Ini adalah gelas ketiga yang mulai Pinka seruput dengan tidak sabar. Segelas es jeruk sudah ia habiskan selagi menunggu bakso yang mereka pesan datang. Satu gelas setelahnya ia habiskan untuk menetralkan sensasi pedas dari semangguk makanan berkuah yang ia beri lima sendok sambal. Nusa tidak bisa membayangkan bagaimana respons perut Pinka nantinya. Pasti akan terasa kembung, panas, dan tentunya tak nyaman.
"Pak, baksonya satu la—"
"Udah, Ka," potong Nusa. Mencegah gadis itu meluapkan kemarahannya dengan menyiksa dirinya sendiri. "Perut lo nanti sakit kalau makan enggak aturan kayak gini."
"Mending gini atau masuk penjara gara-gara gebukin Abim?" Pinka hendak manarik mangkuk bakso Nusa yang bahkan belum habis setengahnya.
Dengan cepat, Nusa menahan gerakan itu. "Keduanya bukan opsi yang bagus."
"Jadi?" Pinka menantang Nusa, tetapi laki-laki di depannya itu diam bergeming. Alhasil, ia berniat kembali menghabiskan pesanan Nusa, "Sini gue makan aja kalau lo enggak mau. Perasaan dari tadi diaduk-aduk mulu."
Nusa berdecak. Lelaki itu lantas mengambil mangkok baksonya. Berdiri, lalu berjalan dan menyerahkan makananya yang tidak habis kepada pramusaji untuk dibereskan. Lelaki itu kemudian beranjak menuju kasir. "Pulang, Ka." Titahnya begitu selesai mengurus pembayaran.
Pinka masih duduk di tempatnya. Menghabiskan sisa es di dalam gelas terakhir. Ia benar-benar malas untuk kembali ke rumah. Suasana hatinya benar-benar tengah kacau. Dalam situasi seperti ini, gadis itu tak yakin jika dapat mengontrol emosinya jika bertemu Maya nanti. "Lo pulang dulu aja, Sa."
Nusa menggeleng. "Gue temenin di rumah kalau lo males ketemu ibu tiri lo," katanya seolah dapat membaca pikiran Pinka.
Pinka mengembuskan napas berat sebelum berdiri dan mengikuti langkah Nusa.
"Lo tunggu di sini aja, Ka. Gue ambil mobil sebentar di sekolah."
"Kenapa tadi enggak lo bawa sekalian aja, sih?"
"Enggak kepikiran," jawabnya, "lo tunggu sini bentar, ya?" Lantas sebelum mendapat jawaban, lelaki itu sudah lebih dulu meninggalkan Pinka dengan setengah berlari.
Pinka menatap punggung Nusa yang munjauh. Jujur, ia tidak sadar sejak kapan dirinya bisa menjadi sedekat ini dengan sosok itu. Seorang yang tidak pernah Pinka bayangkan akan begitu dekat dengannya. Mengingat bagaimana dinginnya Nusa dan hubungan mereka yang tak cukup akur ketika kecil dulu.
Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan Pinka. Tanpa lagi dipinta, gadis itu segera masuk dengan sendirinya. Tidak ada percakapan yang terjadi di antara keduanya selama di perjalanan. Pandangan Nusa hanya terfokus ke jalanan selagi sesekali melirik ke arahnya.
"Lo pasti belum pernah ngerasain suatu hal di luar keinginan lo, kan, Sa?" Pinka bersuara memecah keheningan.
Nusa tak langsung menjawab. Kening lelaki itu sedikit berkerut. Mencoba memahami maksud dari kalimat Pinka.
"Maksud gue, semua hal mesti selalu ada dalam kendali lo. Lo mesti sering dapatin hal yang lo mau," jelas Pinka.
"Mungkin sebagian besar iya, tapi enggak selalu," jawab Nusa. Lelaki itu memelankan laju kendaraan mengingat jarak rumah Pinka tak lagi jauh, tetapi ada beberapa hal yang ingin dia sampaikan. "Tapi lo harus percaya kalau ini udah jadi jalannya masing-masing. Lo udah berusaha yang terbaik kok, Ka. Cuma hari ini lagi dapat bad luck aja."
Pinka tak menjawab. Membiarkan Nusa memulai wejangannya, kendatipun ia tak sepenuhnya setuju.
"Kak Nindy tadi nelfon gue. Katanya catatan lo udah dia bacain dan sekarang udah mulai pengambilan suara," lanjut Nusa tiba-tiba.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Sagara
Ficção Adolescente"Sa, gue butuh bantuan lo." Pinka tak pernah menyangka jika satu kalimat itu akan mengantarkannya pada kisah yang panjang. Pada sejuta sisi kelam yang tiada juga menemukan ujung. Pada rahasia semesta yang tidak pernah ia sangka akan seluas nusa-saga...