Bagian 3

662 82 15
                                    

Pinka kontan memejam ketika suara gebrakan meja dari sang ayah terdengar. Kebisuan yang ia ciptakan membuat emosi pria yang paling dewasa di rumah itu semakin tersulut. "Jawab, Pinka! Kenapa kamu masih berani ke Bandung dan menentang Papa?"

"Emang bedanya kalau aku jawab apa?" Setelah lama memilih diam, Pinka membuka suara dengan nada yang tak kalah tinggi. "Bukannya Papa bakal lebih dengerin Tante Maya?"

"Tante? Istri Papa itu juga ibu kamu. Panggil dia Mama atau sapaan lain yang lebih sopan!"

Sepasang mata Pinka dapat menangkap urat yang timbul jelas di leher sang ayah. Muka merah padam itu tidak membuatnya merasa takut dan ciut. "Nyonya?" tantang Pinka, "Sampai segitunya Papa minta penghargaan buat wanita itu."

"Pinka!" Sigit, seorang yang Pinka akui sebagai ayahnya itu bangkit berdiri. Hampir saja satu tamparan mendarat di pipi sang putri, jika saja sang istrinya tak menahan gerakan refleks yang ia lakukan.

"Kenapa enggak jadi nampar aku, Pa?"

"Pinka! Jaga ucapan kamu, ya. Mama enggak pernah ngajarin kamu ngomong gitu. Jangan bikin Papa makin marah." Kali ini Maya turut bersuara.

Sigit mengusap kasar wajahnya. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak meluapkan segala amarahnya kepada putri semata wayangnya itu. "Kamu masih berhubungan dengan wanita itu?"

"Wanita itu?" Emosi Pinka mulai terpancing tatkala sang ayah mulai menyinggung ibunya, "Mama, Pa. Gimana bisa Papa nyebut Mama dengan 'wanita itu'?"

"Ini! Ini yang Papa bilang sejak lama ke kamu! Karena kamu masih aja komunikasi sama wanita itu, kelakuan kamu jadi begini."

"Papa enggak usah bicarain Mama kalau cuma mau ngomong yang enggak benar. Aku kayak gini itu karena istri baru Papa ini!" Tajam, Pinka memandang Maya yang menampilkan wajah polosnya.

"Pinka!" Tangan Sigit kembali tertahan di udara. Segera, pria paruh baya itu mengepalkan jemari tangannya kala menyadari gerakan spontannya untuk menyakiti sang anak.

"Mas cukup! Mas Sigit bisa bicarain ini baik-baik nanti atau aku aja yang bicara ke Pinka." Maya menengahi.

Pinka tersenyum sumbang. Jika pantas, ingin ia tertawa sekeras mungkin melihat sandiwara ibu tirinya itu. Namun, ia masih dapat menahan hal itu di depan sang papa.

"Pinka masuk kamar kamu, Nak. Kita bicara di kamar," pinta Maya.

Gadis itu beranjak. Bukannya bermaksud menuruti titah Maya, tapi ia sudah cukup muak dengan suasana ini. Ayahnya lebih sering marah-marah dua tahun terakhir setelah Maya tinggal bersama mereka. Belum lagi, hal yang sering membuatnya turut tersulut emosi adalah Sigit yang selalu melibatkan ibunya akan setiap pertentangan yang ia lakukan.

Pinka membuang asal topi hitamnya saat sampai di kamar. Melepas kucir yang mengikat rambutnya, lantas ia biarkan surai hitam sebahunya itu tergerai berantakan. Ingin ia memaki. Mengeluarkan semua kata kasar yang ia miliki. Akan tetapi, kesadarannya cukup untuk menahan semua itu hanya terucap dalam batin. Bukan suatu keuntungan jika ayahnya mendengar semua perkataan kotornya. Hal itu justu akan memperburuk situasi.

Dengan kasar, Pinka mendudukkan tubuhnya di tepian kasur. Netranya menyisir asal seluruh sudut ruang sebelum terhenti pada jendela kamar yang setengah tertutup gorden. Cahaya jingga kemerahan menyembul dari sana. Menyeret hatinya untuk tenggelam dalam suasana-suasana melankolis. Gadis itu menggigit bagian bawah bibirnya kala getir di sanubarinya kian kentara. Sepasang netranya memanas. Seolah sadar jika sudah terlalu lama tak ia gunakan untuk menangis.

Ma, Pinka kangen. Ia tak mungkin mengucapkan secara gamblang kalimat itu jika berhasil bersua sang ibu di Bandung. Namun, setidaknya ia ingin melihat manik setenang malam yang ia warisi, ingin mendengar nasihat membosankan dari bibir tipis sang ibu, dan ingin mendapat sebuah pelukan. Sesederhana itu, tapi begitu sulit untuk terwujud.

Nusa SagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang