erna, membuat Hendery menautkan kedua alisnya.

"Hendery Damon,"

Erna buru-buru menggeleng. "Maksudku, siapa kamu, berapa saudaramu, dan semuanya,"

"Aku tinggal sendirian,"

"Lalu dia siapa? Dia tak mungkin berbohong, karena wajah kalian kelewat mirip!" sanggah Erna.

Hendery tampak tak nyaman dengan cecaran Erna, namun yang bisa dia tunjukkan hanyalah senyum menyeringai. Dia memilih bangkit berdiri, sebagai tanda bahwa dia tak menyukai pembicaraannya bersama Erna.

"Apakah memiliki tatoku, bisa membuatmu menanyakan semua hal konyol ini?" Ada sedikit penekanan pada nada bicara Hendery.

Erna mengerjapkan matanya beberapa kali. Meskipun Hendery selalu menyeramkan, tapi baru kali ini Erna merasakan hawa tak senang yang seakan dia luapkan lewat setiap celah tubuhnya.

Kemudian Hendery mencondongkan tubuhnya, dekat dengan wajah Erna.

"Ingat, aku hanya menunda kematianmu. Bukan berarti kamu masuk dalam bagian hidupku,"

Hawa dingin kembali dikeluarkan Hendery, membuat Erna mau tak mau diam membeku, diam dan mengalah daripada dia harus dicampakkan sekali lagi.

Setelah puas menebarkan ancaman pada Erna, Hendery bergegas keluar dari kamar kecil itu, tanpa banyak bicara atau bahkan tak menutup kembali pintunya. Meninggalkan Erna yang masih diam, duduk membisu di tepi ranjang, berusaha mencerna kembali segalanya yang tiba-tiba terjadi dengan cepat.

Benar. Apa yang dikatakan Hendery memang ada benarnya. Harusnya dia cukup bersyukur, karena Hendery mau menorehkan tatonya yang berharga, demi seorang gadis buangan seperti Erna. Harusnya Erna cukup tahu diri, dan tak mengulas lebih banyak tentang kehidupan Hendery. Bahkan jika dia harus menerima ancaman dari luar, dia harus bertahan sendirian.

***

"Erna!!" Dari kejauhan Tanya berlari, mendekati Erna yang sedang mengambil makan malamnya.

Prang!!

Tanya membanting nampan berisi makanan yang sedang Erna pegang, kemudian tanpa basa-basi menjambak rambut Erna secara brutal. Para siswi lainnya hanya melihat keramaian itu tanpa berniat melerai.

"Kamu sengaja, kan, meminta Hendery meletakkan tato disitu biar bisa dilihat semua orang? Kamu mau pamer, hah?!" bentak Tanya, masih terus menjambak rambut Erna.

Erna berusaha keras melepaskan jambakan itu, dengan cara ikut menarik rambut Tanya. Jadi mau tak mau, Tanya melepaskan Erna.

"Kamu tahu, kan, aku pasti akan membunuhmu jika sampai kamu menikah dengan Hendery?" pekik Tanya dengan mata melotot hampir keluar.

"Bukan urusanmu!" balas Erna. "Kamu tak jera, ya, teman-temanmu banyak yang mati karena menyerang Karin malam itu?"

Tanya makin muntab. "Oh, jadi maksudmu, Hendery pasti akan menghabisi kami karena telah mengganggumu?"

Sekali lagi dia menjambak rambut Erna. Tapi kali ini, dua temannya menahan kedua tangan Erna, supaya Erna tak bisa melawan.

"Selama kamu masih berada di asrama, tak ada yang bisa menjamin keselamatanmu," ancam Tanya, sedikit mengulaskan senyum licik.

Para gadis itu mendorong Erna, menyuruhnya pergi dari kantin dan tak mengizinkan Erna mendapatkan makan malamnya malam ini. Mau tak mau, karena tak memiliki seorang pun untuk melindunginya, Erna memilih mengalah dan kembali ke kamarnya dengan perasaan malu dan terluka.

The Forbidden Forest [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang