Melindungimu

356 28 0
                                    

"Kurang ajar!!" pekik Shaan.

Suaranya menggelegar, menimbulkan gemuruh besar di atas langit kastil keluarga Damon. Raeya Vora, sang istri, berlari cemas sengaja untuk menghentikan amukan Shaan.

"Shaan, hentikan! Kamu bisa membuat ayahmu marah," larang Raeya.

Shaan melirik Raeya tajam. "Apa urusanmu? Ini masalah keluargaku!" tantang Shaan, justru balik kesal pada Raeya.

“Apa yang terjadi? Kenapa kamu marah?” tanya Raeya, berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

Shaan menghela nafas panjang. Dia berusaha menguasai dirinya sendiri. Lalu dia berjalan mendekati sang istri, memeluknya sangat erat.

“Hendery sudah menikah. Dia akan merebut tahtaku … “ bisik Shaan sambil memeluk Raeya.

“Hendery? Saudara tirimu itu? Yang hampir menikah dengan Serena?” cecar Raeya, mulai berusaha mengingat tentang Hendery.

Shaan menampakkan deretan giginya. “Harusnya dulu aku mempertahankan Serena. Ternyata kamu memang wanita bodoh,” selorohnya tak peduli.

Shaan mulai meninggalkan Raeya yang masih berdiri bingung. Shaan memanglah demikian. Tidak pernah bicara manis pada siapapun, bahkan pada istrinya sendiri. Dan Raeya sendiri juga tak mau ambil pusing, karena cinta butanya pada Shaan telah menumpulkan logika.

Wren Damon, ibu Shaan berlari menghampiri Shaan yang tengah berjalan menjauh dari Raeya. Wajahnya tampak panik. Dia bahkan mengguncang bahu Shaan, melotot cemas namun tak kunjung bersuara.

"Ada apa?" tanya Shaan risih. “Apa yang Ibu inginkan dariku?”

Wren, seorang wanita yang berusia 35 tahun saat Hemish Damon memutuskan untuk membuatnya abadi, setelah berhasil merebut tahta Tara sebagai istri Hemish. Hal yang paling membuat Hendery murka, dan memilih untuk meninggalkan keluarganya.

Karena sang ayah memilih untuk membiarkan ibunya meninggal, sementara Wren langsung dibuat abadi sehari setelah pernikahan mereka.

“Dimana Ame?” tanya Wren pada Shaan.

“Dia berkeliaran. Katanya sedang memburu istri Hendery,”

“Hendery sudah menikah! Kenapa kalian diam saja?” pekik Wren, tepat di depan wajah Shaan.

Shaan sedikit mundur, risih dengan celotehan ibunya.

“Ame yang akan mengurus semuanya. Dia menyuruhku untuk diam,”

“Tidak, Shaan!” bentak Wren. “Kamu juga harus cepat melakukan sesuatu, sebelum anak itu datang merebut tahtamu,”

“Ibu tenang saja. Hendery tidak tertarik dengan tahta,”

“Tapi ayahnya tertarik,” sambar Wren. “Hemish sudah berencana menjemput Hendery pulang,”

“Apa?” Respon kaget dari Shaan, membuat langit sekali lagi bergemuruh. Lelaki itu dapat membuat langit mewakili segala perasaannya.

***

“Sudah bangun?” tegur Hendery, keesokan paginya.

Samar-samar Erna membuka matanya, kemudian merasakan nyeri di tulang selangka. Dia mengelus pelan tato kecil itu.

“Apa yang terjadi padaku semalam?” tanya Erna bingung.

Hendery menyeringai lebar. “Kini kamu sepenuhnya milikku,”

Menyadari jika bajunya kini telah berganti dengan piyama miliknya, Erna buru-buru menutup badan dengan selimut. Matanya lebar menatap Hendery.

“Apa yang kamu lakukan padaku?!” serunya.

Hendery angkat bahu. “Kenapa kaget? Kita kan suami istri,”

Kemudian mata Erna menangkap tas ransel besarnya yang kemarin tertinggal di atap sekolah. Lalu menyadari jika Hendery telah mengambil barang-barangnya. Namun satu hal yang membuat Erna syok, dia tidak menyangka jika Hendery sampai mengganti bajunya! Sungguh tidak bisa dibayangkan. Begitu batin Erna.

Erna semakin menutup rapat tubuhnya. “Kamu … mengganti bajuku?”

“Tidak mungkin kamu tidur dengan gaun seberat itu,”

“Kamu mengganti bajuku?” ulang Erna.

Hendery bergerak mendekati Erna. Dia ikut duduk di ranjang, berdampingan dengan Erna dan saling berhadapan.

“Sudah tugas suami untuk mengganti baju istrinya,” bisik Hendery, menampakkan deretan giginya.

“Aaa!!” Erna berteriak, menutup kedua telinga dan melompat dari ranjang penuh geli.

“Kenapa responmu seperti itu? Bukankah cepat atau lambat kita akan melakukannya?” tuntut Hendery, tampak tak senang dengan respon Erna.

“Melakukan apa?”

“Apakah aku perlu menjelaskannya?” tanya Hendery bingung. “Kamu cukup diam, dan biar aku yang menuntunmu,” goda Hendery, yang ditanggapi Erna dengan seringaian ngeri.

“Apa yang terjadi padaku semalam?” tanya Erna, setelah dia bisa lebih tenang.

Erna dan Hendery duduk berdampingan di sofa besar, sambil menikmati makanan hasil hutan.

“Kini semua tahu kalau kamu adalah pengantinku. Sama seperti Karin, kamu juga membutuhkan pelindung,”

Erna meletakkan makanannya. “Pelindung? Apakah kamu akan menugaskan seseorang untuk menjagaku?”

Diluar dugaan, Hendery menggeleng. “Aku bukan orang sepenting itu, hingga bisa menyuruh orang lain untuk menjaga pengantinku,”

Erna mengangguk, sangat paham. Dia pun juga tidak pernah mempermasalahkan status Hendery. Jadi jawaban itu sama sekali tidak membuatnya kecewa.

“Sebagai ganti, aku sendiri yang akan melindungimu,” Hendery menempelkan hidungnya ke hidung Erna, dengan seringaian menggoda.

Wajah Erna memerah mendengar godaan itu, dan memilih agak menjauh demi menutupi kegugupannya.

Setelah menyelesaikan sarapan dan mengganti pakaian, Erna memutuskan untuk pergi ke sekolah demi bisa menyelesaikan pendidikannya sesuai permintaan ibunya di Alfansa. Dan sesuai janji pula, Hendery benar-benar berjalan beriringan dengan Erna.

Ketika memasuki gerbang sekolah, semua orang tak bisa mengalihkan pandangan mereka dari sosok Hendery yang berjalan di samping Erna. Hendery bukanlah bangsawan iblis yang gemar menampakkan dirinya di depan umum. Maka tak heran jika orang-orang mulai berkasak-kusuk, apalagi berita pernikahan itu langsung tersebar bak terbawa angin.

“Oh, jadi ini pengantin baru kita?” seru Ame, yang berdiri menghadang jalan Erna dan Hendery, sambil melipat kedua tangan kesal.

“Apa yang kamu inginkan?” tanya Hendery.

“Membunuh pengantinmu,” jawab Ame singkat, tanpa basa-basi. Dia menaikkan sebelah bibirnya, seakan sedang merencanakan sebuah rencana jahat.

The Forbidden Forest [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang