Sebuah swafoto yang Nusa kirimkan beberapa menit yang lalu benar-benar menyulut emosinya. Maya lupa akan satu hal tentang putranya: Sian tidak dapat ditentang. Lebih keras daripada dirinya. Maka, ketika ia melarang kedekatannya dengan Pinka, hal itu tak ayal adalah sebuah perintah untuk putra kandungnya itu terus melancarkan aksi untuk mendekati anak tirinya.
Rahang wanita itu mengeras selagi menggulir layar ponsel untuk mencari sebuah nomor telepon. Tanpa pikir panjang, Maya menyambungkan panggilan kepada orang kepercayannya. "Pergi ke Bandung sekarang juga," titahnya selepas seorang laki-laki menjawab panggilannya.
"Neng Pinka, Bu?" respons dari seberang.
"Bukan. Saya mau kamu ikuti orang lain," jawab Maya, "namanya Nusa. Dia pergi dengan Pinka ke Bandung, tapi saya yakin dia punya urusan lain. Cari tahu apa saja yang dia lakukan di sana beserta tempat-tempat yang dia singgahi. Saya kirimkan foto dan nomor ponselnya biar bisa kamu lacak. Pokoknya, laporkan semua hal secara detail kepada saya terkait apa yang dia lakukan."
"Baik, Bu."
Panggilan langsung terputus setelah Maya memberikan titahnya. Setelah mengirimkan informasi tambahan akan Nusa, ia langsung menghapus pesan dan riwayat panggilan. Entah apa yang akan ia lakukan kepada remaja itu selanjutnya, Maya masih belum memikirkannya. Untuk saat ini, ia perlu mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Mencari celah untuk melawan putranya.
***
"Udah mendingan, Mas?" Ida membawa secangkir jahe hangat dan turut bergabung bersama Nusa di ruang tengah.
Nusa memijat keningnya perlahan. Menegakkan badannya yang semula bersandar pada sofa dan mengambil minuman yang Ida bawa. Hanya gumaman yang ia berikan sebagai jawaban. Sepanjang perjalanan pulang dari psikiater tadi, tubuhnya kembali berulah. Karena melewatkan makan siang dan obatnya, Nusa harus dibuat mati-matian meredam pening hingga mual. Bahkan ia sampai meminta sang driver berhenti di tepi jalan untuk memuntahkan isi lambungnya.
"Diminum, Mas. Mumpung masih anget." Wanita yang hampir menginjak usia tiga puluh itu memijat ringan bahunya selagi menyeruput teh jahe hangat.
"Mbak kapan nikah?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir Nusa.
Ida cukup terkejut mendengar pertanyaan itu. Tak pernah sekalipun Nusa bertanya perihal kehidupan pribadinya. Bahkan latar belakangnya pun Nusa tak peduli. Ia tiada mengerti mengapa tiba-tiba sosok itu mempertanyakan hal yang cukup sensitif. "Saya belum kepikiran buat berkeluarga. Kenapa tiba-tiba tanya nikah, Mas?"
Nusa menghela napas panjang. Sedikit ragu menjawab pertanyaan Ida sebelum akhirnya ia berbalik mengajukan pertanyaan. "Kalau enggak usah nikah, Mbak keberatan?"
"Ma-maksud Mas Sian?" Tangan Ida yang semula bertengger pada bahu Nusa perlahan turun.
Lagi, Nusa menghela napas sebelum memberikan penjelasan. "Rumah ini udah atas nama Kakak. Ada beberapa saham juga atas nama Kakak. Kalau Mbak mau, Mbak bisa tinggal beberapa tahun ke depan buat ngerawat Kakak. Udah ada tabungan sendiri buat biaya perawatan. Mbak bisa ambil semua aset itu dan kerja buat Kakak sampai nilainya habis sebagai bayaran buat Mbak."
Ida tak merespons. Belum berani mengambil kesimpulan atas semua yang Nusa paparkan.
"Mbak bisa ambil semua itu," ulang Nusa, "dengan syarat, tinggal berdua dengan Kakak. Termasuk konsekuensi buat enggak berkeluarga."
Ida semakin terpaku. Terkejut sebab Nusa terlalu terang-terangan mengungkapkan tawarannya. Meskipun ia hidup sebatang kara dan belum berpikir sejauh itu untuk menikah, tetapi menurutnya, apa yang keluar dari bibir Nusa sudah berada di luar batasan. Jujur, ia cukup terluka. "Walaupun saya sudah menikah nanti, saya masih bisa kok buat ngerawat Mbak Viola."

KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Sagara
Ficção Adolescente"Sa, gue butuh bantuan lo." Pinka tak pernah menyangka jika satu kalimat itu akan mengantarkannya pada kisah yang panjang. Pada sejuta sisi kelam yang tiada juga menemukan ujung. Pada rahasia semesta yang tidak pernah ia sangka akan seluas nusa-saga...