Nusa menghela napas setelah darah yang mengalir dari hidungnya mulai berhenti. Lelaki itu membasuh wajah, selagi memandangi diri di cermin depan wastafel sekolah. Gurat lelah terpancar jelas di sana. Beberapa hari ke belakang, ia tak yakin jika benar-benar dapat tertidur. Ia hanya dapat terlelap satu hingga dua jam menjelang subuh. Bukan hanya karena harus belajar untuk persiapan ujian, tapi serangan yang masih sering muncul membuatnya tidak dapat beristirahat.
Lelaki jangkung itu beranjak dari toilet. Berniat mengambil tas yang masih tertinggal di kelas, sebab sebelum waktu ujian habis, ia terpaksa keluar lebih dulu untuk menghentikan perdarahan di rongga hidung. Nusa memperlambat langkahnya ketika berpapasan dengan Pinka di depan pintu toilet. Gadis itu setengah berlari menuju toilet wanita dengan membekap mulut. Kening Nusa mengernyit. Sebab khawatir, tanpa mempertimbangkan banyak hal, lelaki itu menyusul Pinka yang bahkan tak sadar akan keberadaannya.
Pinka memuntahkan isi lambungnya di depan kloset. Sungguh, sensasi yang meremas kuat-kuat dadanya dan perutnya yang mual melilit membuat Pinka harus mengeluarkan seluruh sarapannya. Keringat dingin membanjiri tubuh gadis itu. Dadanya terasa amat sesak hingga tangannya refleks memukul bagian tubuh itu.
"Ka, are you okay?"
Gadis itu menyandarkan punggung pada sekat di antara bilik toilet. Mencoba mengatur napas ketika suara Nusa disertai dengan ketukan pintu terdengar. "I'm okay, you'll be fine, Pinka. It's okay ...." Pinka setengah bergumam. Bukan untuk menjawab pertanyaan Nusa, melainkan untuk menenangkan diri sendiri. Soal matematika sebagai penutup penilaian akhir semester benar-benar menguras semua tenaga dan pikirannya. Pinka rela begadang semalaman demi dapat melewati ujian yang diberikan Bu Riska dengan baik. Namun, semua berjalan di luar ekspektasinya. Pinka tak dapat mengendalikan diri ketika melihat soal yang keluar, jauh dari apa yang ia pelajari semalaman. Bukannya mencoba tenang, ia justru gugup dan membuat semua rumus yang ada di kepalanya menguar begitu saja. Beberapa kali ia menengok ke sisi kanan-kiri, tapi semua siswa tampak sangat mudah mengerjakan soal. Berbanding terbalik dengan dirinya. Saat itulah ia merasa lebih tertekan. Apalagi setelah melihat Nusa keluar pada dua per tiga jam yang diberikan, dirinya kian gusar. Pening, sesak, dan mual yang ia coba tahan justru semakin menjadi-jadi.
Pinka berusaha mengatur napasnya. Entah hasil seperti apa yang akan dia dapat, setidaknya ia sudah berusaha maksimal. Kendatipun dalam pikiran dan batinnya masih saja menyalahkan dirinya yang bodoh. Gadis itu menarik napas kuat-kuat. Oke, Ka, walaupun lo gagal kali ini, tapi lo enggak boleh kelihatan mengenaskan, batinnya. Ia kemudian bangkit berdiri setelah membersihkan mulut dengan tisu kering.
"Lo ngapain di sini?" Pinka melayangkan tatapan penuh intimidasi tatkala figur Nusa ia dapatkan selepas membuka pintu.
"Gue ngikutin lo karena khawatir." Sebenarnya, Nusa sudah dapat menangkap gelagat aneh Pinka ketika masih di dalam kelas. Ia menduga jika sosok itu mengalami serangan panik, tapi apa yang baru saja dilihatnya masih di luar perkiraan Nusa. Ia tidak menyangka jika gangguan itu sampai membuat Pinka-yang kelihatannya begitu keras-memuntahkan isi lambungnya.
Pinka membuang napas kasar. Entah mengapa, ia masih sangat kesal terhadap Nusa yang sering menghilang belakangan. Lelaki itu sudah berjanji untuk membantunya bertahan di kelas, tapi seminggu selama ujian berlangsung, Nusa justru lebih sering tak dapat dihubungi. Selalu pulang lebih awal setelah selesai mengerjakan soal dan tidak pernah membaca pesannya tiap kali ia meminta waktu untuk belajar bersama.
"Gue antar lo pulang?" Sebab tak mendapat jawaban dari Pinka, Nusa mengajukan pertanyaan lain, "atau lo mau ke rumah sakit?"
"Gue udah ada yang jemput. Toh, lo juga biasanya langsung ngacir balik."
Nusa mengedarkan pandangan ke sekitar. Ia baru sadar jika telah menjadi pusat perhatian beberapa siswa yang ada di sana. Selain keberadaannya di toilet wanita, interaksinya dengan Pinka tampak seperti pasangan yang tengah bertengkar justru mengundang perhatian lebih. "Gue tunggu di luar," putusnya sebelum lebih dulu meninggalkan Pinka yang hendak mencuci tangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Sagara
Ficção Adolescente"Sa, gue butuh bantuan lo." Pinka tak pernah menyangka jika satu kalimat itu akan mengantarkannya pada kisah yang panjang. Pada sejuta sisi kelam yang tiada juga menemukan ujung. Pada rahasia semesta yang tidak pernah ia sangka akan seluas nusa-saga...