Gelap yang menutup habis langit Jakarta kontras dengan gemerlap gedung Gardya malam ini. Sorot lampu warna-warni dari panggung yang cukup besar begitu memanjakan mata. Ditambah dekorasi yang elegan, tapi terlihat mewah membuat hampir semua pasang mata terarah ke depan, kendati acara baru akan dimulai sekitar sepuluh menit kemudian. Pinka turut takjup. Entah sebab dekorasi acara yang benar-benar meriah atau karena ia terlibat jerih payah sebagai panitia, ia merasa puncak HUT SMA Garda Udayana kali ini begitu luar biasa. Lapangan tengah yang biasa digunakan untuk apel pagi, disolek begitu cantik dengan pendirian tenda yang cukup tinggi. Panggung beridiri gagah di depan tengah dan di depan panggung itu sendiri berjajar rapi lima baris kursi. Tiga baris kursi terdepan dipergunakan untuk tamu undangan, guru, dan staf sekolah, sebaris berikutnya digunakan untuk beberapa alumni ditemani panitia acara, dan baris paling belakang dibiarkan sebagian kosong untuk antisipasi jika ada tamu luar yang datang sedangkan sebagian lagi diisi oleh beberapa panitia yang bertugas untuk mengawasi acara.
Pinka berdiri tepat di belakang barisan kursi. Oleh karena saat ini tidak ada yang perlu ia kerjakan, tim acara termasuk perlengkapan dan lain-lain tak memerlukan bantuan, gadis itu memilih untuk menikmati suasana. Bergabung dalam keramaian massa yang memenuhi lapangan.
"Ka, penampilan gue gimana?" Evelyn merapikan dress berwarna kuning cerah selagi meminta pendapat gadis di sebelahnya.
Tiada jawaban yang terdengar dari gadis itu. Sepasang mata Pinka justru tertuju pada dua sosok lelaki yang memiliki tinggi sejajar berdiri di samping panggung. Satu lelaki mengenakan celana berwarna cream berpadu kaus putih polos dan outer berupa kemeja biru kotak-kotak. Sedangkan yang lain bercelana hitam, berkaus gelap dengan kemeja merah marun sebagai outer yang ia lipat lengannya hingga sebatas siku. Keduanya tengah berbincang mengenai acara yang akan berlangsung. Pinka sempat menahan napas beberapa kali saat Nusa, lelaki berkemeja marun sesekali menjawab panggilan lewat HT yang ia genggam. Di samping itu, ia tetap menyamakan susunan acara dengan Indra—lekaki berkemeja kotak-kotak—yang malam ini menjadi master of ceremony.
Bibir Evelyn sontak mengerucut saat sadar jika sahabatnya itu sama sekali tak memperhatikannya. Ia turut memandang ke arah yang sama dengan Pinka. Ia menggigit bagian bawah bibirnya tatkala mendapati pemandangan indah di depan sana. Pantas jika Pinka sedari tadi tak acuh padanya. "Nusa ke sini," gumamnya. Evelyn tidak pernah dapat menahan kegugupan ketika bertemu dengan Nusa. Alasan yang sering ia gunakan untuk menghindari sosok itu.
Pinka tetap berdiri di tempatnya, meski ia mencoba mengalihkan pandangan ke arah lain. Ia tertangkap basah memandangi lelaki itu dari kejauhan dan kini Nusa berjalan mendekatinya entah dengan maksud apa.
"Ka, untuk yang tadi ...." Nusa menggantungkan kalimatnya kala sadar jika ada gadis lain di samping Pinka.
"Ini Evelyn." Pinka memperkenalkan. Mengingat Evelyn juga bukan termasuk dalam orang-orang terkenal di sekolah, ia beranggapan bahwa Nusa mungkin tak tahu akan sosok gadis itu.
"Gue kenal," tanggapnya selagi menarik kedua sudut bibir, "kita pernah satu kelompok dulu pas Pramuka wajib kelas 10, kalau lo ingat, Lyn." Nusa memandang ke arah Evelyn yang tampak kebingungan.
"Hm, iya. Gue ingat, kok," jawab Evelyn.
Pinka mengangguk-angguk. Ia merasa aneh dengan gestur Evelyn saat ini. Sahabatnya itu tampak biasa saja manakala mereka membicarakan Nusa di belakang. Namun, kini ia dapat menangkap kecanggungan yang Evelyn rasakan ketika berhadapan langsung dengan Nusa. Gadis itu langsung menepis beberapa pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benaknya dan kembali fokus kepada lelaki yang berada di hadapannya. "Lo tadi mau bilang apa, Sa?"
"Tadi ada anak taekwondo yang minta tukar urutan tampil. Gue udah ngomong ke anak teater dan mereka setuju buat tampil paling belakang buat nutup acara gantian sama ekskul lo. Kalian tampil urutan keempat bisa, ya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Sagara
Fiksi Remaja"Sa, gue butuh bantuan lo." Pinka tak pernah menyangka jika satu kalimat itu akan mengantarkannya pada kisah yang panjang. Pada sejuta sisi kelam yang tiada juga menemukan ujung. Pada rahasia semesta yang tidak pernah ia sangka akan seluas nusa-saga...