Bagian 29

756 51 25
                                    

"Saya tingkatkan dosis untuk pereda nyeri dan ada tambahan antikonvulsan untuk mengurangi risiko kejang. Bisa diperhatikan lagi untuk waktu minum obatnya, ya. Perbanyak istirahat. Sekali lagi, kalau ada keluhan bisa disampaikan ke saya. Jangan sampai pingsan kayak kemarin. Terlalu bahaya kalau kejadian kemarin terulang lagi." Dokter Danang kembali membuat wejangan. Pria paruh baya itu memandang lembut ke arah Nusa dan beberapa kali mengangguk kepada Rossa. Seolah mereka berdua berbagi isyarat yang tak dapat Nusa ketahui.

"Terima kasih, Dok," ucap Nusa.

Dokter Danang mengangguk. "Saya tunggu di jadwal kontrol minggu depan."

Berganti Nusa yang mengangguk. Canggung rasanya ketika ada orang lain yang menemaninya berbicara dengan sang dokter. Maka dari itu, sedari tadi Nusa memilih untuk diam meski banyak pertanyaan yang ia pikirkan.

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari keduanya bahkan selepas Nusa dan Rossa berjalan beriringan menuju lobi. Rossa tiada berbasa-basi menanyakan kabar anak itu. Pun, Nusa tak berniat membuka bibir untuk bertukar kata.

"Mama ada rapat jam 11," pada akhirnya Rossa yang memilih untuk membuka percakapan, "Mama antar—"

"Saya bisa pulang sendiri," potong Nusa. Lelaki itu menghela napas berat. Selama ini, ia selalu berusaha merebut perhatian Rossa, tetapi bukan hasil seperti ini yang ia harapkan. Ia ingin Rossa menerimanya sebagai Nusa. Bukan mengasihaninya sebagai Sian.

"Sa ...."

Nusa kembali menarik napas berat, lantas mengembuskannya perlahan. "Bu," potongnya lagi, "Ibu harusnya bisa memisahkan seperti apa Ibu harus bersikap dan bertindak. Saya tidak nyaman dan merasa keberatan ketika Ibu mamasuki kehidupan pribadi saya seperti ini. Saya tidak nyaman ketika Ibu terus memanggil saya dengan Nusa dan menyebut diri Ibu sebagai "mama" dalam situasi ini. Saya lelah, Bu. Saya ingin menjadi diri saya ketika berada di luar jangkauan orang-orang Nusa," tegasnya.

Lidah Rossa kelu. Nusa yang dilihatnya kini benar-benar berbeda dengan sosok lembut, manis, dan ceria yang biasa berada di rumah. Satu tamparan yang mengingatkan Rossa bahwa semirip apapun tubuh sosok itu dengan putranya, tetaplah bukan Nusa yang pernah ia kandung.

"Saya harap Ibu bisa mengerti dan tidak mudah terbawa suasana. Putra Ibu di luar sana lebih membutuhkan Ibu dibandingkan saya." Tak peduli dengan Rossa yang dibuatnya mematung di tempat, sosok itu berlalu. Meninggalkan Rossa dalam keramaian orang-orang di lobi.

Nusa menyalakan ponsel untuk memesan kendaraan. Bersamaan dengan hal itu, semua pesan dan panggilan muncul di layar ponselnya. Lelaki itu mencoba acuh meskipun sepintas ia membaca pesan penting dari teman, beberapa guru, bahkan ada satu panggilan tak terjawab dari Ali.

Tidak butuh waktu lama untuk sebuah mobil menjemputnya dari aplikasi yang ia pesan. Sesuai titik pemesanan, ia ingin segera pulang dan mengistirahatkan badan, pikiran, serta perasaannya. Ia kira hatinya dapat sedikit lega ketika mengutarakan semua kalimat itu kepada Rossa. Namun nyatanya, ada perasaan lain yang turut muncul. Nyeri. Kata-kata yang ia ucapkan kepada Rossa justru menghunjam balik dirinya.

Nusa mencoba memejamkan mata dengan menyandarkan punggung pada jok mobil saat satu panggilan masuk ke ponselnya. Ia mencoba acuh hingga getar dari ponsel berhenti dengan sendirinya karena tidak ada jawaban. Namun, detik berikutnya panggilan suara kembali masuk.

"Maaf, Mas, ada panggilan masuk. Enggak diangkatkah?" Driver mobil yang sedari tadi memperhatikan Nusa bersuara. Khawatir jika penumpangnya benar-benar tertidur dan tak menyadari ada panggilan masuk.

Nusa tak menjawab. Hanya gerakan tangannya yang mengangkat panggilan memandakan bahwa ia masih terjaga.

"Sa, tolong gue."

Nusa SagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang