Untuk kesekian kali, Nusa sama sekali tak dapat mengambil kendali akan tubuhnya. Resep tambahan yang diberikan memang benar dapat mengurangi frekuensi kejang, tetapi tidak dengan serangan yang lain. Ketika pulang dari rumah Pinka tadi, ia bahkan tak sanggup menyelesaikan perjalanan ketika separuh badannya terasa kebas. Dari lengan atas kanan hingga kaki. Alhasil, ia meminta bantuan Ali untuk menjemputnya.
Waktu sudah cukup larut ketika Nusa terbangun dari tidurnya. Setelah lebih dari empat jam berbaring—dan mungkin tertidur—serangan itu kembali muncul pukul sebelas malam. Membuatnya mengorbankan hampir setengah jam untuk menguras isi lambung di depan kloset. Tidak ada sisa makanan yang keluar. Hanya cairan yang terasa begitu asam di tenggorongan. Dan kepalanya pusing bukan main. Berdenyut dari dalam seolah jaringan tumor itu menekan otaknya kuat-kuat.
Lelaki itu bersandar pada dinding kamar mandi. Tubuhnya sudah basah oleh keringat. Napasnya tak teratur dengan erangan sesekali keluar dari bibir pucatnya. Apa benar dirinya akan mati dalam waktu dekat? Bahkan setelah mengeluarkan ancaman untuk mamanya, tubuhnya justru memberi respons negatif. Apa ia dapat menangani sang ibu dan membawanya kembali pulang? Sedang untuk meredamkan sedikit rasa sakit di tubuhnya saja, ia mulai kepayahan.
Gue nggak boleh mati, batinnya. Lelaki itu memaksakan untuk berdiri dan kembali ke tempat tidur. Telentang di atas kasur setelah menelan beberapa pil yang ia simpan di atas meja. Tak lagi peduli jika obat yang ia konsumsi telah melebihi dosis.
Beberapa menit kemudian, sakit kepalanya sedikit mereda. Nusa hampir saja kembali tertidur ketika sebuah panggilan masuk ke ponselnya.
"Mas Sian."
Nusa tak menjawab, tapi ia tahu betul jika itu suara Ida.
"Mas udah tidur? Saya dari tadi telfon Mas, tapi enggak diangkat," lanjut seorang dari Seberang telepon.
"Gimana, Mbak?"
"Mbak Viola ..." Ida menggantungkan kalimatnya.
Nusa membuka matanya. Dengan kening berkerut sebab masih merasa pening, ia berusaha mendengarkan dengan saksama. "Kakak kenapa?"
"Sebenarnya minggu ini jadwalnya Mbak Viola kontrol. Biasanya diantar Mas Sian, kan. Tadi saya coba membujuk Mbak Viola, tapi Mbak Viola enggak mau keluar dari rumah."
Tangan bebas Nusa memijat kening sebelah kirinya yang terasa berat. "Belum jadi kontrol jadinya?" tanyanya.
"Belum, Mas. Saya minta dijadwalkan ulang besok. Apa coba saya bujuk Mbak Viola lagi, ya? Atau Mas Nusa bisa datang?"
Nusa mengambil napas berat, lantas diembuskannya perlahan. Ia tak dapat berpikir. Bahkan sekedar memperkirakan apakah tubuhnya besok dapat diajak bekerja sama atau tidak. "Siang atau sore jadwalnya?"
"Kalau dokternya praktik sampai sekitar jam 3, sih, Mas. Tapi saya takutnya rame kalau terlalu siang atau kesorean."
"Coba lihat besok, Mbak. Nanti biar aku yang kontak lagi sama dokternya."
Ida mengiakan dalam panggilan. Tak berselang lama, percakapan berakhir. Nusa menggulir layar ponselnya dan mendapati satu pesan dari Pinka dikirim tiga jam yang lalu.
Hanindya Pinka
Sa, gw bs izin sklh g, ya? Mama sakit. Bsk pagi gw mau ke bdg.
Nusa tak langsung membalas. Masih menggenggam ponsel di satu tangannya, lelaki itu bangkit dari posisi berbaring. Berniat mengambil minum di lantai bawah untuk menetralisir tenggorokannya yang masih terasa asam. Ketika sampai di ruang tengah, ia melihat ruang kerja sang ayah yang masih terang. Memberi kesimpulan bahwa Hadyan belum tidur.
"Kamu belum jadi periksa lagi?" Suara Hadya terdengar di belakang Nusa yang sedang mengambil air putih dari dispenser yang ada di ruang tengah.
"Besok pagi, Pa," jawabnya singkat. Ia memilih menghabiskan setengah gelas air kemudian berbalik menghadap Hadyan.
Kendatipun Nusa sudah melarang Ali untuk memberi tahu perihal kejadian tadi sore, tentu orang pribadi ayahnya itu tidak dapat merahasiakan apapun kepada Hadyan. Seorang yang berdiri di depannya kini sudah tahu pasti akan dirinya yang hampir saja tumbang.
"Jangan kira saya tidak bisa menyeret kamu ke luar negeri kalau kamu terus-terusan seperti ini."
Nusa mengembuskan napas kasar. Tubuhnya yang tak karuan membuat suasana hatinya turut kacau. Terlebih setelah mendapat kabar perihal sang kakak. Ia benar-benar merasa lelah, hendak marah, tapi tak ada hal yang dapat ia gunakan untuk melampiaskan semua emosinya. Dan gini, Hadyan justru menyulut api yang coba ia redam. "Saya mau istirahat, Pa. Kita bicara besok aja." Nusa beranjak meninggalkan Hadyan.
"Kalau besok juga kamu enggak pergi ke rumah sakit, saya bisa menyuruh orang untuk membawa kamu. Selagi tidak ada Rossa di rumah," ancam Hadyan.
Lelaki itu tak mengindahkan kalimat Hadyan. Ia memilih kembali ke kamar dan mendudukkan tubuhnya di pinggir kasur. Sudah hampir lima hari ia tak bertemu Rossa setelah berpisah di rumah sakit. Mida bilang jika sang mama tengah mengurus usaha barunya di Bandung. Namun, setiap pesan yang ia kirimkan kepada Rossa sama sekali tak mendapat balasan. Apa ia terlalu kejam di hari itu? Atau sesuatu terjadi pada Nusa yang lain hingga Rossa mengabaikan semua pesan darinya?
Tanpa berpikir panjang, Nusa menekan nomor sang ibu. Menyambungkan panggilan. Tak peduli jika saat ini hampir tengah malam dan Rossa mungkin sudah beristirahat.
"Halo?"
Jantung Nusa berdenyut nyeri setelah mendengar jawaban dari seberang. Tubuhnya perlahan bergetar. Ia dapat merasakan hidung serta matanya memanas. "Ma ...," panggilnya serak. Suara Nusa seolah tercekat di tenggorokan.
Tidak ada tanggapan dari Rossa.
"Mama masih lama di Bandung?"
"Kenapa?" tanggap Rossa cepat.
Nusa menggeleng. Ia juga tidak tahu apa yang ia inginkan dari ibu angkatnya itu.
"Halo?"
"Enggak papa," jawabnya, "Mama baik-baik aja di sana?"
Jeda cukup lama. Tidak ada jawaban atas pertanyaan itu sebelum selanjutnya Rossa menutup panggilan sepihak. "Mama tutup kalau enggak ada yang mau kamu sampaikan."
Detik itu juga cairan bening mengalir dari ekor matanya. Nusa merasa kosong. Tak tahu dengan apa yang ia inginkan. Lelaki itu kembali membuka pesan yang Pinka kirimkan, lalu memberikan balasan.
Anda
Berangkat ke Bandung jam berapa, Ka? Besok gue temenin.
Setelah mengirim pesan, Nusa membaringkan tubuhnya. Entah besok ia akan pergi untuk menemani Pinka, menemui sang kakak, atau membalaskan rindunya kepada sosok yang selama ini ia anggap sebagai ibu.
Bersambung ....
Dikit aja gpp, ya ... ini pengantar aja buat bab selanjutnya. Lagi kangen sama Nusa sampai tetiba pengen nulis dan gatel kalau enggak dipublikasi hehe .... btw, aku makin ke sini udah mulai kasihan sama si Nusa. Ikutan frustasi sama apa yang terjadi di hidupnya wkwk
Terima kasih sudah menemani menulis Nusa sampai bab ini. Bisa yuk ramein komentar biar makin semangat nulisnya 🤗
Sleman, 27.05.24

KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Sagara
Jugendliteratur"Sa, gue butuh bantuan lo." Pinka tak pernah menyangka jika satu kalimat itu akan mengantarkannya pada kisah yang panjang. Pada sejuta sisi kelam yang tiada juga menemukan ujung. Pada rahasia semesta yang tidak pernah ia sangka akan seluas nusa-saga...