Bagian 10

641 77 15
                                        

Sesuai kesepakatan yang dibuat dengan sang papa, Nusa datang ke rumah sakit rekomendasi dokternya di Bandung. Kendatipun bukan kali pertama ia mendengarkan penjelasan dari sang dokter seorang diri, tak ayal berbagai kekhawatiran tetap ia rasakan. Lelaki dengan kemeja hitam itu menatap seseorang di hadapannya tanpa beralih pandang barang sedikit. Beberapa kali mengatur napas tipis-tipis, bersiap mendengar apapun yang hendak sang dokter sampaikan.

"Saya sudah lihat rekam medis kamu yang Dokter Fahriz kirimkan." Dokter yang Nusa ketahui bernama Danang dari papan nama di atas meja itu membuka suara.

Nusa hanya bisa mengangguk.

Dokter Danang menghela napas panjang. Saling menautkan jemarinya di atas meja setelah kembali membuka catatan medis remaja di depannya. "Dokter Fahriz pasti sudah menjelaskan banyak terkait sakit kamu. Beliau bertanya apa saya mungkin melakukan tindakan operasi, tapi setelah saya cek hasil pemeriksaan kamu, saya tidak menyarankan untuk tindakan bedah melihat lokasi tumor yang ada di lobus frontal. Kamu pasati udah dengar ini, kan?"

"Iya, Dok. Jadi, apa yang bisa saya lakukan?"

"Kita hanya bisa memperlambat pertumbuhannya dan mengurangi rasa sakit dengan obat."

Nusa menunduk dalam. Ia sudah menduga jika penyakitnya memiliki prognosis yang buruk. Namun, ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa mungkin ia tidak akan pernah sembuh. "Apa itu berarti saya akan mati, Dok?"

Seorang yang disapa dokter itu kembali menghela napas. Sesaat menjeda waktu sebelum menjawab, "Kita tidak pernah tahu pasti perihal kematian."

"Jadi berapa waktu saya yang tersisa? Menurut Dokter, berapa lama saya dapat bertahan?" Nusa mencoba memberanikan diri. Ia sadar jika dirinya tidak bisa selamanya menghindar dan menyangkal kenyataan bahwa umurnya mungkin tak lagi panjang.

"Melihat tumor kamu yang cukup progresif, mungkin enam bulan, atau paling lama setahun."

"Tapi, Dokter Fahriz bilang ada kemungkinan pasien glioblastoma dapat bertahan lebih lama dari itu."

"Dek ...." Dokter Danang mencoba menenangkan tatkala kegelisahan tampak kentara dalam tubuh Nusa, "Enggak ada yang tahu pasti kapan datangnya kematian. Kita hanya bisa beranggapan setelah melihat perkembangan penyakit kamu sampai hari ini. Semua orang dengan berbagai usia bisa saja meninggal dengan cara apa saja, sesuai dengan yang telah ditentukan oleh Yang Di Atas. Kewajiban kita adalah berusaha hidup sebaik mungkin. Kita bertahan sekuat mungkin sama-sama, ya?"

Nusa meremas jemarinaya di atas paha. Berusaha menetralkan perasaannya yang jauh dari kata baik-baik saja setelah mendengar perkataan Dokter Danang.

"Apa ada gejala lain yang muncul?"

"Gejala lain, maksud Dokter?"

"Lobus frontal bertanggung jawab atas pengendalian gerakan, ucapan, memori dan fungsi intelektual, hingga kepribadian. Sejauh ini tidak ada gejala yang menganggu terkait apa yang saya sebutkan, kan?"

Nusa menggeleng.

Dokter Danang untuk kesekian kalinya mengambil napas panjang. "Kamu pasti akan merasa tidak nyaman seiring berjalannya waktu. Kita bisa mengurangi rasa sakit dengan obat, tapi ke depannya mungkin akan muncul penurunan motorik, ingatan, atau kemampuan bicara yang akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Kita akan perlambat sebisa mungkin dengan obat. Nanti saya resepkan obat untuk dikonsumsi. Jika terjadi apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi saya."

Tiada kata yang dapat bibir Nusa keluarkan untuk merespons penjelasan terakhir. Ia berjalan setengah linglung ke luar ruangan dokter spesialis bedah syaraf itu. Terlalu banyak hal yang menumpuk di pikirannya. Dibanding memikirkan umurnya yang tersisa tak seberapa, ia lebih banyak mengkhawatirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin akan ia lalui sebelum kematiannya tiba. Bagaimana ia dapat hidup menjadi Kaisar Nusa Sagara, jika suatu waktu Tuhan menyita memori dan kemampuan bicara. Siapa yang akan merawat kakaknya ketika ia tak lagi dapat berbuat apa-apa. Dan bagaimana bisa ia bersikap seolah baik-baik saja di depan semua orang sedang penyakit itu akan terus menggerogoti kesehatannya. Ia tak cukup yakin dapat bertahan dalam situasi seperti itu.

Nusa SagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang