"Serius mau pulang hari ini?"
Nusa mengangguk selagi mengancingi kemeja yang ia kenakan. Kondisinya jauh lebih baik dibanding Sabtu dini hari ketika ia datang ke rumah sakit dalam keadaan setengah sadar. Selepas serangan yang ia dapati sepulang dari sekolah malam itu, Nusa benar-benar tak lagi dapat menangani sakitnya. Dengan bantuan Ali, ia pergi ke rumah sakit sebelum subuh. Mereka tak ingin Rossa dan Mira menangkap basah Nusa dalam situasi seperti itu.
Pria berjas putih itu menepuk bahu Nusa. "Untuk radioterapi—"
"Nanti saya pertimbangkan," potong Nusa. Mereka sempat membicarakan perihal pengobatan lebih lanjut beberapa saat lalu, termasuk terkait prosedur dan efek samping yang mungkin dirasakan.
"Apa yang lebih penting selain keselamatan kamu?"
Satu sudut bibir Nusa terangkat. Lelaki itu mendudukkan diri di pinggir bed setelah selesai mengganti pakaian. "Saya yang lebih berhak menentukan prioritas saya," jawabnya. Setelah mempertimbangkan semua penjelasan dari Dokter Danang, tidak memungkinkan ia dapat menjalani radioterapi dalam waktu dekat. Ia tidak mungkin menyisihkan beberapa jam untuk berobat setiap harinya. Entah alasan apa yang akan ia gunakan jika harus menghilang dari sekolah dan rumah dalam jangka waktu lama. Belum lagi efek samping yang akan diterimanya. Semua orang pasti akan tahu dengan sendirinya jika ia sedang sekarat.
Dokter Danang menghela napas lelah. Ia sudah berupaya membujuk remaja itu untuk melakukan pengobatan sesuai dengan apa yang dirinya rekomendasikan, tapi Nusa berusaha menghindar dengan banyak kali mengatakan hal yang sama. "Jangan lupa minum obat dan istirahat. Langsung konsultasikan ke saya kalau ada keluhan."
"Iya, Dok. Terima kasih atas bantuannya." Lelaki itu bangkit berdiri. Keluar dari ruangan tempatnya dirawat bersamaan dengan dokter yang tak lagi muda itu.
"Saya masih ada visit ke pasien lain," Langkah Dokter Danang sesaat terhenti di depan pintu, "Hati-hati di jalan. Ingat, kalau ada apa-apa langsung hubungi saya atau datang ke rumah sakit."
Nusa kembali mengangguk sebelum mereka berpisah. Ia berniat mengurus administrasi dan langsung kembali ke rumah. Entah apa yang akan ia katakan kepada Mira nanti setelah tiba-tiba menghilang, Nusa harap, Hadyan dan Ali telah menyusun alibi untuknya. Kedua tungkai lelaki itu tiba-tiba terhenti ketika sampai di lobi. Pandangannya terarah pada taman terbuka di dalam rumah sakit yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Tanpa sadar, ia menghampiri keramaian yang ada di sana.
Halaman cukup luas dengan rumput hijau dan beberapa kursi di sana menjadi tempat anak-anak berpakaian rumah sakit berkumpul. Beberapa anak seusia sekolah dasar duduk di kursi roda dan ada dua anak dengan kepala botak yang berhasil menyita perhatian Nusa.
"Kakak?"
Semua pasang mata terarah kepada Nusa ketika anak perempuan yang duduk di kursi roda menyapanya. Nusa mengulum senyum. Telanjur menjadi pusat perhatian, lelaki itu memutuskan untuk turut bergabung. Menekuk lutut untuk menyejajarkan tinggi dengan gadis kecil yang memakai beanie itu. "Hai," sapanya.
"Kakak baru di sini? Kok aku belum pernah lihat Kakak," tanya anak kecil itu.
Nusa tersenyum manis seraya mengangguk. "Boleh kenalan?" Lelaki itu mengulurkan tangannya kepada si gadis kecil. "Biar Kakak punya banyak teman di sini."
"Kakak juga sakit?" tanya bocah laki-laki yang berada di samping Nusa.
"Rafi, enggak semua orang yang datang ke rumah sakit itu buat berobat. Bisa aja kakaknya datang lagi jenguk teman apa sekadar mau cek kesehatan," kata lelaki yang memangku bocah itu di atas rumput. Namun, di luar dari perkiraannya, Nusa mengangguk. Air muka sosok itu sontak berubah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Sagara
Fiksyen Remaja"Sa, gue butuh bantuan lo." Pinka tak pernah menyangka jika satu kalimat itu akan mengantarkannya pada kisah yang panjang. Pada sejuta sisi kelam yang tiada juga menemukan ujung. Pada rahasia semesta yang tidak pernah ia sangka akan seluas nusa-saga...