"Yan, tolong gue ..."
Keringat membanjiri tubuh lelaki itu ketika suara yang sama terus saja terdengar. Nusa sudah berlari ke segala arah. Namun, hanya kegelapan yang ia dapati. Ia tak tahu tempat macam apa yang ia diami kini. Gelap. Tidak ada sedikitpun pencahayaan hingga ia tak tahu arah untuk melangkah.
"Yan, tolong gue ...."
Lagi-lagi suara yang sama terdengar lebih keras. Berulang kali Nusa mencoba mencari sumber suara, tapi tidak sedikitpun membuahkan hasil. Pening muncul ketika suara itu berulang-ulang tanpa jeda. Ditambah bunyi nyaring yang menganggu pendengarannya membuat lelaki itu menutup telinganya rapat-rapat. Dengan napas cepat, untuk kesekian kali dirinya memindai sekitar, mencari jalan keluar. Seberkas cahaya menyilaukan terarah kepada sosok itu. Nusa menyipit ketika cahaya tersebut semakin dekat ke arahnya dan seketika tubuhnya seolah dihantam begitu keras.
Nusa membuka mata. Sorot lampu di antara langit-langit ruangan menjadi hal pertama yang ia lihat. Lelaki itu mengalihkan pandangan ke samping kiri. Samar, netranya menangkap figur wanita yang memandang penuh cemas ke arahnya. Cukup lama keduanya beradu kontak mata selagi Nusa berusaha mengingat wajah yang tampak tak asing di sampingnya.
"Yan, tolong gue ...." Suara itu seolah mengembalikan sadarnya. Nusa sontak bangkit dari posisi berbaringnya tatkala kalimat itu kembali terdengar. Dengan cepat, lelaki itu menyibak selimut. Melepas selang oksigen dan beberapa kabel yang menempel di tubuhnya, lantas turun dari bed. Namun, kakinya terlalu lemah untuk menopang badan hingga tubuhnya terjatuh di lantai.
Rossa yang masih tak dapat mencerna gerakan Nusa mencoba membantu sosok itu untuk berdiri dan kembali berbaring di ranjang rumah sakit. Namun, seolah tak menganggap keberadaannya, sosok itu justru berusaha melepas infus yang mengganggu pergerakannya. "Nak ...."
"Lepas!" sentaknya. Nusa mendorong Rossa sekuat yang ia mampu selagi menatap tajam ke arah wanita itu.
Rossa dapat menangkap tatapan yang sama seperti kejadian di Bandung waktu itu. Tatapan penuh luka dan kekhawatiran serta ada genangan air mata yang tersimpan di sana. Lantas dengan cepat, Rossa menekan tombol darurat untuk meminta bantuan.
"Di mana Kakak?" tanyanya yang membuat Rossa semakin tak mengerti. Sosok itu berulang kali mencoba berdiri, tapi tak mampu hingga akhirnya bertumpu pada kedua lengan tangan untuk menyeret tubuhnya, mencari jalan keluar.
Rossa mencoba menghentikan gerakan sang anak, tetapi sosok itu terus menepis dirinya. "Nak ...."
"Apa?" sentaknya lagi, "Mama belum puas dengan apa yang Mama lakuin ke Kakak? Minggir, Ma! Aku mau nolongin Kakak dari kelakuan bejat Mama! Minggir!"
"Nusa!" Rossa tak kalah meninggikan suaranya. Lantas ia memeluk sosok itu kuat-kuat. Berulang kali Nusa mencoba mendorongnya, tetapi Rossa semakin menguatkan dekapannya hingga lelaki itu tak dapat bergerak.
"Lepas! Minggir, Ma! Kakak nunggu aku! Kakak butuh aku!" Nusa meronta dalam pelukan Rossa.
"Ini, Mama, Sayang. Mama di sini. Mama enggak akan biarin Nusa pergi. Mama enggak akan biarin Nusa pergi." Rossa tetap memeluk putranya hingga tubuh itu melemah. Tidak ada lagi gerakan perlawanan yang ia terima dari sosok itu. Bersamaan dengan itu, beberapa perawat datang untuk membantu. Namun, Rossa memberi isyarat agar Nusa tetap berada di pelukannya hingga benar-benar tenang. Tangan wanita itu mengusap punggung putranya dengan lembut. Sedangkan perawat yang datang berusaha menghentikan perdarahan dari bekas jarum infus yang dicabut paksa.
"Ma ...." Suara lirih terdengar dari sosok itu.
Rossa mengurai pelukannya. Tetap menyangga punggung lelaki itu dengan satu lengan sedangkan tangan yang lain mengusap wajah putranya. Tubuh itu masih bergetar selagi keringat mengucur dari pelipis hingga leher. "Mama di sini. Ini Mama. Mamanya Nusa. Nusa jangan ke mana-mana, ya?"
Tidak ada kata yang kelaur dari bibir lelaki itu. Cairan bening keluar dari sudut matanya yang memerah. Nusa merasa sesak yang luar biasa. Dadanya seolah ditekan kuat-kuat setiap kali teringat luka itu. Membuatnya seolah kehilangan napas, pening, dan mual bersamaan. Ia sedikit mendorong Rossa ketika cairan putih mendesak keluar dari dalam lambung. Napasnya memburu dan Nusa tak dapat mengendalikan barang sedikit akan apa yang terjadi pada tubuhnya. Tak dapat menahan muntah dan sakit yang kini menekan bagian depan kepalanya kuat-kuat.
Satu tangan Rossa mengusap punggung lelaki itu sedangkan tangan yang lain digenggam oleh Nusa. Wanita itu menggigit bagian bawah bibirnya. Menahan nyeri di dalam hati melihat kondisi putranya kini.
***
Keduanya tenggelam dalam sunyi. Rossa masih saja terbayang tubuh kejang Nusa saat ia mengikuti sosok itu ke kafe. Belum lagi kejadian pagi tadi yang membuat dirinya lebih ragu meninggalkan Nusa seorang diri.
"Saya bingung harus bilang apa ke Ibu." Nusa merasa canggung. Semua yang terjadi di depan Rossa baik kemarin atau hari ini benar-benar di luar batas untuk ia kendalikan. Ia tidak bisa berpura-pura baik-baik saja saat otaknya bahkan tak merespons apa yang ia perintahkan. "Kalau Bapak tahu—"
"Saya bilang kamu ada acara sekolah sampai akhir pekan ini," potong Rossa.
Tidak ada respons dari Nusa. Lelaki itu hanya memandang Rossa selagi bersandar. Bahkan untuk saat ini tubuhnya belum mau diajak bekerja sama untuk terlihat kuat.
"Saya tahu kalau Hadyan marah atas apa yang menimpa kamu dan kalian berusaha sebisa mungkin menyembunyikan ini semua dari saya, tapi mau sampai kapan?"
"Bu ...."
"Kamu dengar sendiri kalau terus diabaikan, kejadian yang lebih buruk dari kemarin dan hari ini bisa terjadi."
Lelaki itu tersenyum. Untuk pertama kalinya ia tersenyum di saat dirinya tak harus berperan sebagai Nusa. "Nusa adalah anak dambaan dari semua orang tua. Cerdas, tampan, berbakat. Itu yang selalu saya tanamkan untuk menghidupkan Nusa di dalam diri saya. Nusa enggak boleh sakit. Dia sosok yang sangat sempurna. Enggak ada yang bisa merusak Nusa, termasuk penyakit ini. Maka, ketika Dokter bilang kemungkinan sakit ini bisa menganggu cara perpikir dan memori saya, saya belajar lebih keras. Ketika Dokter bilang saya mungkin akan kehilangan sebagian fungsi gerak tubuh saya, sebisa mungkin tetap saya paksakan saat tangan atau kaki terasa kebas. Dan saya enggak bisa merusak tubuh ini dengan memasukkan berbagai macam obat-obatan.
"Setiap Dokter manawarkan pengobatan, saya berpikir bagaimana kalau efek samping dari obat-obat itu merusak ginjal Nusa, bagaimana kalau sel-sel Nusa rusak akibat kemoterapi, bagaimana kalau Nusa mendadak botak, dan kemungkinan buruk lain. Nusa enggak bisa hidup dengan kondisi seperti itu. Bahkan Mbak Mira sekarang mulai sadar kalau Nusa menjadi pelupa dan lebih kurus. Saya minta maaf, tapi itu di luar kendali—"
"Pergi ke luar negeri," potong Rossa, "Saya akan urus kepindahan kamu. Saya akan carikan dokter yang hebat dan kamu bisa menjalani pengobatan diam-diam."
Nusa menggeleng. "Saya enggak bisa ninggalin Kakak saya."
"Kamu mungkin enggak bisa percaya dengan Hadyan, tapi kamu bisa percaya saya."
Nusa menggeleng. Menolak. "Mama—"
"Ibu kamu? Dia bahkan enggak peduli sama kamu." Ia ingat betul ketika Maya kabur setelah Rossa mengambil alih Nusa yang kesakitan. "Tolong. Tolong tetap hidup buat saya ...."
Tiada kata yang Nusa utarakan. Ia ketakutan. Bagaimana jika dirinya tak berhasil pulang setelah pengobatan? Bagaimana jika dirinya malah meninggal dalam kesepian di negeri orang? Setidaknya, meski harus bertahan dengan segala kepura-puraan, ia masih dapat melihat sang kakak secara langsung sebagai sumber kekuatan. Masih dapat menjalani kehidupan remaja pada umumnya di bangku sekolah. Dan yang paling ia takutkan ketika benar harus meninggalkan tanah air, ia akan kehilangan Rossa. Figur ibu yang baru saja membuka hati untuknya.
Bersambung ....
Demi apa nulis dua part sehari wkwk. Self reward karena akhirnya punya akhir pekan yang agak senggang. Btw, kesel banget di part ini sama Nusa aka Sian wkwk. Tapi gimanapun, aku mencoba berikir menjadi dia. Punya gelisah dan ketakutan yang enggak bisa ia ceritakan dan pengambilan keputusan yang enggak mudah. Jadi, semoga temen-temen bisa mengerti semua kelabilan, ketakutan, kekeraskepalaannya, yah ......
Makasi semua. See you next chapter ....
Sleman, 12.11.23

KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Sagara
Novela Juvenil"Sa, gue butuh bantuan lo." Pinka tak pernah menyangka jika satu kalimat itu akan mengantarkannya pada kisah yang panjang. Pada sejuta sisi kelam yang tiada juga menemukan ujung. Pada rahasia semesta yang tidak pernah ia sangka akan seluas nusa-saga...