"Gimana kerjaan kamu, Nak?"
Hadyan dan Rossa serempak menoleh ke arah pria tertua di sana ketika kalimat tanya itu terdengar. "Lancar aja, Pa. Kayak biasa." Rossa menjawab setelah sadar pertanyaan itu terarah ke padanya.
"Kalian enggak ada niatan buat punya anak lagi?"
Mendengar kalimat yang keluar dari ibu mertuanya, Hadyan yang tengah meneguk air putih sontak tersedak. Segera, pria berumur empat puluhan itu mengambil tisu lantas mengelap tumpahan air di meja makan. "Maaf," ujarnya.
"Kasihan, lho, Nusa pasti kesepian di rumah. Siapa tahu kalau kalian punya anak lagi, kan, Rossa jadi betah di rumah." Asri, ibu Rossa menambahi.
"Mereka itu teralu pekerja keras. Coba kalau dulu bukan Opa yang minta cucu, Nusa bisa-bisa belum lahir." Satu tangan Hendra terulur mengusap kepala cucunya bersamaan dengan kalimay itu terucap.
Hadyan dan Rossa hanya tersenyum sepenuhnya. Nusa yang melihat semua itu lantas hanya dapat memberikan respons serupa. Ia paham betul jika kelurga baginya adalah sebatas formalitas. Sebatas tradisi untuk melanjutkan keturunan. Bahkan pada usianya yang mulai dewasa, ia dapat mengira-ira bahwa pernikahan yang terjadi di antara ayah dan ibunya adalah bagian dari bisnis. Dan kehadirannya, tak menutup kemungkinana hanya sebatas dijadikan ahli waris.
Hanya topik seputar pekerjaan yang terdengar dari kakek dan ayahnya sepanjang makan malam berlangsung. Rossa, seperti biasanya hanya terdiam menikmati hidangan yang disajikan dengan sesekali melirik ponsel. Bahkan di jam malam seperti ini masih saja mengurusi pekerjaan.
"Nusa sekolahnya gimana?" Kali ini Asri melempar pertanyaan padanya.
Nusa tersenyum tipis mendapat perhatian itu. "Lancar aja, Oma. Kayak biasanya."
"Nih, Nak, lihat. Mirip banget kayak kamu. Bahkan cara jawabnya aja plek kamu." Beberapa kali Asri mencoba melibatkan Rossa dalam percakapan. Sedikit kesal karena anaknya yang bahkan sudah menjadi sosok ibu itu masih saja mementingkan urusan pekerjaan dibanding menghabiskan waktu bersama mereka.
Nusa menoleh ke arah ibunya. Sepasang netranya menangkap respons Rossa seperlunya. Wanita dengan setelan hitam berlengan pendek itu hanya tersenyum singkat ke arah sang nenek. Bahkan semenjak kedatangannya ke rumah ini, Rossa sama sekali belum berkomunikasi dengannya. Nusa cukup sadar jika ibunya adalah sosok yang berbeda. Tidak seperti kebanyakan wanita yang akan turut sibuk mempersiapkan makan malam, sebelum ini Rossa justru tak acuh dan membiarkan sang nenek serta asisten rumah tangga tanpa sedikit pun mengambil peran. Ketika semua ibu mempeributkan untuk mengisi piring anaknya dalam acara keluarga seperti ini, Nusa justru berinisiatif untuk mengambilkan sang ibu lauk dan nasi.
"Kamu itu jadi wanita yang perhatian dikit gitu, Nak," komentar omanya beberapa menit yang lalu, tapi Rossa hanya mengiakan.
"Ada cerita apa di sekolah, Nak? Udah punya pacar apa belum?" Kini Hendra turut mengambil perhatian. Mengakhiri pembicaraan terkait pekerjaan dan mulai fokus memperbincangkan perihal keluarga.
"Hm ..., apa, ya, Opa. Paling juga gitu-gitu aja. Sekolah, ekskul, ikut jadi panitia, rapat, ngurusin LPJ, bikin proposal, dimintain tanda tangan kayak artis, ngurusin siswa berantem, ngurusin surat, atau kalau enggak ada yang diurus duduk-duduk di ruang kesiswaan sama guru. Sampainya rumah paling belajar terus istirahat. Baru sadar kalau hidupku ternyata flat banget," adunya.
Oma dan Opa tertawa kecil mendengar curhatan cucu meraka. "Makanya nyari pacar, biar hidupnya naik-turun kayak naik gunung," ujar Asri.
"Mana boleh sama Papa, Oma."
"Emang kapan Nusa dengerin Papa, hm?" Hadyan menyahut.
Nusa sedikit tersentak akan pertanyaan itu. Sadar jika dirinya baru pulang sore ini setelah pergi tanpa mengantongi izin dari Hadyan. Namun, detik berikutnya ia sadar jika apa yang baru saja keluar dari bibir sang ayah adalah candaan. "Iya, ya, Pa? Kayaknya selama ini larangan dari Papa, Nusa lewatin aja."

KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Sagara
Teen Fiction"Sa, gue butuh bantuan lo." Pinka tak pernah menyangka jika satu kalimat itu akan mengantarkannya pada kisah yang panjang. Pada sejuta sisi kelam yang tiada juga menemukan ujung. Pada rahasia semesta yang tidak pernah ia sangka akan seluas nusa-saga...