Tidak ada yang berubah tatkala Nusa kembali. Entah alasan apa yang sang ayah buat, tapi Nusa tidak menerima satu pun pertanyaan baik dari teman-teman, asisten rumah tangganya, maupun sang mama pasca dua hari menghilang dari rumah dan sekolah. Seperti biasa, Nusa keluar dari kamarnya yang berada di lantai dua untuk melakukan ritual pagi. Aroma sedap nasi goreng tertangkap indranya bahkan sedari jarak yang cukup jauh dari meja makan. Sesampainya di ruang makan, ia sudah melihat kedua orang tuanya duduk di kursi masing-masing. Namun, kali ini ia tidak melihat Mira ke sana kemari mempersiapkan sarapan seperti biasa. Hanya ada Hadyan dan Rossa di sana yang membuat suasan cukup hening.
"Mbak Mira di mana, Pa?" tanyanya selagi menarik kursi di sisi kanan sang ayah. Sedangkan Rossa berada di sisi kiri sang kepala keluarga, tepat berada di depan Nusa.
"Ada acara keluarga katanya. Udah berangkat sama Mas Ali barusan."
Nusa mengangguk-angguk. Lelaki itu tersenyum senang saat melihat sepiring nasi goreng yang Rossa ambilkan untuknya. "Mama masak?" tanyanya sontak. Ia sungguh berharap dapat mencicipi masakan sosok itu barang sekali.
"Enggak. Tadi Mbak Mira yang masak."
Tidak ada percakapan yang mengalir antara Nusa dan Rossa setelahnya. Ketiganya tenggelam dalam pikiran masing-masing selagi menghabiskan menu sarapan.
"Rossa, kamu bisa bilangin ke Papa buat anak cabang food industry kita yang di Tangerang itu dibuat atas nama Nusa aja?"
Kedua sosok di sana kontan menoleh ke arah Hadyan ketika pria itu secara terang-terangan mengatakan keinginannya. Terlebih Rossa yang seketika memandang sang suami dengan pandangan penuh selidik. "Kenapa buru-buru? Nusa bahkan baru kemarin tujuh belas tahun."
"Maksud aku sekalian gitu. Daripada ke depannya harus balik nama. Toh, Nusa juga udah tujuh belas tahun." Hadyan memberi alasan.
"Gila kamu mau ngasih anak SMA aset sebesar itu?" Kening Rossa berkerut dalam. Ia tidak tahu dengan apa yang suaminya itu pikirkan belakangan ini. Bahkan kemarin malam mereka sempat berdebat perihal Hadyan yang terburu-buru mendesaknya agar sang papa segera membalikkan nama beberapa aset keluarganya atas nama Kaisar Nusa Sagara Hadyan Putra.
"Itu kan cuma nama di atas kertas—"
"Kamu pikir itu perkara yang mudah," potong Rossa. Nusa tak dapat berlaku apa-apa ketika kedua orang tuanya mulai memperdebatkan hal yang berada di luar kuasanya. "Lagian aku tanya kenapa buru-buru? Toh, kita sampai saat ini baik-baik aja. Papa enggak naruh curiga apa-apa ke kita. Nusa juga bisa jalanin kehidupan dia seperti apa yang kita rencanakan. Kenapa mesti dilakuin sekarang? Kamu bisa jelasin ke Papa kalau ditanya alasannya?"
Hadyan hendak menjawab, tapi Rossa lebih dulu mengangkat telunjuknya. Mengisyaratkan bahwa perkataannya belum selesai.
"It's okay kalau kamu bisa nyelesaiin ini sendiri. Lebih cepat emang lebih baik kalau pembagian warisan segera selesai. Tapi apa malah Papa enggak curiga?" tanya wanita itu lagi.
Tiada jawaban yang terdengar dari Hadyan. Pria itu hanya beberapa kali mengembuskan napas kasar setelah kalah telak dari sang istri.
"Akhir bulan depan ada acara dari keluarga besar Papa. Aku harap kamu ngasih izin buat Nusa ikut datang. Kita enggak bisa terus-terusan nyembunyiin Nusa dari keluarga."
Nusa hanya menjadi pendengar di antara mereka. Merekam tiap perbedaan pendapat yang ada setiap harinya. Tidak ada percakapan yang terjadi setelah itu. Rossa buru-buru mengakhiri sarapannya yang bahkan belum habis setengah piring dan beranjak pergi. Meninggalkan dirinya dan Hadyan yang mulai membicarakan permasalahan lain.
***
Entah hanya perasaannya atau benar demikian, Nusa merasa Pinka sedari pagi terus menempel kepadanya. Dari tidak sengaja mereka satu kelompok di mata pelajaran pertama hingga terlibat diskusi di jam-jam pelajaran selanjutnya, bahkan kini gadis yang senantiasa berkucir satu itu mengikutinya ke ruang OSIS. "Lo enggak pulang, Ka?" tanyanya pada Pinka yang berjalan di sampingnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Sagara
Novela Juvenil"Sa, gue butuh bantuan lo." Pinka tak pernah menyangka jika satu kalimat itu akan mengantarkannya pada kisah yang panjang. Pada sejuta sisi kelam yang tiada juga menemukan ujung. Pada rahasia semesta yang tidak pernah ia sangka akan seluas nusa-saga...