Pinka tak lagi dapat berkata-kata. Gadis itu terjebak di tengah dua laki-laki yang malah asyik membicarakan berbagai hal di luar sepengetahuannya. Keputusan Nusa mengantar Pinka disambut baik oleh Sigit. Ia kira, sang papa akan menolak keberadaan Nusa. Namun, ketika temannya itu memperkenalkan diri sebagai putra dari pengusaha bernama Hadyan, Sigit langsung menyambut dengan gembira.
"Maaf, Om, saya kemarin baru bisa ngantar Pinka sampai depan," ujarnya.
Sigit mengibaskan tangannya. "Om ngerti kok. Kamu juga pasti buru-buru, kan, karena udah malam."
Pinka memutar bola matanya malas. Sikap Sigit benar-benar berbanding terbalik dengan kemarin. Ketika sosok itu belum mengenal Nusa yang sebenarnya.
"Maaf, ya, Pinka malah jadi ngerepotin kamu."
Nusa tersenyum. "Enggak kok, Om. Saya malah senang bisa bantuin Pinka. Besok kalau saya ngantar Pinka, saya izin dulu ke Om."
"Enggak usah. Om sepenuhnya percaya sama kamu. Kalian juga udah temenan dari TK, kan?"
Kedua remaja di sana saling pandang. Dari respons itu, Pinka sadar bahwa Nusa mungkin tak ingat jika mereka pernah satu kelas saat di taman kanak-kanak dulu. Ia turut berpura-pura lupa. Padahal ia ingat betul jika keduanya sering berkelahi hingga Nusa pernah mendapat jahitan di kening karena terantuk meja akibat dorongannya. Namun, tampaknya ingatan Nusa telah memudar, seiring hilangnya bekas luka di dahi sosok itu.
"Kamu enggak ingat, Pinka? Dulu Papa masukin kamu ke TK yang sama karena Hadyan, papanya Nusa yang ngasih rekomendasi. Sekolah pun kalau bisa mau Papa ikutin Nusa, tapi waktu itu mama kamu enggak ngebolehin buat ngirim kamu ke Swiss."
Nusa mengangguk-angguk. Berpura-pura paham akan apa yang papa sahabatnya itu ceritakan.
"Ya udah kalu gitu Om tinggal dulu, ya. Anggap aja kayak rumah sendiri. Kalau butuh apa-apa bilang aja ke Pinka," Sigit bangkit dari duduknya, "kalau mau belajar biar lebih santai kamu bisa ajak Nusa ke ruang tengah, Nak. Atau di taman tengah kalau butuh udara segar. Nanti kalau mau pulang pamit ke Om, ya? Om ada di ruang kerja." Pria itu menepuk pundak Nusa sebelum berlalu.
Keduanya memandangi figur Sigit yang menjauh dan naik ke lantai atas.
"Ya gitu, bokap gue emang agak prik. Gue enggak tahu kalau dia udah pulang ngantor. Biasanya pulang magrib." Pinka mengusap tengkuknya. Sedikit canggung akan semua perlakuan Sigit yang diberikan pada Nusa. Ia khawatir jika sosok itu merasa tidak nyaman.
"Nope. Papa lo malah asyik banget orangnya."
"Lo belum tahu aja aslinya. Dia sebenarnya dua orang."
Nusa tidak dapat menahan tawa ketika Pinka begitu ceplas-ceplos.
"Lo mau makan, Sa? Katanya tadi laper," tawar Pinka. Sebenarnya ia tidak terlalu paham bagaimana cara menjamu tamu. Minuman dan snack yang ada di atas meja juga buah inisiatif dari asisten rumah tangganya.
"Masa gue baru aja ke sini langsung ditawarin makan."
Pinka lebih bingung. "Gue enggak biasa kedatangan teman di rumah, jadi enggak terlalu paham harus ngapain."
Kurva merah di wajah Nusa kembali mengembang. "Lakuin aja yang biasa lo lakuin. Biar gue yang nyesuaiin."
"Mau main PS enggak?" tawarnya lagi, "tapi gue enggak yakin sih masih bisa. Soalnya udah setahun enggak gue mainin."
Nusa terkekeh. "Lo kenapa, sih, Ka? Lucu amat."
"Lo juga kenapa sanyam senyum, ketawa mulu tiap kali gue nawarin. Kan, gue juga jadi bingung." Pinka memberengut kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Sagara
Ficção Adolescente"Sa, gue butuh bantuan lo." Pinka tak pernah menyangka jika satu kalimat itu akan mengantarkannya pada kisah yang panjang. Pada sejuta sisi kelam yang tiada juga menemukan ujung. Pada rahasia semesta yang tidak pernah ia sangka akan seluas nusa-saga...