"Pinka .... congratulation, my baby girl! Wash wush gilak banget lo semalam!"
Suasan koridor sudah cukup ramai ketika tepukan keras itu mendarat di bahu kananya. Belum lagi tingkah aneh Evelyn yang memperagakan gerakan tinju mengambang di udara. "Lyn, please enggak usah malu-maluin."
"Idih!" Satu tepukan yang kembali mendarat di bahu gadis itu kali ini cukup untuk membuat si empunya terhuyung. "Harusnya lo tuh bilang, thank you, Baby!"
"Geli." Pinka, sang lawan bicara bergidik ngeri. "A-se-li geli."
Tidak peduli dengan respons gadis berkucir satu di sebelahnya, Evelyn kini justru menggandeng lengan Pinka. Turut menghiraukan tatapan para siswa yang merasa terganggu oleh mereka berdua. Koridor yang dilewati keduanya cukup sempit dan harus digunakan untuk berjalan dua arah.
"Lyn, please le—"
"Oiya! Congrats juga karena lo masuk MIPA 1. It's you dream, right? And you get it!"
Pinka menghela napas lelah. Pasrah akan kelakuan sahabatnya itu yang semakin membuatnya tak nyaman. Dia bukan seorang yang akan berbunga-bunga dengan beribu kata pujian pun malah merasa risi ketika diberi sentuhan meski oleh orang terdekatnya. "Lo tahu kalau love language gue bukan word of affirmation, apalagi physical touch. So, Lyn –" Pinka sedikit mendorong Evelyn yang masih saja menempel kepadanya, "Stop talk about it and don't touch me, please!"
Bibir Evelyn sontak mengerucut, terlebih ketika Pinka mempercepat langkah kaki dan berjalan di depannya. Namun, bukan Evelyn namanya jika menyerah semudah itu. Bagaimanapun, salah satu visi terbesarnya dekat dengan Pinka adalah membuat gadis itu tidak terlalu kaku. Sangat kontras ketika nama sefeminim Pinka harus bersanding dengan wajah ketus, jiwa bebas, serta pikiran dan kelakuan yang terlalu liar.
"Ka—"
"Lo enggak ada kelas pagi?" potong Pinka sebelum temannya itu kembali menganggunya.
"Ada seni budaya. Tapi keknya Pak Azam bakal telat masuk kelas. Lo juga jam pertama olahraga, kan? Agak santuy!"
"Kepala kau santuy. Lo kira gue masih di MIPA 4?"
"Galak banget."
Tidak ada respons. Evelyn hanya mendapati pendangan Pinka yang fokus ke depan dan langkah yang tak kunjung diperlambat. Padahal Evelyn yakin jika gadis di sebelahnya ini sadar bahwa ia mulai kesulitan mengimbangi kecepatan langkahnya.
"Ka, ini serius." Kembali, Evelyn meraih lengan Pinka. "Ini first class lo, kan setelah di minggu pertama enggak masuk karena dispensasi?"
"Kenapa?" Pinka melunak ketika nada bicara Evelyn berubah drastis. Ekspresi dalam wajahnya yang bulat juga menyiratkan keseriusan yang kentara.
"Lo udah nyiapin cara biar lo bisa survive?"
"Lo pikir gue enggak mampu?"
"No! Bukan itu maksud gue," jawab Evelyn cepat saat mendapati raut Pinka mengeras.
"Terus?"
"Gue dengar Kak Sadam mengundurkan diri dari MIPA 1 buat semester ini. Padahal empat semester sebelumnya, dari awal masuk dia udah ada di MIPA 1."
"Hubungannya sama gue apa?"
"Lo tahu maksud gue. Gue dengar anak MIPA 1 bukan cuma pinter, tapi juga harus pandai cari muka. Dan itu bukan lo banget yang orangnya blak-blakan. Lo yakin?"
"Why not? Gue bisa belajar dari mereka."
Jeda cukup lama. Tidak ada percakapan yang terdengar hingga pintu dengan papan XI MIPA 1 telah terjamah oleh netra Pinka. "Gue enggak pernah maksa buat lo terus support gue, Lyn. Gue enggak suka orang yang mengagung-agungkan gue di depan, tapi di belakang banyak omong dan ini itu. Gue enggak butuh."

KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Sagara
Genç Kurgu"Sa, gue butuh bantuan lo." Pinka tak pernah menyangka jika satu kalimat itu akan mengantarkannya pada kisah yang panjang. Pada sejuta sisi kelam yang tiada juga menemukan ujung. Pada rahasia semesta yang tidak pernah ia sangka akan seluas nusa-saga...